SEJARAH
pendidikan yang sangat memalukan sepanjang republik Indonesia berdiri sebenarnya
adalah masalah ujian nasional (UN). Coba pikirkan, bagaimana mungkin sikap pro
dan kontra tentang kebijakan UN tak kunjung henti lebih dari 10 tahun. Sejak
kebijakan UN diluncurkan (UU Pendidikan No.20 Tahun 2002), apa pun solusi yang diberikan, selalu bertemu jalan buntu. Walau pun banyak ahli,
pengamat, kritisi atau praktisi pendidikan menyumbangkan pemikirannya, namun
kebijakan UN terus jalan meski prosesnya acap kali amburadul. Artinya, “biar
seribu anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Pemerintah
(penguasa) hingga saat ini belum membuat solusi integral, akomodatif, sehingga
konflik honrisontal UN berlarut-larut sampai sekarang. Bukan kah hal tersebut
mengancam integasi bangsa?
Patut disadari, pada era presiden Sukarno
(Orde Lama) dan Suharto (Orde Baru), tidak muncul persoalan serius menyangkut sistem
pendidikan kecuali menyangkut fasilitas sarana dan prasarana.
Dalam keadaan serba kekurangan pada masa itu, dunia pendidikan maju pesat.
Ketika itu, banyak lahir tokoh-tokoh penting, para intelektual dan ilmuwan
termasyhur dengan integritas cinta tanah air yang patut dipuji.
Tapi sekarang apa yang terjadi?
Sejak tumbangnya Orde Baru (1988), selama
reformasi berjalan, dunia pendidikan seolah-olah gamang menentukan
identitasnya. Label “nasional” dari “ujian” seakan-akan mengedepankan
kepentingan politik. Sayangnya kepentingan politik (penguasa) tersebut tidak
dibarengi sinergitas memadai, karena pendidikan adalah domain publik. Tatkala
sistim pendidikan dirasa cukup merugikan, maka rakyat responsif mengkritisi,
bahkan menggugat secara hukum (legal stading)
atau class action hingga ke Mahkamah
Agung.
Karut marut UN 2013 tingkat
SMA/sederajat baru-baru ini misalnya, menunjukkan betapa buruknya teknis
pelaksanaan secara nasional. Terjadi kemacetan distribusi, pihak percetakan
tidak mampu menyiapkan bahan ujian, rendahnya materi kertas jawaban, akhirnya menuju
praduga manipulasi proyek. Tak kurang instansi terkait ikut menginvestigasi
penyebab, termasuk protes keras dari lembaga parlemen
DPR RI. Bahkan, beberapa hari terakhir
muncul pemberitaan, demi keamanan soal UN tingkat SD/sederajat dikawal
Densus 88 anti teror dan anjing pelacak. Sungguh
memprihatinkan.
Tanpa dipandang dengan sikap
hiperbola, setiap tahun menjelang UN, kita sering disodorkan peristiwa memiriskan hati. Anak didik dihadapkan secara
psikologis kepada sesuatu yang
mendebarkan, UN layaknya perjuangan hidup
mati. Banyak sekolah-sekolah melakukan doa bersama. Uniknya, sebagian ada yang
berdoa di kuburan, mandi air kembang, dan perilaku anak didik aneh lainyadi
luar nalar rasionalitas dunia pendidikan. Belum lagi wabah bocornya kunci
jawaban serta kecurangan pelaksanaan UN.
Ganti
UN
Di tengah kompleksitas dan
kontroversi yang berkembang itu, seyogyanya tidak semata-mata pertimbangan
kebijakan politis harus sentralistik, datang dari dari Pusat.
Mengingat bahwa kondisi geografis, ekonomi, budaya dari suatu daerah dengan
daerah lainnya tidak sama, sehingga proses dan hasil pendidikan pun tidak bisa
dipaksakan merata. Sehingga perlu renungan pemikiran mendalam untuk merespon
kausalitas yang terjadi.
Pertama, masalah UN
sebenarnya bukan harga mati yang tidak
bisa dirubah demi gengsi sebuah kebijakan politik pendidikan. Suatu bukti, di awal
pemerintahan Orde Baru, tahun 1966 hingga 1971, pernah diterapkan Ujian Negara
untuk semua mata pelajaran. Kemudian kebijakan
Ujian Negara dirubah menjadi Ujian Sekolah, maka sekolah
lah yang menyelenggarakan ujian sendiri. Semuanya diserahkan kepada sekolah,
sedangkan pemerintah pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan umum dan pelaksana
ujian dilaksanakan pihak sekolah beserta materi dan teknisnya. Selanjutnya berubah lagi ke sistim Ebtanas (Evaluasi Tahap Akhir
Nasional) dan Unas (Ujian Nasional) yang melibatkan pemerintah daerah setempat.
Dari kronologi tersebut, bila diamati tidak terdapat gonjang-ganjing masalah ujian untuk kelulusan
anak didik. Hal itu terjadi karena fungsi
pemerintah pusat hanya pada penentuan kebijakan umum dan monitoring, dan tidak berlaku monopoli seluruhnya didatangkan dari Pusat.
Kedua,
UN yang terjadi selama ini menunjukkan asas ketidakadilan karena sarana-prasarana,
kurikulum, daya dukung Pemerintah Daerah serta distribusi guru belum merata.
Kondisi
menyedihkan sarana-prasarana yang seharusnya melibatkan Pemerintah Daerah mendapat
sorotan media massa. Beberapa contoh, banyak anak didik bagaikan film “Indiana Jones”,
meniti tali gantungan, bertarung dengan alam menuju sekolah, sekolah ambruk dan
kisah memilukan lainnya. Semua itu menunjukkan betapa lemahnya Pemerintah
Daerah menyikapi hal-hal mendasar tersebut. Tanpa disadari, komitmen Daerah untuk mencerdaskan
anak bangsa belum menggembirakan, karena titik tumpu pembiayaan sarana
prasarana pendidikan tergantung kecenderungan politik anggaran
(APBD) Kab/Kota.
Ketiga, disparitas sosial-ekonomi
ekstrim antara kota dan desa, antara sentral dan periperal, menjadi faktor
pengganggu (confounding factor) buruknya
demografi pendidikan. Dalam hal ini,
tidak setiap orangtua mampu menyekolahkan anaknya dengan baik dan lancar.
Bukan
rahasia umum, meski telah digembar-gemborkan tingkat sekolah dasar hingga tingkat
menengah itu bisa diperoleh dengan gratis. Namun, variabel kebutuhan lainnya
hampir terabaikan. Di desa, seorang anak selain sekolah,
sering dibebankan menopang kehidupan keluarga. Makna sekolah dianggap “murah
dan gampang: di kota, bisa saja menjadi “sulit dan mahal” bagi masyarakat di
desa atau daerah-daerah miskin lainnya. Itulah sebabnya kebijakan
UN tidak memperoleh hasil optimal.
Dari ketiga prioritas masalah
tersebut, sewajarnya pemerintah mengambil jalan kompromis dan tidak terjerat oleh kehendak
politik negara tentang UN. Jika pendidikan semata-mata berada dalam dominasi
kekuasaan, tanpa mau botton-up
mengakar dari bawah, niscaya akan menghasilkan generasi-generasi instan,
manusia-manusia penghapal, perilaku robotik yang kelak akan merugikan masa
bangsa kita sendiri. ***Sumber: GALAMEDIA, 13 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar