Untuk kedua kedua kalinya Farhat Abas terperosok.
Setelah ucapannya beberapa waktu lalu di media sosial lewat twitter
menyinggung Ahok, panggilan akrab wakil gubernur DKI Basuki Purnama, yang akhirnya
Farhat ditetapkan sebagai tersangka.
Belum
beres urusan Ahok, kali ini ucapan Farhat lewat akun @farhatabbas kembali buat
geger. Twit-nya berbunyi: “Kalau gue
pihak Sriwijaya Air! Gue akan pasang badan agar penumpang gue gak dipenjara!
Pramugari yg gak sopan gue pecat!”
dan “Pramugari harus merasa
sebagai pembantu dalam pesawat terbang, bukan peragawati dalam pesawat”.
Kalimat itu
mengomentari kasus Nur Febriani,
pramugari Sriwijaya Air, yang menjadi korban pemukulan seorang pejabat
belum lama ini. Akibatnya Nur Febriani berang. Ia balas berkomentar melalui
surat terbuka edaran bbm (blackberry messenger).
Bagi Nur Febriani, ucapan Farhat
melecehkan profesi pramugari, dan meminta Farhat minta maaf. (http://oktavita.com/surat-protes-pramugari-pada-farhat-abbas.htm)
Jika
direnungkan, apa yang sedang berkembang saat ini tampaknya media sosial mulai meracuni
sendi kehidupan kita. Kemajuan teknologi informasi menembus alam privatisasi
diri. Tercatat pengguna selluler di Indonesia (2013) 240 juta pelanggan. Sungguh fantastik, melebih
jumlah penduduk Indonesia 230 jiwa (BPS, 2012)
Apa yang pernah
dikuatirkan futuris Alvin Toffler, Fukuyama, Milton Friedman lainnya memenag betul. Perkembangan globalisasi
memaksa orang berada dalam ruang sempit. Tidak hanya jarak, tetapi perubahan
perilaku hingga degradasi moral.
Contoh seorang
ibu yang meminta tangggungjawab seorang rektor suatu lembaga pendidikan di
Jatinangor tentang anaknya melalui Youtube
beberapa hari lalu (Tribun 12/5), membuktikan ketersinggungan privasi bergeser
ke ruang publik. Artinya, ruang media sosial dijadikan alat penekan sosial.
Beberapa kasus lainnya,
banyak pengguna media sosial terpaksa minta maaf dalam iklan di koran karena omongannya di media sosial (facebook, twitter, weblog, BBM, SMS dan
lain-lain). Baik disengaja atau sekadar iseng, tak jarang ketersinggungan
berlanjut ke somasi hukum. Sebagian masuk ke pengadilan dengan tuntutan UU No.11 Thn 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE). Ancamannya, penjara 6 tahun dan denda Rp 1 Milyar !
Kasus Prita
Mulyasari yang berseteru dengan pihak rumah sakit di Tangerang akibat curhatnya
Prita di media sosial, berdampak besar di republik ini. Segenap lapisan masyarakat tergugah mengumpulkan
koin demi bebasnya Prita dari jeratan hukum. Termasuk presiden SBY pun angkat
bicara
Memang dunia
maya tempat yang asyik untuk menyampaikan ekspresi maupun gagasan. Namun perlu
diingat, kita tidak bisa seenaknya melakukan hal-hal diluar batasan norma dan
aturan berlaku. UU ITE harus diketahui agar kita waspada, mawas diri dan
bersikap sewajarnya.
Menurut Marks
Poster (1990), media sosial termasuk The Second Media Age, dimana dunia maya
akan mengubah masyarakat. Dalam teori media baru ini, dunia maya memberikan tempat interaksi semu
yang memperluas hubungan pribadi, sosial serta tempat berbagi pandangan yang
tidak bisa dilakukan media sebelumnya.
Deretan contoh
kasus di atas mengingatkan kita petuah lama: “mulutmu adalah harimaumu”. Jika
lupa, akan menerkam diri kita sendiri. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang
menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknyaa lebih jauh antara
timur dan barat.” (HR. Bukhari Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar