Selasa, 27 Agustus 2013

Runtuhnya Integritas Warga Kampus

               PADA mulanya suatu keraguan tatkala mendengar kabar seorang gurubesar dari salah satu perguruan tinggi terkemuka di Bandung, Prof.Dr. Rudi Rubiandini, dicokok KPK beberapa hari yang lalu. Timbul rasa prihatin, kasihan, malu dan kesal bergelut dalam hati. Bagaimana mungkin, seorang akademisi profesional yang mumpuni di bidang ilmunya, pernah meraih dosen teladan, tak disangka terjerembab aib korupsi.
            Terlepas latar belakang masalah Migas serta politik tingkat tinggi yang menyertai kasus tersebut, seolah dunia kampus merasa tertampar. Sebenarnya bila diselusuri kasus korupsi yang mengenai warga kampus, bukan hanya dialami Prof Dr Rudi Rubiandini seorang. Karena masih banyak kasus korupsi lainnya menerpa warga kampus.
Coba iseng-iseng ketik  kalimat “korupsi di kampus”  di  Google.  Jangan heran,  Anda akan menemukan belasan perguruan tinggi di Indonesia berikut nama civitas akademika terlibat kasus korupsi. Ada penyandang prestasi hebat, bergelar Doktor atau Ph.D, bahkan gurubesar (Profesor). Beberapa diantaranya dinyatakan terduga, tersangka, bahkan dihukum penjara.
            Satu dasawarsa terakhir ini, fenomena korupsi di kampus atau melibatkan warga kampus lainnya sungguh fenomenal. Seolah dunia kampus turut serta berkontribusi maraknya korupsi di Tanah Air. Sayangnya, kebanyakan dialami Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Mak;um, selama ini PT memang kerap disubsidi pemerintah. Selain itu, orang-orang pintar dari kampus (dosen) banyak “dipinjam” menjadi pemegang jabatan di pemerintahan.
            Tanpa mengurangi rasa hormat, di media on-line disebutkan deretan nama kampus terkenal diterpa isu korupsi, diantaranya  UI Jakarta,   Unsoed Purwokerto, USU Medan, UNM Malang, STAIN Kendari.  Termasuk beberapa kampus lainnya berhubungan bantuan te APBDN yang melibatkan anggota DPR.          
Timbul kesan, kampus bukan hanya lumbung ilmu pengetahuan semata. Tetapi kampus juga berwujud  pundi-pundi menggiurkan. Itu sebabnya tikus kampus nekad menggerogoti lumbungnya sendiri. Juga, lumbung negara.
Selain itu, kampus termasung sarang capital, banyak beredar uang di dalamnya. Dapat dibayangkan, saat ini uang kuliah (biaya pendidikan) tergolong mahal.  Pandangan kampus sebagai agent of social change menurut sosiolog Dr. Arief Budiman, mulai tergerus oleh keniscayaan  agent of capitalism.
Olimpus menangis
            Kaum intelektual menyebut kampus sebagai media perjuangan moral. Kesadaran moral merupakan sektor hulu berpangkal dari dunia pendidikan.  Sektor hilir menjadi pengejawantahan aplikasi dunia pendidikan sebagai transfer moral. Lalu benteng moral itu bersandar pada level perguruan tinggi. 
            Pada tempatnya pula perguruan tinggi sebagai wadah perpindahan ilmu dari sang guru (dosen) atau begawan (profesor) kepada mahasiswa. Di kawah candradimuka kampus maka nilai-nilai ideal ketauladanan, kejujuran serta integritas dibentuk sebagai manusia civitas akademika berlandaskan kejujuran..
            Nasib getirnya, kesimbangan ilmu dan moral acapkali terkoyak oleh perilaku menyimpang pemangku kepentingan di kampus, baik di level rektorat, dekanat maupun civitas akademika lainnya.
            Korupsi di kampus mengusik ketenteraman kita bersama. Barangkali dewa ilmu pengetahuan Olimpus pun menangis tatkala kampus ternoda oleh oknum ilmuwan merangkap korutor.
            Sungguh gejala sosial jungkirbalik.  Para pengelola kampus, dihuni  orang yang bergelar hebat, Doktor dan Profesor.  Padahal mereka dipilih berdasarkan kriteria dedikasi ilmuwan secara demokratis. Celakanya, di antara mereka secara sengaja mau pun tidak, acapkali tergelincir kasus korupsi di kampus.
Pedang democles
            Thomas E. Guinn, “The Sword of Damocles” menyebutkan tajamnya pedang democles sebagai  bilah  “kemujuran”  dan “malapetaka”.  Begitu pula dalam jabatan petinggi kampus, ketika tajamnya ilmu pengetahuan diselewengkan atas nafsi-nafsi duniawi, dampaknya melukai diri sendiri juga lingkungannya.
            Sebenarnya bukan pendidikan yang menyebabkan korup. Tapi kepintaran yang disalahgunakan pemiliknya melahirkan tindakan korup atas kecerdasan kreatifnya.  Pada kondisi tertentu akal sehat telah mengalahkan nalar kebenaran dunia pendidikan.
            Karena kepintaran sang dosen, tak jarang ditarik memegang jabatan tertentu di pemerintahan. Terutama oleh partai yang berkuasa pada zamannya. Sementara pemerintahan berkuasa digerakkan oleh salah satu partai politik.  Sehingga tatkala sang ilmuwan digunakan sebagai mesin pemerintahan, pada saat yang sama tak jarang digunakan sebagai mesin penghasil uang.
            Itulah rasa keadilan yang acapkali mengusik keprihatinan. Akhir-akhir ini kesejatian integritas sivitas akademika terancam oleh segelintir orang serakah, mabuk jabatan, pengerat duit rakyat, dilakukan kaum terpelajar.  Akibatnya,  aroma tak sedap dari segelintir  tikus kampus menutupi keharuman ilmuwan sejati lainnya.
            Sungguh kasihan ilmuwan yang  selama ini bertahun-tahun mengajar, meneliti, memuplikasikan karya ilmiahnya dalam seminar atau jurnal terpandang. Banyak para dosen kita lainnya berprestasi internasional.
Selayaknya refleksi kesadaran  mesti ditegakkan. Tujuannya demi menjaga perguruan tinggi bersih dari korupsi  agar generasi masa depan kita terhindar dari anomali buah pendidikan. Semoga di masa depan kampus selalu steril, tetap menjunjung tinggi harkat kejujuran, bebas dari korupsi.***
Sumber: GALAMEDIA, 23 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar