Selasa, 27 Agustus 2013

UN Menuai Badai

SEJARAH pendidikan yang sangat memalukan sepanjang republik Indonesia berdiri sebenarnya adalah masalah ujian nasional (UN). Coba pikirkan, bagaimana mungkin sikap pro dan kontra tentang kebijakan UN tak kunjung henti lebih dari 10 tahun. Sejak kebijakan UN diluncurkan (UU Pendidikan No.20 Tahun 2002),  apa pun solusi yang diberikan, selalu bertemu jalan buntu. Walau pun banyak ahli, pengamat, kritisi atau praktisi pendidikan menyumbangkan pemikirannya, namun kebijakan UN terus jalan meski prosesnya acap kali amburadul. Artinya, “biar seribu anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Pemerintah (penguasa) hingga saat ini belum membuat solusi integral, akomodatif, sehingga konflik honrisontal UN berlarut-larut  sampai sekarang. Bukan kah hal tersebut mengancam integasi bangsa?
            Patut disadari, pada era presiden Sukarno (Orde Lama) dan Suharto (Orde Baru), tidak muncul persoalan serius menyangkut sistem pendidikan kecuali menyangkut fasilitas sarana dan prasarana. Dalam keadaan serba kekurangan pada masa itu, dunia pendidikan maju pesat. Ketika itu, banyak lahir tokoh-tokoh penting, para intelektual dan ilmuwan termasyhur dengan integritas cinta tanah air yang patut dipuji.
            Tapi sekarang apa yang terjadi? Sejak tumbangnya Orde Baru (1988), selama reformasi berjalan, dunia pendidikan seolah-olah gamang menentukan identitasnya. Label “nasional” dari “ujian” seakan-akan mengedepankan kepentingan politik. Sayangnya kepentingan politik (penguasa) tersebut tidak dibarengi sinergitas memadai, karena pendidikan adalah domain publik. Tatkala sistim pendidikan dirasa cukup merugikan, maka rakyat responsif mengkritisi, bahkan menggugat secara hukum (legal stading) atau class action hingga ke Mahkamah Agung.
            Karut marut UN 2013 tingkat SMA/sederajat baru-baru ini misalnya, menunjukkan betapa buruknya teknis pelaksanaan secara nasional. Terjadi kemacetan distribusi, pihak percetakan tidak mampu menyiapkan bahan ujian, rendahnya materi kertas jawaban, akhirnya menuju praduga manipulasi proyek. Tak kurang instansi terkait ikut menginvestigasi penyebab, termasuk protes keras dari lembaga parlemen DPR RI.  Bahkan, beberapa hari terakhir  muncul pemberitaan, demi keamanan soal UN tingkat SD/sederajat dikawal Densus 88 anti teror dan anjing pelacak. Sungguh memprihatinkan.
            Tanpa dipandang dengan sikap hiperbola, setiap tahun menjelang UN, kita sering disodorkan peristiwa  memiriskan hati. Anak didik dihadapkan secara psikologis kepada sesuatu   yang mendebarkan,  UN layaknya perjuangan hidup mati. Banyak sekolah-sekolah melakukan doa bersama. Uniknya, sebagian ada yang berdoa di kuburan, mandi air kembang, dan perilaku anak didik aneh lainyadi luar nalar rasionalitas dunia pendidikan. Belum lagi wabah bocornya kunci jawaban serta kecurangan pelaksanaan UN.
Ganti UN
            Di tengah kompleksitas dan kontroversi yang berkembang itu, seyogyanya tidak semata-mata pertimbangan kebijakan politis harus sentralistik, datang dari dari Pusat. Mengingat bahwa kondisi geografis, ekonomi, budaya dari suatu daerah dengan daerah lainnya tidak sama, sehingga proses dan hasil pendidikan pun tidak bisa dipaksakan merata. Sehingga perlu renungan pemikiran mendalam untuk merespon kausalitas yang terjadi.
Pertama, masalah UN sebenarnya bukan harga mati yang  tidak bisa dirubah demi gengsi sebuah kebijakan politik pendidikan. Suatu bukti, di awal pemerintahan Orde Baru, tahun 1966 hingga 1971, pernah diterapkan Ujian Negara untuk semua mata pelajaran. Kemudian kebijakan Ujian Negara dirubah menjadi Ujian Sekolah, maka sekolah lah yang menyelenggarakan ujian sendiri. Semuanya diserahkan kepada sekolah, sedangkan pemerintah pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan umum dan pelaksana ujian dilaksanakan pihak sekolah beserta materi dan teknisnya. Selanjutnya berubah lagi ke sistim Ebtanas (Evaluasi Tahap Akhir Nasional) dan Unas (Ujian Nasional) yang melibatkan pemerintah daerah setempat. Dari kronologi tersebut, bila diamati  tidak terdapat gonjang-ganjing masalah ujian untuk kelulusan anak didik. Hal itu terjadi karena fungsi pemerintah pusat hanya pada penentuan kebijakan umum dan monitoring, dan tidak berlaku monopoli seluruhnya didatangkan dari Pusat.
            Kedua, UN yang terjadi selama ini menunjukkan asas ketidakadilan karena sarana-prasarana, kurikulum, daya dukung Pemerintah Daerah serta distribusi guru belum merata.
Kondisi menyedihkan sarana-prasarana yang seharusnya melibatkan Pemerintah Daerah mendapat sorotan media massa. Beberapa contoh, banyak  anak didik bagaikan film “Indiana Jones”, meniti tali gantungan, bertarung dengan alam menuju sekolah, sekolah ambruk dan kisah memilukan lainnya. Semua itu menunjukkan betapa lemahnya Pemerintah Daerah menyikapi hal-hal mendasar tersebut. Tanpa disadari, komitmen Daerah untuk mencerdaskan anak bangsa belum menggembirakan, karena titik tumpu pembiayaan sarana prasarana  pendidikan  tergantung kecenderungan politik anggaran (APBD) Kab/Kota.
Ketiga, disparitas sosial-ekonomi ekstrim antara kota dan desa, antara sentral dan periperal, menjadi faktor pengganggu (confounding factor) buruknya demografi pendidikan.  Dalam hal ini, tidak setiap orangtua mampu menyekolahkan anaknya dengan baik dan lancar.
            Bukan rahasia umum, meski telah digembar-gemborkan tingkat sekolah dasar hingga tingkat menengah itu bisa diperoleh dengan gratis. Namun, variabel kebutuhan lainnya hampir terabaikan. Di desa, seorang anak selain sekolah, sering dibebankan menopang kehidupan keluarga. Makna sekolah dianggap “murah dan gampang: di kota, bisa saja menjadi “sulit dan mahal” bagi masyarakat di desa atau daerah-daerah miskin lainnya. Itulah sebabnya kebijakan UN tidak memperoleh hasil optimal.
            Dari ketiga prioritas masalah tersebut, sewajarnya pemerintah mengambil jalan  kompromis dan tidak terjerat oleh kehendak politik negara tentang UN. Jika pendidikan semata-mata berada dalam dominasi kekuasaan, tanpa mau botton-up mengakar dari bawah, niscaya akan menghasilkan generasi-generasi instan, manusia-manusia penghapal, perilaku robotik yang kelak akan merugikan masa bangsa kita sendiri. ***


Sumber:  GALAMEDIA, 13 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar