Tiga
tahun terakhir ini, mencuat sikap kritis masyarakat terhadap sosialisasi Empat
Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Empat pilar dimaksud adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka
Tunggal Ika.
MPR
periode 2009-2014 tersebut, menjalankan sosialisasi Empat Pilar berpedoman pada Pasal 15 ayat 1 huruf e UU
No.27 Tahun 2009. Isinya berbunyi:
“mengordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UUD 1945”.
Tetapi
sosialisasi Empat Pilar tidak berjalan mulus. Eksesnya di masyarakat timbul
pandangan pro dan kontra. Sikap
kontra, keliru meletakkan Pancasila
sejajar dengan UUD 1945, NKRI dan Bhinneka
Tunggal Ika. Dan Pancasila itu bukan “pilar” (penyangga), melainkan “dasar”
(fondasi) negara. Sikap pro, itikad MPR
itu baik, tapi cara menerjemahkannya salah.
Soekarno
(Bung Karno) pernah mengatakan, Pancasila
itu sebagai “philosophische
grondslag” (filosofi dasar), dan “weltanschauung”
(pandangan hidup). Kata-kata ini sering diucapkan Bung Karno, baik dalam sidang BPUPKI
maupun tulisan lainnya. Jadi pandangan masyarakat tidak salah.
Disamping
itu,, bukankah UU No.27 Tahun 2009 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD itu
hanya memandatkan sosialissi UUD 1945?
Mengapa tugas MPR melebar dengan Empat Pilar?
Itulah
yang menyebabkan eksistensi MPR sedikit
terganggu. Entah apa dan dari mana ide Empat Pilar itu ditetaskan. Yang jelas,
di beberapa kota, termasuk Bandung, sempat terpasang spanduk di jalan-jalan
yang menohok: “Pancasila Bukan Pilar, Tapi Dasar NKRI”.
Jika
direnungkan, tujuan MPR memasyarakatkan Empat Pilar itu tidak salah. Tapi
sayangnya, MPR tidak melakukan
fragmentasi secara parsial. Biarkan Pancasila berdiri dengan kesaktiannya. Lagi pula, siapa pun tak melarang memasyarakatkan
Pancasila lebih khusus di saat meredupnya Pancasila saat ini.
Pancasila di masa Orde Lama, digunakan menyimpang.
Pada era Demokrasi Terpimpin, banyak orang dipenjara tanpa lewat meja pengadilan.
Berganti masa Orde Baru, Pancasila direkayasa sebagai alat penindas. Orang
dipaksa menerima Pola Pengamalan dan Penghayatan Pancasila (P-4) dan butir 36
nilai. Rakyat dipaksa dan terpaksa mengerti ideologi Pancasila menurut tafsir
tunggal Orde Baru. Selain itu, perilaku penguasa waktu itu, bertentangan dengan
Pancasila. Penangkapan, penculikan dan
penghilangan nyawa dilakukan atas nama Pancasila yang dimanipulasi.
Masyarakat memang mengalami stigma buruk
ketika Pancasila menjadi pisau kekuasaan. Lantas sekarang, Pancasila diajarkan
dalam keilmuan (ilmiah) dan hapalan. Terhadap para murid sekolah, melalui UU
No. 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, diganti dengan PPKn (Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan).
Dalam Era Reformasi sekarang ini,
semua diajak berpetualang dengan globalisasi dan gelombang demokrasi. Pancasila
kian terpinggirkan dengan arus jaman, dijauhkan dari kehidupan
sehari-sehari. Pancasila terjerembab
kurang kontekstual, berjarak dengan rakyat Indonesia.
Bahkan,
sebagian ada yang menyebu Pancasila telah gagal dalam mensejahterakan bangsa
karena proses demokrasi di Indonesia tidak sehat. Pandangan ini sungguh
menyakitkan tatkala Pancasila dijadikan kambinghitam perubahan jaman. Ini menunjukkan bukti kesesatan sistemik. Semangat entitas dan golongan mengemuka di
ranah hiruk pikuk politik kian semrawut, acap kali ideologi Pancasila diusik.
Disamping
itu, beberapa ideologi besar di dunia telah runtuh. Daniel Bell meneriakkan “The End of Ideology” (1960), Francis
Fukuyama menulis “The End of History” (1992), dan para penganjur Barat lainnya
mengiring dalam babak kapitalisme, neo-liberalisme dan wabah demokrasi tahap
ketiga (Anthony Giddens, The Third Way,
1999).
Pancasila
mengalami pasang surut akibat tekanan
sosial, ekonomi dan politik dari luar. Sebenarnya
tali kendali ada di tangan penguasa negara. Apakah mau menghadang arus
globalisasi dengan mengaktulisasikan Pancasila, atau kah mengantungkan
Pancasila dalam bingkai emas di kantor-kantor birokrasi, atau sekadar pelengkap
di dokumen organisasi massa dan partai politik.
Mengaitkan
Pancasila dengan era pemerintahan tertentu, adalah kesalahan besar. Sebab
Pancasila adalah “way of life”, jalan hidup berbangsa dan bernegara. Dalam
skala regional, nasional maupun internasional selayaknya nilai-nilai Pancasila
menjadi pelita menuju Indonesia masa depan.
Barangkali ada aura positif. Beberapa bulan ke depan akan diluncurkan Kurikulum
2013 bertumpu Pancasila sebagai kompetensi pembelajaran. Dalam pendidikan dasar
yang nanti akan diterapkan, semoga diajarkan menekankan aspek kognitif semata,
tetapi lebih afektif. Dalam arti,
Pancasila digunakan kontekstual untuk memerangi korupsi, kolusi dan nepotisme
yang menggerogoti bangsa dan negara.
Alangkah kasihan nasib Pancasila. Padahal,
para bapak bangsa (founding fathers),
telah menggalinya dari sejarah keringat darah warisan leluhur. Semoga Pancasila
tidak teralienasi. Percayalah, Pancasila masih tersimpan dalam lubuk hati sanubari rakyat Indonesia.(*)Somber, INILAH KORAN, 1 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar