Selasa, 27 Agustus 2013

BLSM Bikin Repot

                  Imbas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini bikin konflik di masayarakat adalah bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Coba amati, di mana-mana kerap terjadi kekisruhan. Mulai uang telat datang, salah sasaran, kepala desa diancam, korupsi potongan, hingga ribut penolakan  BLSM.
            Semua kejadian itu menunjukkan pemerintah tanpa wajah salah. Dilakukan layaknya manajemen panik dan tergesa-gesa. Atau mungkin punya pikiran bantuan langsung tunai (BLT) periode sebelumnya dianggap sukses, sehingga berasumsi BLSM kali ini berjalan mulus.
            Padahal sudah banyak penelitian, baik dari kalangan kampus maupun tanggapan masyarakat, menyebutkan BLT sarat menuai masalah. Sejak lama disarankan bantuan uang tunai sebaiknya ditiadakan, diganti program lain lebih bermanfaat. Maksudnya, masyarakat jangan dimanjakan diberi “ikan”, tapi berilah “kail”.
            Kalau diberi ikan, kenyangnya cuma sementara. Kalau diberi kail, manfaatnya mendidik masyarakat             berusaha tetap bertahan hidup. Tetapi saran ini tidak didengar, apalagi masuk wacana di pemerintahan. Kesannya, pemerintah pakai kaca-mata kuda, lurus ke depan tak perduli dengan usul kebaikan.
            Sayangnya, barisan intelektual dari kubu pemerintahan, seperti staf khusus Presiden, staf khusus Menteri, atau stafnya staf, serta pembantu konseptor lainnya, berlomba-lomba menunjukkan prestasi in-group-nya di media massa. Baik lewat tulisan mau pun wawancara di televisi. Padahal sebagian besar dari mereka itu dulunya dikenal sebagai aktivis, suka mengkritisi pemerintah, bahkan ada yang pernah mengeritik BLT.
            Rupanya idealisme telah diganti arus balik. Dulu disebut intelektual kaum  “sana”, sekarang menjadi orang “sini”.  Akibatnya nalar kritis seolah tumpul tatkala masuk dalam hegemoni kekuasaan.
Riwayat BLSM
            Ketika APBN-P ditetapkan, hanya PDI-P, PKS, Gerindra dan Hanura yang menolak kenaikan BBM. Pada komposisi kursi parlemen, total suara mereka kalah dengan sekretariat gabungan (setgab) parpol koalisi pemerintah.
            Meski menolak BBM, keempat partai tersebut terpojok dalam fait accompli tatkala program BLSM digelontorkan untuk masyarakat miskin. Pada satu sisi masyarakat miskin harus ditolong, namun pada sisi lain kompensasi BLSM bisa dipelintir sebagai politik uang yang dilegalkan.
            Empat hari sebelum RAPBN ditetapkan, Menteri Keuangan Chatib Basri dalam rapat kerja dengan DPR pernah mengusulkan Rp 11,6 triliun untuk kompensasi BLSM. Dengan perincian setiap orang miskin mendapat bantuan Rp 150 ribu perbulan, dibagikan kepada 15,5 juta jiwa dalam waktu 4 bulan.
            Tampaknya semua fraksi di gedung DPR mengamini usulan tersebut, tanpa reserve. Artinya terjadi loss-controll tanpa mendalami lebih jauh tentang akurasi data dan sistem yang dilakukan serta kesiapan pemerintah.
            Akibatnya ketika palu sidang telah diketuk, seluruh pelaksanaan dilakukan pemerintah. Walau pun terlontar wacana pengawasan ilakukan oleh parpol, tetapi realitanya sekadar heroisme omong kosong.
            Padahal jika ditelusuri data peruntukan BLSM 15,5 juta jiwa merupakan data statis yang digunakan pada program BLT tahun 2005. Celakanya, proyeksi data yang sama digunakan lagi untuk BLSM 2013. Inilah yang menyebabkan karut marut pembagian uang tunai BLSM di lapisan masyarakat bawah (miskin).
            Betapa menyedihkan bila revitalisasi tidak dilakukan. Cukup banyak ditemukan masyarakat pemilik mobil, ponsel, berumah gedung dan dianggap mampu (kaya) ambil bagian menerima BLSM. Masalah ketidak-adilan (fairness) ini berlangsung tanpa monev (monitoring evaluasi) pihak berkompeten. Sementara masyarakat yang benar-benar miskin acapkali terabaikan lantaran tidak memiliki admisnistrasi kependudukan.
Muatan politis
            Jadi sulit dibantah berkembang hipotesa bantuan uang tunai dimaksud ada hubungannya dengan cara ringkas peraihan suara pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2014. Kejadian serupa akan terulang seperti pemilu 2009 yang lalu.
 Pada waktu itu, dikenal program BLT (Bantuan Langsung Tunai), dibagikan kepada seluruh rakyat miskin. Pemerintah sebagai penggagas BLT dengan instrument PD sebagai partai pemerintah mendapat keuntungan langsung.  Secara signifikan peraihan suara PD melonjak drastis
Sekitar satu tahun ke depan, pesta demokrasi 2014. Setiap parpol peserta pemilu berkompetisi untuk sebanyak-banyaknya meraih kursi parlemen. Itulah hakikat sejati dari pileg.
Andrew Reynolds (“Electoral System Design”, 2005),  menyebut persaingan pemilu itu sebagai in the most basic level, electoral systems translate the votes cast in a general election into seats won by parties and candidates.
.Jika BLSM ditengarai sebagai faktor perancu (counfounding factor) dalam proses menuju pileg dan pilpres yang jujur, maka inilah kekuatiran bersama di alam demokrasi Indonesia. Dalam kepentingan khusus BLSM memang menolong rakyat jelata, tetapi dalam kepentingan lain menimbulkan berisi muatan politis.
Karena parpol pihak yang menentukan kenaikan harga BBM dan kompensasi BLSM, maka dituntut tanggungjawabnya untuk melakukan pengawasan terhadap amburadulnya proses distribusi uang tunai BLSM di masyarakat. Sesungguhnya, berani berbuat ya berani juga untuk bertanggungjawab. ***
Sumber: SINAR HARAPAN, 1 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar