Banyak orang
terhenyak tatkala Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Prabumulih Propinsi
Sumsel, HM Rasyid, ingin melakukan tes keperawanan (virginitas) terhadap
pelajar. Alasannya, banyak siswi sekolah di Prabumulih berbuat mesun, bahkan
melakoni praktek prostitusi.
Gagasan sensasional itu tertangkap
pers, akhirnya ramai diperbincangkan di
sosial media dan di masyarakat. Dapat dimaklumi, masalah keperawanan merupakan
seseuatu yang tabu, apalagi diotak-atik dalam tes keperawanan.
Kendati demikian, ada juga
pernyataan yang mendukung. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan Jawa Timur mengamini
ide tes keperrawanan. Dipertegas Sekretaris Dewan Pendidikan Pamekasan
melontarkan nada yang sama. Termasuk fraksi
PPP DPRD Kota Prabumulih turut mensupporttes keperawanan.
Tetapi
sebagian besar fraksi di DPRD Kota Prabumulih menentang. Mereka berjanji akan
mencoret usulan Kadisdik bila dana tes keperawanan diajukan lewat APBD 2014. Para aktivis gender meradang, tes keperawanan
dianggap melecehkan kaum perempuan.
Di
tengah gempita sikap pro-kotra di masyarakat, Mendikbud Mohammad Nuh angkat
bicara. Ia mengancam akan menindak tegas
Kepsek yang membuat kebijakan tes keperawanan di sekolah. Menurut Nuh, tes keperawanan merugikan orang lain dan merampas hak
warga negara untuk mendapatkan pendidikan,
Sebenarnya
polemik tes keperawanan tidak perlu terjadi bila kita mau membuka sejarah
pendidikan masa silam. Pada awal tahun
1980-an, di Bandung Jawa Barat pernah
mencuat gagasan serupa. Lantasan salah satu Sekolah Menengah Kejuruan diterpa
isu sarang bondon berseragam, maka Kepala Sekolah emosi
ingin melakukan tes keperawanan. Tentu saja sebagian besar orangtua murid dan
masyarakat berang. Buntut kejadian, akhirnya sang Kepsek dimutasi telah
mengundang khalayak protes.
Perilaku seks bebas
Fenomena seks bebas di kalangan
pelajar sesungguhnya bukan isapan jempol. Hampir di seluruh kota di Indonesia bisa
ditemukan. Jumlahnya bervariatif. Penyimpangan perilaku tersebut dapat diukur
dari paradigma pergaulan remaja serta kuat-lemahnya kultur susila yang
mengikat.
Tetapi norma susila itu kini sedang
tergerus zaman.. Pesatnya kemajuan teknologi informasi serta sajian televisi,
membuat tatakrama kearifan lokal (local
wisdom) menjadi semu.
Seorang pelajar di Krui ujung barat Lampung
misalnya, mempunyai keinginan konsumtif dengan pelajar di kota kecil Jawa
Tengah. Seolah seluruh pelajar Indonesia memiliki keseragaman, ingin
mengidentifikasikan diri mereka seperti artis remaja yang sedang tren di
televisi.
Pada situasi tertentu, demi ingin
memiliki barang yang diiinginkan tak jarang remaja nekad menjual kehormatan
dirinya atau temannya. Karena pergaulan bebas pula, acap kali diberitakan
pelajar menjadi korban traficking
(penjualan manusia).
Beberapa
penelitian menyebutkan secara signifikan banyak telah melakukan hubungan intim pranikah.
Penelitian PKBI di Yogyakarta (1999) menyebutkan, 29 persen pelajar telah
melakukan hubungan seks bebas. Lembaga
Studi Cinta dan Kemanusiaan (LSCK) dalam
penngamatan 3 tahun (1999-2002) merilis 97,5 persen mahasiswi di Yogyakarta
telah hilang keperawanannya saat kuliah.
Selain
itu, BKKBN (2012) menulis 52 persen remaja kota Medan pernah melakukan seks
pranikah, Bahkan Komnas Perlindungan Anak (2007) dalam penelitian di 12 kota
besar Indonesia menemukan 62,7 persen pelajar SMP dan SMA tidak perawan atau perjaka lagi.
Di
kota-kota besar, secara sembunyi-sembunyi dikenal “bispak”, “ayam abu-abu”, serta istilah lainnya
sesuai konteks lokal yang menjuluki pelajar berprofesi sambilan sebagai pelacur.
Pergaulan seks bebas bagaikan fenomena gunung es, yang tampak di permukaan
sedikit namun di dalamnya lebih merebak.
Sulit dibantah, maraknya perilaku
seks bebas di kalangan pelajar merupakan potret buram pendidikan di Tanah Air
kita. Sementara lemahnya pengawasan dari keluarga sebagai factor utama.
Perilaku seks bebas berwujud sebagai kemarahan atas respon ketimpangan sosial.
Seakan-akan pelajar kehilangan eksistensi dalam arus ekses negatif globalisasi.
Rekomendasi yang diperlukan adalah,
selayaknya instansi pendidikan, orangtua murid, elemen masyarakat, juga peran
pemerintah bertanggungjawab agar pelajar jangan teralienasi dari kehidupan
sewajarnya. Terutama mencegah pelajar jangan terjerembab ke lembah nista..
Sumber: LAMPUNG POST, 26 Agustus 2013
Hohoho, isu ini sudah pernah terjadi rupanya di Jawa Barat :) Respon yang sama anehnya terhadap kasus seks bebas dan prostitusi di kalangan remaja. Apa artinya bangsa ini gak maju-maju juga dalam hal pemikiran? :))
BalasHapus