PADA mulanya suatu keraguan tatkala mendengar kabar
seorang gurubesar dari salah satu perguruan tinggi terkemuka di Bandung,
Prof.Dr. Rudi Rubiandini, dicokok KPK beberapa hari yang lalu. Timbul rasa prihatin,
kasihan, malu dan kesal bergelut dalam hati. Bagaimana mungkin, seorang
akademisi profesional yang mumpuni di bidang ilmunya, pernah meraih dosen
teladan, tak disangka terjerembab aib korupsi.
Terlepas
latar belakang masalah Migas serta politik tingkat tinggi yang menyertai kasus
tersebut, seolah dunia kampus merasa tertampar. Sebenarnya bila diselusuri
kasus korupsi yang mengenai warga kampus, bukan hanya dialami Prof Dr Rudi
Rubiandini seorang. Karena masih banyak kasus korupsi lainnya menerpa warga
kampus.
Coba iseng-iseng ketik kalimat “korupsi di kampus” di Google. Jangan heran, Anda akan menemukan belasan perguruan tinggi
di Indonesia berikut nama civitas akademika terlibat kasus korupsi. Ada penyandang
prestasi hebat, bergelar Doktor atau Ph.D, bahkan gurubesar (Profesor).
Beberapa diantaranya dinyatakan terduga, tersangka, bahkan dihukum penjara.
Satu dasawarsa
terakhir ini, fenomena korupsi di kampus atau melibatkan warga kampus lainnya
sungguh fenomenal. Seolah dunia kampus turut serta berkontribusi maraknya
korupsi di Tanah Air. Sayangnya, kebanyakan dialami Perguruan Tinggi Negeri
(PTN). Mak;um, selama ini PT memang kerap disubsidi pemerintah. Selain itu,
orang-orang pintar dari kampus (dosen) banyak “dipinjam” menjadi pemegang jabatan
di pemerintahan.
Tanpa
mengurangi rasa hormat, di media on-line
disebutkan deretan nama kampus terkenal diterpa isu korupsi, diantaranya UI Jakarta, Unsoed
Purwokerto, USU Medan, UNM Malang, STAIN Kendari. Termasuk beberapa kampus lainnya berhubungan
bantuan te APBDN yang melibatkan anggota DPR.
Timbul kesan, kampus bukan hanya lumbung ilmu
pengetahuan semata. Tetapi kampus juga berwujud pundi-pundi menggiurkan. Itu sebabnya tikus
kampus nekad menggerogoti lumbungnya sendiri. Juga, lumbung negara.
Selain itu, kampus termasung sarang capital, banyak
beredar uang di dalamnya. Dapat dibayangkan, saat ini uang kuliah (biaya
pendidikan) tergolong mahal. Pandangan
kampus sebagai agent of social change
menurut sosiolog Dr. Arief Budiman, mulai tergerus oleh keniscayaan agent
of capitalism.
Olimpus
menangis
Kaum
intelektual menyebut kampus sebagai media perjuangan moral. Kesadaran moral
merupakan sektor hulu berpangkal dari dunia pendidikan. Sektor hilir menjadi pengejawantahan aplikasi dunia
pendidikan sebagai transfer moral. Lalu benteng moral itu bersandar pada level
perguruan tinggi.
Pada
tempatnya pula perguruan tinggi sebagai wadah perpindahan ilmu dari sang guru
(dosen) atau begawan (profesor) kepada mahasiswa. Di kawah candradimuka kampus
maka nilai-nilai ideal ketauladanan, kejujuran serta integritas dibentuk
sebagai manusia civitas akademika berlandaskan kejujuran..
Nasib
getirnya, kesimbangan ilmu dan moral acapkali terkoyak oleh perilaku menyimpang
pemangku kepentingan di kampus, baik di level rektorat, dekanat maupun civitas
akademika lainnya.
Korupsi
di kampus mengusik ketenteraman kita bersama. Barangkali dewa ilmu pengetahuan
Olimpus pun menangis tatkala kampus ternoda oleh oknum ilmuwan merangkap
korutor.
Sungguh gejala sosial jungkirbalik. Para pengelola kampus, dihuni orang yang bergelar hebat, Doktor dan
Profesor. Padahal mereka dipilih
berdasarkan kriteria dedikasi ilmuwan secara demokratis. Celakanya, di antara
mereka secara sengaja mau pun tidak, acapkali tergelincir kasus korupsi di
kampus.
Pedang
democles
Thomas
E. Guinn, “The Sword of Damocles” menyebutkan
tajamnya pedang democles sebagai bilah “kemujuran” dan “malapetaka”. Begitu pula dalam jabatan petinggi kampus,
ketika tajamnya ilmu pengetahuan diselewengkan atas nafsi-nafsi duniawi, dampaknya
melukai diri sendiri juga lingkungannya.
Sebenarnya
bukan pendidikan yang menyebabkan korup. Tapi kepintaran yang disalahgunakan
pemiliknya melahirkan tindakan korup atas kecerdasan kreatifnya. Pada kondisi tertentu akal sehat telah
mengalahkan nalar kebenaran dunia pendidikan.
Karena
kepintaran sang dosen, tak jarang ditarik memegang jabatan tertentu di
pemerintahan. Terutama oleh partai yang berkuasa pada zamannya. Sementara
pemerintahan berkuasa digerakkan oleh salah satu partai politik. Sehingga tatkala sang ilmuwan digunakan
sebagai mesin pemerintahan, pada saat yang sama tak jarang digunakan sebagai
mesin penghasil uang.
Itulah
rasa keadilan yang acapkali mengusik keprihatinan. Akhir-akhir ini kesejatian
integritas sivitas akademika terancam oleh segelintir orang serakah, mabuk
jabatan, pengerat duit rakyat, dilakukan kaum terpelajar. Akibatnya,
aroma tak sedap dari segelintir
tikus kampus menutupi keharuman ilmuwan sejati lainnya.
Sungguh
kasihan ilmuwan yang selama ini
bertahun-tahun mengajar, meneliti, memuplikasikan karya ilmiahnya dalam seminar
atau jurnal terpandang. Banyak para dosen kita lainnya berprestasi internasional.
Selayaknya refleksi kesadaran mesti ditegakkan. Tujuannya demi menjaga perguruan
tinggi bersih dari korupsi agar generasi
masa depan kita terhindar dari anomali buah pendidikan. Semoga di masa depan
kampus selalu steril, tetap menjunjung tinggi harkat kejujuran, bebas dari
korupsi.***
Sumber: GALAMEDIA, 23 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar