Selasa, 27 Agustus 2013

Pro Kontra BLSM

                 HAJAT besar pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) menimbulkan sikap pro dan kontra. Sikap pro ditunjukkan oleh koalisi partai yang bergabung dalam setgab (sekretariat gabungan) dimotori “the ruling party”, yakni Partai Demokrat.  Sisanya tinggal dua partai politik bersikap kontra , yaitu PDI-P yang sejak awal pemerintahan presiden Yudhoyono memang sudah mengambil jarak oposisi. Ditambah PKS, yang semula bergabung dengan setgab, kini “missing in action”, ikut menentang kebijakan kenaikan BBM.
            Pemerintah berpendapat, dalam kondisi sekarang ABPN terlalu berat menanggung beban subsidi BBM.  Pada APBN 2013, melalui UU No. 19 Thn 2012, pemerintah mengalokasikan Rp 193,8 Trilun atau 11,5 persen dari APBN. Diperkirakan akan naik menjadi Rp 251,8 Triliun.
Subsidi BBM yang sejatinya diperuntukkan rakyat jelata, malah dinikmati oleh 20 persen kalangan orang berada (kaya). Oleh sebab itu, subsidi BBM harus dibelokkan ke orang miskin dengan program kompensasi.  Rancangan kompensasi itu terdiri penyaluran beras miskin (raskin), bantuan siswa miskin, program keluarga harapan dan  bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). 
Khusus BLSM, pemerintah melalui Menteri Keuangan Chatib Basri dalam postur APBN-P mengusulkan Rp 11,6 Triliun. Dengan perincian setiap orang miskin mendapat bantuan Rp 150 ribu perbulan, dibagikan kepada 15,5 juta jiwa.
Dari perkembangan yang terjadi, muncul lontaran kecaman dan menuding pemerintah telah gagal  mengelola BBM.  Selama ini pemerintah terlalu manja memberikan eksport minyak dan gas ke negara lain dalam ikatan kerjasama jangka panjang.  Akibatnya cadangan minyak dan gas kurang;  Pemerintah tidak membangun kilang minyak. Ditambah, UU Migas cenderung menguntungkan pihak asing.
            Bererapa partai politik yang selama ini mesra dalam setgab, ada yang berbalik menentang kebijakan kenaikan BBM. Terlepas motif meraih simpati masyarakat, tanpa disadari isu kenaikan BBM bergeser menjadi politik pencitraan. Dapat dimaklumi, tahun 2014 di depan mata, menjelang pesta demokrasi kepentingan politik untuk memikat hati rakyat semakin mencuat.
           
Kontra BLSM
Sejak beberapa bulan yang lalu, rencana kenaikan harga BBM mulai dilontarkan pemerintah. Tetapi karena tarik ulur penetapan kebijakan, berdampak ketidakpastian ekonomi pasar dan permainan spekulan. Terbukti beberapa kebutuhan pokok merangkak naik. Akibatnya rakyat juga yang susah. Padahal ototritas kenaikan BBM berada di tangan pemerintah. Sayangnya, pemerintah diselimuti rasa ragu.
Dengan kondisi defisit APBN, pemerintah menganggarkan Rp 30 Trilyun untuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Dananya diambil dari pengurangan subsidi BBM, nantinya digunakan untuk rakyat miskin. Keinginan pemerintah ternyata tidak berjalan mulus. Ditengarai BLSM sarat muatan politis.
Pengalaman kompensai subsidi kenaikan BBM tahun-tahun sebelumnya, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2008 dianggap mendongkrak peraihan suara partai tertentu.  Dengan dugaan, pemanfaatan BLSM mirip modusnya dengan BLT. Sekurangnya ada tiga hal yang membuat BLSM menjadi sorotan kritis.
Pertama, hangatnya susu politik menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014. Pemerintah solah sengaja mengulut-ulur waktu kenaikan harga BBM demi itikad tersembunyi. Dengan maksud, bantuan uang tunai lewat BLSM menjadi strategi  meraup suara pemilih.
Riwayat kenaikan harga BBM era presiden SBY merupakan catatan penting. Pada 1 Oktober 2005. Pemerintah menaikkan bensin dari Rp 2400 menjadi Rp 4500/liter serta solar dari Rp 2100 menjadi Rp 4300/liter.  Lompatan kenaikan harga cukup fantastis. Begitu juga tanggal 24 Mei 2008, BBM dinaikkan menjadi Rp 6000/liter (premium). Pada tahun yang sama terjadi sebaliknya, BBM diturunkan hingga tiga kali sebesar Rp 500/liter, hingga 15 Januari 2009, ditetapkan Rp 5000/liter (premium). Jika ditelusuri, keadaan ini persis 3 bulan sebelum pileg 9 April 2009.
Pada waktu itu, pemerintah dianggap mengambil dua keuntungan politis, yakni penurunan berturut-turut sebagai pencitraan politik. Juga, pembagian BLT menjelang pileg dan pilpres secara tidak langsung menggiring pemilih kepada pihak pemberi bantuan.
Kedua, BLSM tidak bisa menggerakkan ekonomi. khususnya peningkatan taraf hidup rakyat miskin. Penggelontoran uang berjumlah besar di masyarakat akan signifikan terciptanya inflasi. Sebab BLSM bersifat konsumtif, bukan produktif..
Ketiga, validasi data penerima BLSM kurang akurat. Banyak ditemukan kasus si miskin terampas hanya oleh orang yang seharusnya tidak perlu dibantu. Kaus BLT, kerap terjadi salah sasaran. Proyeksi rakyat miskin dalam program BLT tahun 2005 ternyata  sama dengan data BLSM, tetap 15, 5 juta jiwa  pada data 2013.
Pro BBM
            Selama kurun waktu lima tahun (2007-2012), dari APBN pemerintah telah menyialurkan dana sekitar Rp 400 Triliun untuk mengentaskan kemiskinan. Sekarang angka kemiskinan kita 28,59 juta jiwa (BPS, Maret 2013) atau 11,66 persen. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, ada penurunan 0,3 persen, dari tahun sebelumnya 29,13 juta jiwa (2012).
            Pemerintah menargetkan penurunan kemiskinan sekitar 10 persen, dengan asumsi kebutuhan anggaran yang tersebar melalui keterlibatan Menteri terkait dan bantuan langsung Dana Alokasi Khusus (DAK) ke Propinsi serta Kabupaten/Kota. Dengan kebutuhan, mengeruk dana sekitar Rp 70 Triliun dari APBN 2013.
            Fungsi BLSM sebenarnya adalah stimulan agar masyarakat miskin tidak syok ketika terjadi kenaikan BBM.  Jadinya tujuannya menutupi belanja rakyat miskin akan kebutuhan pokok yang dipastikan ikut naik sebagai imbas kenaikan harga BBM.
            Celakanya, niat baik BLSM tertutup oleh tabir gelap isu besar kepentingan pileg dan pilpres 2014.  Bagi masyarakat awam hanya bisa menerima dan merasakan perubahan yang terjadi. Semua itu tergantung akal sehat (common sense) . Dallam karut marut isu kenaikan harga BBM, semoga rakyat tidak dikorbankan demi kompetisi meraih kekuasaan.***
Sumber: SUARA PEMBARUAN,  20 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar