HAJAT besar
pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) menimbulkan sikap pro dan
kontra. Sikap pro ditunjukkan oleh koalisi partai yang bergabung dalam setgab (sekretariat
gabungan) dimotori “the ruling party”,
yakni Partai Demokrat.
Sisanya tinggal dua partai politik bersikap kontra , yaitu PDI-P yang
sejak awal pemerintahan presiden Yudhoyono memang sudah mengambil jarak oposisi.
Ditambah PKS, yang semula bergabung dengan setgab, kini “missing in action”, ikut menentang kebijakan kenaikan BBM.
Pemerintah berpendapat, dalam
kondisi sekarang ABPN terlalu berat menanggung beban subsidi BBM. Pada APBN 2013, melalui UU No. 19 Thn 2012,
pemerintah mengalokasikan Rp 193,8 Trilun atau 11,5 persen dari APBN. Diperkirakan
akan naik menjadi Rp 251,8 Triliun.
Subsidi
BBM yang sejatinya diperuntukkan rakyat jelata, malah dinikmati oleh 20 persen kalangan
orang berada (kaya). Oleh sebab itu, subsidi BBM harus dibelokkan ke orang miskin
dengan program kompensasi. Rancangan
kompensasi itu terdiri penyaluran beras miskin (raskin), bantuan siswa miskin,
program keluarga harapan dan bantuan
langsung sementara masyarakat (BLSM).
Khusus
BLSM, pemerintah melalui Menteri Keuangan Chatib Basri dalam postur APBN-P
mengusulkan Rp 11,6 Triliun. Dengan perincian setiap orang miskin mendapat
bantuan Rp 150 ribu perbulan, dibagikan kepada 15,5 juta jiwa.
Dari
perkembangan yang terjadi, muncul lontaran kecaman dan menuding pemerintah
telah gagal mengelola BBM. Selama ini pemerintah terlalu manja
memberikan eksport minyak dan gas ke negara lain dalam ikatan kerjasama jangka
panjang. Akibatnya cadangan minyak dan
gas kurang; Pemerintah tidak membangun
kilang minyak. Ditambah, UU Migas cenderung menguntungkan pihak asing.
Bererapa partai politik yang selama
ini mesra dalam setgab, ada yang berbalik menentang kebijakan kenaikan BBM. Terlepas
motif meraih simpati masyarakat, tanpa disadari isu kenaikan BBM bergeser menjadi
politik pencitraan. Dapat dimaklumi, tahun 2014 di depan mata, menjelang pesta
demokrasi kepentingan politik untuk memikat hati rakyat semakin mencuat.
Kontra BLSM
Sejak
beberapa bulan yang lalu, rencana kenaikan harga BBM mulai dilontarkan
pemerintah. Tetapi karena tarik ulur penetapan kebijakan, berdampak
ketidakpastian ekonomi pasar dan permainan spekulan. Terbukti beberapa
kebutuhan pokok merangkak naik. Akibatnya rakyat juga yang susah. Padahal
ototritas kenaikan BBM berada di tangan pemerintah. Sayangnya, pemerintah
diselimuti rasa ragu.
Dengan
kondisi defisit APBN, pemerintah menganggarkan Rp 30 Trilyun untuk Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Dananya diambil dari pengurangan subsidi
BBM, nantinya digunakan untuk rakyat miskin. Keinginan pemerintah ternyata
tidak berjalan mulus. Ditengarai BLSM sarat muatan politis.
Pengalaman
kompensai subsidi kenaikan BBM tahun-tahun sebelumnya, program Bantuan Langsung
Tunai (BLT) tahun 2008 dianggap mendongkrak peraihan suara partai tertentu. Dengan dugaan, pemanfaatan BLSM mirip modusnya
dengan BLT. Sekurangnya ada tiga hal yang membuat BLSM menjadi sorotan kritis.
Pertama,
hangatnya susu politik menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan
presiden (pilpres) tahun 2014. Pemerintah solah sengaja mengulut-ulur waktu
kenaikan harga BBM demi itikad tersembunyi. Dengan maksud, bantuan uang tunai
lewat BLSM menjadi strategi meraup suara
pemilih.
Riwayat
kenaikan harga BBM era presiden SBY merupakan catatan penting. Pada 1 Oktober
2005. Pemerintah menaikkan bensin dari Rp 2400 menjadi Rp 4500/liter serta
solar dari Rp 2100 menjadi Rp 4300/liter. Lompatan kenaikan harga cukup fantastis.
Begitu juga tanggal 24 Mei 2008, BBM dinaikkan menjadi Rp 6000/liter (premium).
Pada tahun yang sama terjadi sebaliknya, BBM diturunkan hingga tiga kali
sebesar Rp 500/liter, hingga 15 Januari 2009, ditetapkan Rp 5000/liter
(premium). Jika ditelusuri, keadaan ini persis 3 bulan sebelum pileg 9 April
2009.
Pada
waktu itu, pemerintah dianggap mengambil dua keuntungan politis, yakni
penurunan berturut-turut sebagai pencitraan politik. Juga, pembagian BLT
menjelang pileg dan pilpres secara tidak langsung menggiring pemilih kepada
pihak pemberi bantuan.
Kedua,
BLSM tidak bisa menggerakkan ekonomi. khususnya peningkatan taraf hidup rakyat
miskin. Penggelontoran uang berjumlah besar di masyarakat akan signifikan
terciptanya inflasi. Sebab BLSM bersifat konsumtif, bukan produktif..
Ketiga,
validasi data penerima BLSM kurang akurat. Banyak ditemukan kasus si miskin
terampas hanya oleh orang yang seharusnya tidak perlu dibantu. Kaus BLT, kerap terjadi
salah sasaran. Proyeksi rakyat miskin dalam program BLT tahun 2005 ternyata sama dengan data BLSM, tetap 15, 5 juta
jiwa pada data 2013.
Pro BBM
Selama kurun waktu lima tahun
(2007-2012), dari APBN pemerintah telah menyialurkan dana sekitar Rp 400 Triliun
untuk mengentaskan kemiskinan. Sekarang angka kemiskinan kita 28,59 juta jiwa
(BPS, Maret 2013) atau 11,66 persen. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, ada
penurunan 0,3 persen, dari tahun sebelumnya 29,13 juta jiwa (2012).
Pemerintah menargetkan penurunan
kemiskinan sekitar 10 persen, dengan asumsi kebutuhan anggaran yang tersebar
melalui keterlibatan Menteri terkait dan bantuan langsung Dana Alokasi Khusus
(DAK) ke Propinsi serta Kabupaten/Kota. Dengan kebutuhan, mengeruk dana sekitar
Rp 70 Triliun dari APBN 2013.
Fungsi BLSM sebenarnya adalah
stimulan agar masyarakat miskin tidak syok ketika terjadi kenaikan BBM. Jadinya tujuannya menutupi belanja rakyat
miskin akan kebutuhan pokok yang dipastikan ikut naik sebagai imbas kenaikan
harga BBM.
Celakanya, niat baik BLSM tertutup
oleh tabir gelap isu besar kepentingan pileg dan pilpres 2014. Bagi masyarakat awam hanya bisa menerima dan
merasakan perubahan yang terjadi. Semua itu tergantung akal sehat (common sense) . Dallam karut marut isu
kenaikan harga BBM, semoga rakyat tidak dikorbankan demi kompetisi meraih
kekuasaan.***
Sumber: SUARA PEMBARUAN, 20 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar