Selasa, 27 Agustus 2013

Menyorot Rekening Gendut

             Entah sejak kapan istilah gendut  menjadi bahasa hukum. Jika dibuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, “gendut” artinya besar dan seakan-akan menggantung (perut).  Dalam dunia kedokteran, orang dikatakan gendut menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)  mempunyai lingkar perut lebih 90 cm untuk pria, dan lebih 80 cm untuk wanita.
            Supaya perut tidak buncit, orang suka diet. Sehingga butuh tubuh ideal, patuh pada rumus BMI (Body Mass Index), Brocha, dan lain-lain. Gendut memang tidak elok dipandang,   Itulah sebabnya Kepala Polisi di Hanoi, Vietnam, melarang polisi gendut bertugas di area publik. Demi menjaga citra polisi, , para polisi gendut diberi kerja kantoran.
Bukan Cuma di Vietnam. Di beberapa kota di Indonesia juga para polisi dianjurkan mengempiskan perut buncitnya. Polisi di Surabaya misalnya, berlomba-lomba menurunkan berat badan agar ideal. Jika tinggi badan 170 Cm, praktisnya kurangi 70, maka pantasnya berat badan 100 Kg.
Akhir-akhir ini bukan soal perut gendut polisi saja yang menjadi perhatian. Tapi soal rekening gendut milik polisi juga jadi sorotan publik. Terutama sejak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)  mengungkap seorang polisi di Papua mempunyai akumulai transaksi Rp 1,5 Triliun. Masalahnya, pemilik duit berjibun itu berpangkat Ajun Inspektur Satu (Aiptu), tergolong rendah. Dan tidak mungkin dari gajinya, sampai pension ditabung pun, bakal tidak sampai sefantastik itu nilainya.
Yang jadi masalah, kalau polisi berpangkat Aiptu punya celengan sebesar itu, lantas bagaimana dengan polisi berpangkat Perwira Tinggi? Nah, inilah pertanyaan orang awam coba direka-reka ke mana arahnya.
            Ibarat magnit, membicarakan polisi sungguh punya daya tarik.  Belum lama ini, aksi polisi cukup hebat  menindak  (enforcement)  sarang-sarang  teroris. Banyak kata pujian atas tindakan cepat Densus 88 melumpuhkan terorisme. Namun, belum hilang harum pujian, selang beberapa hari Aiptu AL, sang pemilik rekening triliunan, ditangkap Mabes Polri.
Sifat amnesia atau lupa kita mulaai tersadarkan. Teringat kembali kasus-kasus rekening gendut milik polisi yang sempat padam.
            Alkisah tahun 2010 yang lalu, Komisi Informasi Pusat (KIP) meminta kepada Polri untuk membuka belasan Perwira Tinggi pemilik rekening gendut. Rata-rata mereka mempunyai tabungan milyaran hingga puluhan milyar, demikian lapor Indonesia Corruption Watch kepada KIP.  Namun Mabes Polri membantah, dan balik menuntut KIP dalam Pengadilan Tata Usaha (PTUN).
            Tak kalah gesit, sebelumnya  majalah Tempo membeberkan nama-nama  Perwira Tinggi yang mempunyai rekening milyaran (Tempo, Juni 2012).  Malam majalah mulai diedarkan, sejumlah orang tak dikenal di Jakarta memborong habis  majalah tersebut. Beberapa hari kemudian  kantor Redaksi MBM Tempo diserbu sekelompok orang, bangunan depan kantor hancur akibat bom molotov.
            Pada 12 Juli 2010, seorang pekerja Indonesia Corruption Watch, Tama Satrya Langkun, dianiaya beberapa pria tegap ketika menuju ke kantornya. Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Koprupsi (KPK) waktu itu menyatakan, penganiayan tersebut ada hubungannya dengan isi pelaporan Tama tentang rekening gendut Perwira Tingggi Polri ke KPK.
            Harus diakui, Polri saat ini sedang terjerembab dengan opini miring publik. Jika perilaku polri disamakan dengan warga sipil, maka ia juga tak lepas dari dengan kasus kriminal umumnya seperti narkoba, korupsi, aksi kekerasan dan kasus kriminal lainnya. Tapi sayangnya, kasus-kasus kriminal tersebut tak luput menjerat personil polri.
            Oleh sebab itu, Polri perlu melakukan introspeksi ke dalam untuk memperoleh kesamaan visi mendasar terhadap fenomena citra polri mulai memburuk, baik bersifat struktural, instrumental maupun kultural.
            Masyarakat selama ini sangat membutuhkan citra polisi yang baik, polisi  sebagai pelindung dan pengayom dan memberi keteladanan. Di tengah jaman reformasi ini sangat dibutuhkan polisi memiliki sikap dan tradisi akuntabilitas,  terbuka terhadap kritik dan saran-saran publik.
            Bukan maksud membela polisi, kasus yang terjadi pada rekening gendut sebenarnya fenomena gunung es yang juga terjadi dalam tubuh pejabat negara umumnya. Kebetulan saja  kasus rekening gendut menimpa personil Polri yang notabene aparat penegak hukum. Persoalan menjadi rumit, ibarat “jeruk makan jeruk”, seorang penagak hukum ditindak oleh penegak hukum lainnya satu korp.
            Dalam kondisi seperti ini, memang dibutuhkan keterbukaan, check and balance, sehingga paranoia miring publik itu terobati sebagaimana Polri membuka diri, contohnya penanganan kasus simulator Irjen Joko Susilo.
            Sementara, bila diamati kenyataan selama ini yang terjadi di tengah masyarakat, betapa sering asumsi-asumsi dapat menjadi bentuk fitnah tatkala pernyataan-pernyataan terbungkus oleh retorika. Maka sudah selayaknya Polri menyuarakan keadilan dan menegakkan kebenaran atas asas kejujuran. Tentu saja sikap ini inheren ada pada setiap orang, baik polisi mau pun warga sipil.

Sumber: INILAH KORAN,  21 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar