Entah sejak
kapan istilah gendut menjadi bahasa
hukum. Jika dibuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, “gendut” artinya besar dan
seakan-akan menggantung (perut). Dalam
dunia kedokteran, orang dikatakan gendut menurut standar Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) mempunyai lingkar perut
lebih 90 cm untuk pria, dan lebih 80 cm untuk wanita.
Supaya perut tidak buncit, orang
suka diet. Sehingga butuh tubuh ideal, patuh pada rumus BMI (Body Mass Index),
Brocha, dan lain-lain. Gendut memang tidak elok dipandang, Itulah sebabnya Kepala Polisi di Hanoi,
Vietnam, melarang polisi gendut bertugas di area publik. Demi menjaga citra
polisi, , para polisi gendut diberi kerja kantoran.
Bukan
Cuma di Vietnam. Di beberapa kota di Indonesia juga para polisi dianjurkan mengempiskan
perut buncitnya. Polisi di Surabaya misalnya, berlomba-lomba menurunkan berat
badan agar ideal. Jika tinggi badan 170 Cm, praktisnya kurangi 70, maka
pantasnya berat badan 100 Kg.
Akhir-akhir
ini bukan soal perut gendut polisi saja yang menjadi perhatian. Tapi soal
rekening gendut milik polisi juga jadi sorotan publik. Terutama sejak Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap seorang polisi di Papua mempunyai akumulai
transaksi Rp 1,5 Triliun. Masalahnya, pemilik duit berjibun itu berpangkat Ajun
Inspektur Satu (Aiptu), tergolong rendah. Dan tidak mungkin dari gajinya,
sampai pension ditabung pun, bakal tidak sampai sefantastik itu nilainya.
Yang
jadi masalah, kalau polisi berpangkat Aiptu punya celengan sebesar itu, lantas
bagaimana dengan polisi berpangkat Perwira Tinggi? Nah, inilah pertanyaan orang
awam coba direka-reka ke mana arahnya.
Ibarat magnit, membicarakan polisi
sungguh punya daya tarik. Belum lama
ini, aksi polisi cukup hebat menindak (enforcement)
sarang-sarang teroris. Banyak kata pujian atas tindakan
cepat Densus 88 melumpuhkan terorisme. Namun, belum hilang harum pujian, selang
beberapa hari Aiptu AL, sang pemilik rekening triliunan, ditangkap Mabes Polri.
Sifat
amnesia atau lupa kita mulaai tersadarkan. Teringat kembali kasus-kasus
rekening gendut milik polisi yang sempat padam.
Alkisah tahun 2010 yang lalu, Komisi
Informasi Pusat (KIP) meminta kepada Polri untuk membuka belasan Perwira Tinggi
pemilik rekening gendut. Rata-rata mereka mempunyai tabungan milyaran hingga
puluhan milyar, demikian lapor Indonesia Corruption Watch kepada KIP. Namun Mabes Polri membantah, dan balik
menuntut KIP dalam Pengadilan Tata Usaha (PTUN).
Tak kalah gesit, sebelumnya majalah Tempo membeberkan nama-nama Perwira Tinggi yang mempunyai rekening
milyaran (Tempo, Juni 2012). Malam majalah mulai diedarkan, sejumlah orang
tak dikenal di Jakarta memborong habis majalah tersebut. Beberapa hari kemudian kantor Redaksi MBM Tempo diserbu sekelompok
orang, bangunan depan kantor hancur akibat bom molotov.
Pada 12 Juli 2010, seorang pekerja Indonesia
Corruption Watch, Tama Satrya Langkun, dianiaya beberapa pria tegap ketika
menuju ke kantornya. Bibit Samad Rianto, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Koprupsi (KPK) waktu itu menyatakan, penganiayan tersebut ada hubungannya
dengan isi pelaporan Tama tentang rekening gendut Perwira Tingggi Polri ke KPK.
Harus diakui, Polri saat ini sedang terjerembab
dengan opini miring publik. Jika perilaku polri disamakan dengan warga sipil,
maka ia juga tak lepas dari dengan kasus kriminal umumnya seperti narkoba,
korupsi, aksi kekerasan dan kasus kriminal lainnya. Tapi sayangnya, kasus-kasus
kriminal tersebut tak luput menjerat personil polri.
Oleh sebab itu, Polri perlu melakukan
introspeksi ke dalam untuk memperoleh kesamaan visi mendasar terhadap fenomena
citra polri mulai memburuk, baik bersifat struktural, instrumental maupun
kultural.
Masyarakat selama ini sangat
membutuhkan citra polisi yang baik, polisi sebagai pelindung dan pengayom dan memberi
keteladanan. Di tengah jaman reformasi ini sangat dibutuhkan polisi memiliki
sikap dan tradisi akuntabilitas, terbuka
terhadap kritik dan saran-saran publik.
Bukan maksud membela polisi, kasus
yang terjadi pada rekening gendut sebenarnya fenomena gunung es yang juga
terjadi dalam tubuh pejabat negara umumnya. Kebetulan saja kasus rekening gendut menimpa personil Polri
yang notabene aparat penegak hukum. Persoalan menjadi rumit, ibarat “jeruk
makan jeruk”, seorang penagak hukum ditindak oleh penegak hukum lainnya satu
korp.
Dalam kondisi seperti ini, memang
dibutuhkan keterbukaan, check and balance,
sehingga paranoia miring publik itu terobati sebagaimana Polri membuka diri,
contohnya penanganan kasus simulator Irjen Joko Susilo.
Sementara, bila diamati kenyataan
selama ini yang terjadi di tengah masyarakat, betapa sering asumsi-asumsi dapat
menjadi bentuk fitnah tatkala pernyataan-pernyataan terbungkus oleh retorika.
Maka sudah selayaknya Polri menyuarakan keadilan dan menegakkan kebenaran atas
asas kejujuran. Tentu saja sikap ini inheren ada pada setiap orang, baik polisi
mau pun warga sipil.Sumber: INILAH KORAN, 21 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar