Selasa, 27 Agustus 2013

Anomali Tes Keperawanan

           Banyak orang terhenyak tatkala Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Prabumulih Propinsi Sumsel, HM Rasyid, ingin melakukan tes keperawanan (virginitas) terhadap pelajar. Alasannya, banyak siswi sekolah di Prabumulih berbuat mesun, bahkan melakoni praktek prostitusi.
            Gagasan sensasional itu tertangkap pers, akhirnya  ramai diperbincangkan di sosial media dan di masyarakat. Dapat dimaklumi, masalah keperawanan merupakan seseuatu yang tabu, apalagi diotak-atik dalam tes keperawanan.
            Kendati demikian, ada juga pernyataan yang mendukung. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan Jawa Timur mengamini ide tes keperrawanan. Dipertegas Sekretaris Dewan Pendidikan Pamekasan melontarkan  nada yang sama. Termasuk fraksi PPP DPRD Kota Prabumulih turut mensupporttes keperawanan.
Tetapi sebagian besar fraksi di DPRD Kota Prabumulih menentang. Mereka berjanji akan mencoret usulan Kadisdik bila dana tes keperawanan diajukan lewat APBD 2014. Para  aktivis gender meradang, tes keperawanan dianggap melecehkan kaum perempuan.
Di tengah gempita sikap pro-kotra di masyarakat, Mendikbud Mohammad Nuh angkat bicara.  Ia mengancam akan menindak tegas Kepsek yang membuat kebijakan tes keperawanan di sekolah.  Menurut Nuh, tes keperawanan  merugikan orang lain dan merampas hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan,
Sebenarnya polemik tes keperawanan tidak perlu terjadi bila kita mau membuka sejarah pendidikan masa silam. Pada awal  tahun 1980-an, di Bandung  Jawa Barat pernah mencuat gagasan serupa. Lantasan salah satu Sekolah Menengah Kejuruan diterpa isu sarang bondon berseragam, maka Kepala Sekolah emosi ingin melakukan tes keperawanan. Tentu saja sebagian besar orangtua murid dan masyarakat berang. Buntut kejadian, akhirnya sang Kepsek dimutasi telah mengundang khalayak protes.
Perilaku seks bebas
            Fenomena seks bebas di kalangan pelajar sesungguhnya bukan isapan jempol. Hampir di seluruh kota di Indonesia bisa ditemukan. Jumlahnya bervariatif. Penyimpangan perilaku tersebut dapat diukur dari paradigma pergaulan remaja serta kuat-lemahnya kultur susila yang mengikat.
            Tetapi norma susila itu kini sedang tergerus zaman.. Pesatnya kemajuan teknologi informasi serta sajian televisi, membuat tatakrama kearifan lokal (local wisdom) menjadi semu.
             Seorang pelajar di Krui ujung barat Lampung misalnya, mempunyai keinginan konsumtif dengan pelajar di kota kecil Jawa Tengah. Seolah seluruh pelajar Indonesia memiliki keseragaman, ingin mengidentifikasikan diri mereka seperti artis remaja yang sedang tren di televisi.
            Pada situasi tertentu, demi ingin memiliki barang yang diiinginkan tak jarang remaja nekad menjual kehormatan dirinya atau temannya. Karena pergaulan bebas pula, acap kali diberitakan pelajar menjadi korban traficking (penjualan manusia).
Beberapa penelitian menyebutkan secara signifikan banyak telah melakukan hubungan intim pranikah. Penelitian PKBI di Yogyakarta (1999) menyebutkan, 29 persen pelajar telah melakukan hubungan seks bebas.  Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan  (LSCK) dalam penngamatan 3 tahun (1999-2002) merilis 97,5 persen mahasiswi di Yogyakarta telah hilang keperawanannya saat kuliah. 
Selain itu, BKKBN (2012) menulis 52 persen remaja kota Medan pernah melakukan seks pranikah, Bahkan Komnas Perlindungan Anak (2007) dalam penelitian di 12 kota besar Indonesia menemukan 62,7 persen pelajar SMP dan SMA  tidak perawan atau perjaka lagi.
Di kota-kota besar, secara sembunyi-sembunyi dikenal   “bispak”, “ayam abu-abu”, serta istilah lainnya sesuai konteks lokal yang menjuluki pelajar berprofesi sambilan sebagai pelacur. Pergaulan seks bebas bagaikan fenomena gunung es, yang tampak di permukaan sedikit namun di dalamnya lebih merebak.
            Sulit dibantah, maraknya perilaku seks bebas di kalangan pelajar merupakan potret buram pendidikan di Tanah Air kita. Sementara lemahnya pengawasan dari keluarga sebagai factor utama. Perilaku seks bebas berwujud sebagai kemarahan atas respon ketimpangan sosial. Seakan-akan pelajar kehilangan eksistensi dalam arus ekses negatif globalisasi.
            Rekomendasi yang diperlukan adalah, selayaknya instansi pendidikan, orangtua murid, elemen masyarakat, juga peran pemerintah bertanggungjawab agar pelajar jangan teralienasi dari kehidupan sewajarnya. Terutama mencegah pelajar jangan terjerembab ke lembah nista..
Sumber: LAMPUNG POST, 26 Agustus 2013

1 komentar:

  1. Hohoho, isu ini sudah pernah terjadi rupanya di Jawa Barat :) Respon yang sama anehnya terhadap kasus seks bebas dan prostitusi di kalangan remaja. Apa artinya bangsa ini gak maju-maju juga dalam hal pemikiran? :))

    BalasHapus