Imbas kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini bikin konflik di masayarakat adalah
bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Coba amati, di mana-mana kerap
terjadi kekisruhan. Mulai uang telat datang, salah sasaran, kepala desa
diancam, korupsi potongan, hingga ribut penolakan BLSM.
Semua kejadian itu menunjukkan
pemerintah tanpa wajah salah. Dilakukan layaknya manajemen panik dan
tergesa-gesa. Atau mungkin punya pikiran bantuan langsung tunai (BLT) periode
sebelumnya dianggap sukses, sehingga berasumsi BLSM kali
ini berjalan mulus.
Padahal sudah banyak penelitian,
baik dari kalangan kampus maupun tanggapan masyarakat, menyebutkan BLT sarat menuai
masalah. Sejak lama disarankan bantuan uang tunai sebaiknya ditiadakan, diganti
program lain lebih bermanfaat. Maksudnya, masyarakat jangan dimanjakan diberi
“ikan”, tapi berilah “kail”.
Kalau diberi ikan, kenyangnya cuma
sementara. Kalau diberi kail, manfaatnya mendidik masyarakat berusaha tetap bertahan hidup.
Tetapi saran ini tidak didengar, apalagi masuk wacana di pemerintahan.
Kesannya, pemerintah pakai kaca-mata kuda, lurus ke depan tak perduli dengan
usul kebaikan.
Sayangnya, barisan intelektual dari
kubu pemerintahan, seperti staf khusus Presiden, staf khusus Menteri, atau
stafnya staf, serta pembantu konseptor lainnya, berlomba-lomba menunjukkan
prestasi in-group-nya di media massa.
Baik lewat tulisan mau pun wawancara di televisi. Padahal sebagian besar dari
mereka itu dulunya dikenal sebagai aktivis, suka mengkritisi pemerintah, bahkan
ada yang pernah mengeritik BLT.
Rupanya idealisme telah diganti arus
balik. Dulu disebut intelektual kaum
“sana”, sekarang menjadi orang “sini”.
Akibatnya nalar kritis seolah tumpul tatkala masuk dalam hegemoni
kekuasaan.
Riwayat BLSM
Ketika APBN-P ditetapkan, hanya
PDI-P, PKS, Gerindra dan Hanura yang menolak kenaikan BBM. Pada komposisi kursi
parlemen, total suara mereka kalah dengan sekretariat gabungan (setgab) parpol
koalisi pemerintah.
Meski menolak BBM, keempat partai
tersebut terpojok dalam fait accompli
tatkala program BLSM digelontorkan untuk masyarakat miskin. Pada satu sisi
masyarakat miskin harus ditolong, namun pada sisi lain kompensasi BLSM bisa
dipelintir sebagai politik uang yang dilegalkan.
Empat hari sebelum RAPBN ditetapkan,
Menteri Keuangan Chatib Basri dalam rapat kerja dengan DPR pernah mengusulkan
Rp 11,6 triliun untuk kompensasi BLSM. Dengan perincian setiap orang miskin
mendapat bantuan Rp 150 ribu perbulan, dibagikan kepada 15,5 juta jiwa dalam
waktu 4 bulan.
Tampaknya semua fraksi di gedung DPR
mengamini usulan tersebut, tanpa reserve.
Artinya terjadi loss-controll tanpa
mendalami lebih jauh tentang akurasi data dan sistem yang dilakukan serta
kesiapan pemerintah.
Akibatnya ketika palu sidang telah
diketuk, seluruh pelaksanaan dilakukan pemerintah. Walau pun terlontar wacana
pengawasan ilakukan oleh parpol, tetapi realitanya sekadar heroisme omong
kosong.
Padahal jika ditelusuri data
peruntukan BLSM 15,5 juta jiwa merupakan data statis yang digunakan pada
program BLT tahun 2005. Celakanya, proyeksi data yang sama digunakan lagi untuk
BLSM 2013. Inilah yang menyebabkan karut marut pembagian uang tunai BLSM di
lapisan masyarakat bawah (miskin).
Betapa menyedihkan bila revitalisasi
tidak dilakukan. Cukup banyak ditemukan masyarakat pemilik mobil, ponsel,
berumah gedung dan dianggap mampu (kaya) ambil bagian menerima BLSM. Masalah
ketidak-adilan (fairness) ini
berlangsung tanpa monev (monitoring evaluasi) pihak berkompeten. Sementara
masyarakat yang benar-benar miskin acapkali terabaikan lantaran tidak memiliki
admisnistrasi kependudukan.
Muatan politis
Jadi sulit dibantah berkembang
hipotesa bantuan uang tunai dimaksud ada hubungannya dengan cara ringkas
peraihan suara pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres)
2014. Kejadian serupa akan terulang seperti pemilu 2009 yang lalu.
Pada waktu itu, dikenal program BLT (Bantuan
Langsung Tunai), dibagikan kepada seluruh rakyat miskin. Pemerintah sebagai penggagas
BLT dengan instrument PD sebagai partai pemerintah mendapat keuntungan
langsung. Secara signifikan peraihan
suara PD melonjak drastis
Sekitar
satu tahun ke depan, pesta demokrasi 2014. Setiap parpol peserta pemilu
berkompetisi untuk sebanyak-banyaknya meraih kursi parlemen. Itulah hakikat
sejati dari pileg.
Andrew
Reynolds (“Electoral System Design”, 2005),
menyebut persaingan pemilu itu sebagai in the most basic level, electoral systems translate the votes cast in
a general election into seats won by parties and candidates.
.Jika
BLSM ditengarai sebagai faktor perancu (counfounding
factor) dalam proses menuju pileg dan pilpres yang jujur, maka inilah
kekuatiran bersama di alam demokrasi Indonesia. Dalam kepentingan khusus BLSM memang
menolong rakyat jelata, tetapi dalam kepentingan lain menimbulkan berisi muatan
politis.
Karena
parpol pihak yang menentukan kenaikan harga BBM dan kompensasi BLSM, maka
dituntut tanggungjawabnya untuk melakukan pengawasan terhadap amburadulnya
proses distribusi uang tunai BLSM di masyarakat. Sesungguhnya, berani berbuat
ya berani juga untuk bertanggungjawab. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar