Selasa, 27 Agustus 2013

Pancasila Konstektual

Tiga tahun terakhir ini, mencuat sikap kritis masyarakat terhadap sosialisasi Empat Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Empat pilar dimaksud adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
MPR periode 2009-2014 tersebut, menjalankan sosialisasi Empat Pilar  berpedoman pada Pasal 15 ayat 1 huruf e UU No.27 Tahun 2009.  Isinya berbunyi: “mengordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UUD 1945”.
Tetapi sosialisasi Empat Pilar tidak berjalan mulus. Eksesnya di masyarakat timbul pandangan pro dan kontra.  Sikap kontra,  keliru meletakkan Pancasila sejajar  dengan UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan Pancasila itu bukan “pilar” (penyangga), melainkan “dasar” (fondasi) negara.  Sikap pro, itikad MPR itu baik, tapi cara menerjemahkannya salah.
Soekarno (Bung Karno) pernah mengatakan, Pancasila  itu sebagai “philosophische grondslag” (filosofi dasar), dan “weltanschauung” (pandangan hidup). Kata-kata ini sering  diucapkan Bung Karno, baik dalam sidang BPUPKI maupun tulisan lainnya.  Jadi  pandangan masyarakat tidak salah.
Disamping itu,, bukankah UU No.27 Tahun 2009 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD itu hanya memandatkan sosialissi UUD 1945?  Mengapa tugas MPR melebar dengan Empat Pilar?
Itulah yang  menyebabkan eksistensi MPR sedikit terganggu. Entah apa dan dari mana ide Empat Pilar itu ditetaskan. Yang jelas, di beberapa kota, termasuk Bandung, sempat terpasang spanduk di jalan-jalan yang menohok: “Pancasila Bukan Pilar, Tapi Dasar NKRI”.
Jika direnungkan, tujuan MPR memasyarakatkan Empat Pilar itu tidak salah. Tapi sayangnya,  MPR tidak melakukan fragmentasi secara parsial. Biarkan Pancasila berdiri dengan kesaktiannya.  Lagi pula, siapa pun tak melarang memasyarakatkan Pancasila lebih khusus di saat meredupnya Pancasila saat ini. 
            Pancasila di masa Orde Lama, digunakan menyimpang. Pada era Demokrasi Terpimpin, banyak orang dipenjara tanpa lewat meja pengadilan. Berganti masa Orde Baru, Pancasila direkayasa sebagai alat penindas. Orang dipaksa menerima Pola Pengamalan dan Penghayatan Pancasila (P-4) dan butir 36 nilai. Rakyat dipaksa dan terpaksa mengerti ideologi Pancasila menurut tafsir tunggal Orde Baru. Selain itu, perilaku penguasa waktu itu, bertentangan dengan Pancasila.  Penangkapan, penculikan dan penghilangan nyawa dilakukan atas nama Pancasila yang dimanipulasi.
            Masyarakat memang mengalami stigma buruk ketika Pancasila menjadi pisau kekuasaan. Lantas sekarang, Pancasila diajarkan dalam keilmuan (ilmiah) dan hapalan. Terhadap para murid sekolah, melalui UU No. 23 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, diganti dengan PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).
            Dalam Era Reformasi sekarang ini, semua diajak berpetualang dengan globalisasi dan gelombang demokrasi. Pancasila kian terpinggirkan dengan arus jaman, dijauhkan dari kehidupan sehari-sehari.  Pancasila terjerembab kurang kontekstual, berjarak dengan rakyat Indonesia.
Bahkan, sebagian ada yang menyebu Pancasila telah gagal dalam mensejahterakan bangsa karena proses demokrasi di Indonesia tidak sehat. Pandangan ini sungguh menyakitkan tatkala Pancasila dijadikan kambinghitam perubahan jaman. Ini  menunjukkan bukti kesesatan sistemik.  Semangat entitas dan golongan mengemuka di ranah hiruk pikuk politik kian semrawut, acap kali ideologi Pancasila diusik.
Disamping itu, beberapa ideologi besar di dunia telah runtuh. Daniel Bell meneriakkan “The End of Ideology” (1960), Francis Fukuyama menulis “The End of History” (1992), dan para penganjur Barat lainnya mengiring dalam babak kapitalisme, neo-liberalisme dan wabah demokrasi tahap ketiga (Anthony Giddens, The Third Way, 1999).
Pancasila mengalami pasang surut akibat  tekanan sosial, ekonomi dan politik dari luar.  Sebenarnya tali kendali ada di tangan penguasa negara. Apakah mau menghadang arus globalisasi dengan mengaktulisasikan Pancasila, atau kah mengantungkan Pancasila dalam bingkai emas di kantor-kantor birokrasi, atau sekadar pelengkap di dokumen organisasi massa dan partai politik.
Mengaitkan Pancasila dengan era pemerintahan tertentu, adalah kesalahan besar. Sebab Pancasila adalah “way of life”,  jalan hidup berbangsa dan bernegara. Dalam skala regional, nasional maupun internasional selayaknya nilai-nilai Pancasila menjadi pelita menuju Indonesia masa depan.
            Barangkali ada aura positif.  Beberapa bulan ke depan akan diluncurkan Kurikulum 2013 bertumpu Pancasila sebagai kompetensi pembelajaran. Dalam pendidikan dasar yang nanti akan diterapkan, semoga diajarkan menekankan aspek kognitif semata, tetapi lebih afektif.  Dalam arti, Pancasila digunakan kontekstual untuk memerangi korupsi, kolusi dan nepotisme yang menggerogoti bangsa dan negara.
            Alangkah kasihan nasib Pancasila. Padahal, para bapak bangsa (founding fathers), telah menggalinya dari sejarah keringat darah warisan leluhur. Semoga Pancasila tidak teralienasi. Percayalah, Pancasila masih tersimpan  dalam lubuk hati sanubari rakyat Indonesia.(*)

Somber, INILAH KORAN, 1 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar