Dalam
negara Pancasila yang katanya selalu menjunjung “kemanusiaan yang adil dan
beradab” ini, tentu sangat mengedepankan harkat dan
martabat manusia, Artinya, manusia berada dalam “virtue a particular moral excellence” atau satu partikular moral
yang baik. Secara eksplisit ditunjukkan dengan sikap ramah, sopan, penuh etika,
agamis, serta anti kekerasan.
Namun
kenyataannya sungguh terbalik. Setiap hari panorama kekerasan disuguhkan silih
berganti. Mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan,
penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan. Kerap terjadi sengketa antar
individu, saling ejek, sebentar saja menyulut perkelahian antar kelompok atau
perang antar kampung. Kekerasana etnik, geng motor, perkelahian supporter, radikalisme atas nama agama, perselisihan
pilkada, penggusuran, main hakim sendiri, dan perbuatan banalitas lainnya yang menuju
garis konvergensi kekerasan. Bahkan akhir-akhir ini muncul kekerasan dalam
format isu berbentuk kampanye hitam (black
campaign) mencuat dalam dinamika Pilpres 2014.
Peristiwa
demi peristiwa terjadi begitu enteng, dan seolah tak ada hubungannya dengan
perilaku Pancasila. Atau mungkin, Pancasila sekadar simbol dan telah lenyap
dari hati sanubari rakyat Indonesia.
Padahal
telah 68 tahun bangsa ini lepas merdeka. Sudah
68 tahun pula memperingati hari kelahiran
Pancasila 1 Juni 1945, dan menganggap Pancasila “way of life”, sebagai jalan penuntun kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tetapi semuanya paradoks. Bertolak belakang
dengan saling
menjaga kerukunan.
Berkali-kali
para rohaniawan, tokoh-tokoh lintas agama, bersatu padu menganjurkan perdamaian
dan anti kekerasan. Tapi seolah “masuk telinga kiri keluar telinga kanan”,
pesan moral tak tersangkut dihati. Berkali-kali pejabat negara, bahkan Presiden
meneriakkan “segera ditindak lanjuti”, “menentang aksi kekerasan” dan
kalimat-kalimat perintah lainnya, Entah kenapa, penyakit banalitas tak jua
surut. Jadi siapa lagi ucapannya yang ditakuti di republic ini?
Seperti
yang diceritakan dalam serat Pararaton. Konon, Ken Arok membunuh karena tak
sabar keris yang dibuat Mpu Gandring telat rampung. Ken Dedes membunuh Tunggul
Ametung, sekaligus merebut Ken Dedes sebagai istri. Lalu Anusapati membalas
kematian ayah kandungnya Tunggul Ametung, menusukkan keris yang sama untuk menghilangkan
nyawa ayah tirinya Ken Arok karena sakit hati. Kemudian Anusapati pun dibunuh
oleh Tohjaya, anak kandung Ken Arok.
Inilah mungkin suatu bukti, rasa amarah, benci dan dendam, sejak dulu telah
merembes secara genetis dalam darah rakyat Indonesia.
Pada
masa Orde Lama juga terjadi. Orang-orang anti Soekarno dipenjarakan pada jaman
Demokrasi Terpimpin tanpa lewat meja pengadilan. Berlanjut masa Orde Baru,
merebaknya impunitas Penembakan Misterius (Petrus), Timor Timur dan Aceh,
Peristiwa Tanjung Periuk, Penculikan Aktivis dan deretan kepiluan impunitas lainnya.
Sementara waktu itu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) masih
hangat, tetapi tindakan penguasa berbeda dengan “perikemanusiaan yang adil dan
beradab”.
Dalam
perkembangan kekinian, dalam era Reformasi, benar kah konflik-konflik yang
terjadi, benarkah Pancasila hilang?
Apakah ideologi Pancasila tak mampu lagi mendukung toleransi, kebersamaan, atau
gotong royong di masyarakat? Apakah enerji Pancasila telah meredup? Inilah beberapa
pertanyaan mendasar, disamping pertanyaan lainnya, perlu kita cermati bersama.
Fondasi negara
Dahulu Soekarno (Bung Karno) menyebut
Pancasila sebagai “philosophische
grondslag” (filosofi dasar), dan “weltanschauung”
(pandangan hidup). Sekitar tiga tahun
terakhir ini, MPR periode 2009-2019 melakukan elaborasi Pancasila sebagai Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Empat pilar itu adalah Pancasila, UUD
1945, NKRI dan Bhinnekha Tunggal Ika. Sehingga kurang pada tempatnya meletakkan
Pancasila berkedudukan sejajar dengan UUD 1945, NKRI dan Bhinnekha Tunggal Ika.
Dalam asumsi,
“pilar” adalah
penyangga, sedangkan “dasar” adalah fondasi.
Tanpa disadari, Empat Pilar
melahirkan kekerasan horisontal dalam pola pikir akibat sikap pro dan kontra di
masyarakat terhadap kedudukan Pancasila versi MPR tersebut, kendati itikadnya
baik. Hal ini menjadi pelajaran bersama,
pola pandang pejabat tinggi negara kadang-kadang tak seiring dengan masyarakat.
Para pejabat negara lainnya, seperti DPR, aparat hukum, birokrat serta aparatur
lainnya acap kali tidak memberikan suri tauladan bagi rakyatnya.
Kerapuhan cara berpikir telah
menjalar di setiap lapisan masyarakat. Para siswa gemar tawuran, sebagian mahasiswa
demonstrasi anarkhis, kehidupan kampus tak luput tercemar korupsi. Para kaum
terpelajar yang seharusnya menjadi
penjaga nilai moral dan etika Pancasila, terjerembab dalam kehidupan instan
dan hedonisme. Sharusnya kaum terdidik inilah menjadi garda terdepan yang
menularkan perilaku Pancasila dengan baik.
Dewasa ini, Pancasila seperti
“tergerus” oleh jaman. Situasi lingkungan kehidupan bangsa yang demikian cepat,
baik di tingkat domestik, regional mau pun internasional membawa alam demokrasi
bebas.
Eforia era Reformasi membuat orang
bebas saling kritik. Masyarakat leluasa melontarkan kritik Kepala Negara,
pejabat yang tak diinginkannya, bahkan tetangganya sendiri. Teknologi informasi,
apakah media sosial (facebook, twitter,
bbm dan sebagainya) menjadi kekuatan berpengaruh dalam aspek kehidupan.
Sering kritik bertransformasi menjadi kalimat
memaki. Ketersinggungan frasa kata, bergeser menjadi bahasa fisik. Sehingga ketidakadilan dan kekerasan menjadi
sebuah kesatuan alat serang, saling menyakit dan melukai.
Dalam
istilah Dom Helder Camara, tokoh perdamaian dunia dari Brazil dalam “Spiral of
Violence” (1971) menyebut, ketidakadilan (personal) menyebabkan aksi kekerasan
(institusi) dan berakhir dengan represi negara yang membentuk spiral kekuasaan.
Misalnya
dalam kasus penggusuran, bagaimana individu sering melibatkan kelompok massa,
melawan kebijakan negara. Lalu aparat atas nama hukum, menyelesaikan sengketa
dengan kekerasan. Sehingga kekerasan yang terjadi akan memancing kekerasan
lainnya (violence attracts violence).
Contoh lainnya, demonstrasi mahasiswa dan rakyat dilumpuhkan dengan gas air
mata atas nama ketertiban sosial. Lantas di mana Pancasila kini berada?
Memang betul, Pancasila di era
reformasi ini terkurung dalam bingkai emas, Pancasila tergantung manis di
sekolah, di kampus dan dinding-dinding kantor dan gedung birokrasi. Dalam kesendiriannya, Pancasila seolah
terasingkan dari kultur budaya, sosial dan masyarakat. Pancasila memalingkan
wajahnya tatkala kekerasan demi kekerasan di lingkungan masyarakat. Mengutip teori klasik Johan Galtung (1969), kekerasan
terjadi secara sturuktural akibat retaknya lapisan sosial.
Orang mulai lupa, mengidap amnesia
massal. Tokoh-tokoh anti kekerasan yang menjadi inspirator
gerakan dunia seperti Marthin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, Dalai Lama, dan
sebagainya, telah gosong dimakan jaman. Apalagi bagi rakyat Indonesia,
kesantunan Mohamad Hatta, Agus Salim, Syafruddin Prawiranegara, M Natsir, Hoegeng
Imam Santosa, Baharudin Lopa dan tokoh-tokoh teladan Indonesia lainnya, seperti
tersimpan di rak usang sejarah masa lalu.
Pancasila meredup
Era Reformasi membawa ke alam bawah
sadar. Terjadi proses dehumanisasi,
nihilisme, anarkhisme tanpa kendali orang melakukan apa saja yang diinginkannya
atas nama demokrasi, bahkan menghalalkan segala cara. Entah sember demokrasi
dari mana yang terjejal.
Orang
mulai lupa demokrasi Pancasila seutuhnya. Terdorong stigma buruk masa lalu,
Pancasila dijadikan alat penguasa. Dalih semacam ini menyebabkan Pancasila terpinggirkan,
meski partai politik, organisasi massa atau organisasi apa saja, mengamini Pancasila menjadi dasar negara
sebagai panduan hidup toleran untuk berkelompok dan berkumpul dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dalam keredupan Pancasila saat ini,
sudah saatnya kita mengambil sesuatu yang baik di masa lalu, karena Pancasila
bukanlah alat kambinghitam sejarah. Kekerasan di bumi Indonesia insya Allah
akan tertekan di titik terendah bila kandungan Pancasila benar-benar dihayati
dan dijalankan dalam sendi kehidupan. Percaya lah, nilai-nilai Pancasila akan mampu
bertarung dengan ideologi mana pun di dunia, karena Pancasila merupakan jati diri bangsa hasil keringat dan
darah rakyat Indonesia. Dengan Pancasila membawa hari esok Indonesia lebih baik.Sumber: KORAN JAKARTA, 2 Juni 2014