Selasa, 27 Agustus 2013

Anomali Tes Keperawanan

           Banyak orang terhenyak tatkala Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Prabumulih Propinsi Sumsel, HM Rasyid, ingin melakukan tes keperawanan (virginitas) terhadap pelajar. Alasannya, banyak siswi sekolah di Prabumulih berbuat mesun, bahkan melakoni praktek prostitusi.
            Gagasan sensasional itu tertangkap pers, akhirnya  ramai diperbincangkan di sosial media dan di masyarakat. Dapat dimaklumi, masalah keperawanan merupakan seseuatu yang tabu, apalagi diotak-atik dalam tes keperawanan.
            Kendati demikian, ada juga pernyataan yang mendukung. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan Jawa Timur mengamini ide tes keperrawanan. Dipertegas Sekretaris Dewan Pendidikan Pamekasan melontarkan  nada yang sama. Termasuk fraksi PPP DPRD Kota Prabumulih turut mensupporttes keperawanan.
Tetapi sebagian besar fraksi di DPRD Kota Prabumulih menentang. Mereka berjanji akan mencoret usulan Kadisdik bila dana tes keperawanan diajukan lewat APBD 2014. Para  aktivis gender meradang, tes keperawanan dianggap melecehkan kaum perempuan.
Di tengah gempita sikap pro-kotra di masyarakat, Mendikbud Mohammad Nuh angkat bicara.  Ia mengancam akan menindak tegas Kepsek yang membuat kebijakan tes keperawanan di sekolah.  Menurut Nuh, tes keperawanan  merugikan orang lain dan merampas hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan,
Sebenarnya polemik tes keperawanan tidak perlu terjadi bila kita mau membuka sejarah pendidikan masa silam. Pada awal  tahun 1980-an, di Bandung  Jawa Barat pernah mencuat gagasan serupa. Lantasan salah satu Sekolah Menengah Kejuruan diterpa isu sarang bondon berseragam, maka Kepala Sekolah emosi ingin melakukan tes keperawanan. Tentu saja sebagian besar orangtua murid dan masyarakat berang. Buntut kejadian, akhirnya sang Kepsek dimutasi telah mengundang khalayak protes.
Perilaku seks bebas
            Fenomena seks bebas di kalangan pelajar sesungguhnya bukan isapan jempol. Hampir di seluruh kota di Indonesia bisa ditemukan. Jumlahnya bervariatif. Penyimpangan perilaku tersebut dapat diukur dari paradigma pergaulan remaja serta kuat-lemahnya kultur susila yang mengikat.
            Tetapi norma susila itu kini sedang tergerus zaman.. Pesatnya kemajuan teknologi informasi serta sajian televisi, membuat tatakrama kearifan lokal (local wisdom) menjadi semu.
             Seorang pelajar di Krui ujung barat Lampung misalnya, mempunyai keinginan konsumtif dengan pelajar di kota kecil Jawa Tengah. Seolah seluruh pelajar Indonesia memiliki keseragaman, ingin mengidentifikasikan diri mereka seperti artis remaja yang sedang tren di televisi.
            Pada situasi tertentu, demi ingin memiliki barang yang diiinginkan tak jarang remaja nekad menjual kehormatan dirinya atau temannya. Karena pergaulan bebas pula, acap kali diberitakan pelajar menjadi korban traficking (penjualan manusia).
Beberapa penelitian menyebutkan secara signifikan banyak telah melakukan hubungan intim pranikah. Penelitian PKBI di Yogyakarta (1999) menyebutkan, 29 persen pelajar telah melakukan hubungan seks bebas.  Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan  (LSCK) dalam penngamatan 3 tahun (1999-2002) merilis 97,5 persen mahasiswi di Yogyakarta telah hilang keperawanannya saat kuliah. 
Selain itu, BKKBN (2012) menulis 52 persen remaja kota Medan pernah melakukan seks pranikah, Bahkan Komnas Perlindungan Anak (2007) dalam penelitian di 12 kota besar Indonesia menemukan 62,7 persen pelajar SMP dan SMA  tidak perawan atau perjaka lagi.
Di kota-kota besar, secara sembunyi-sembunyi dikenal   “bispak”, “ayam abu-abu”, serta istilah lainnya sesuai konteks lokal yang menjuluki pelajar berprofesi sambilan sebagai pelacur. Pergaulan seks bebas bagaikan fenomena gunung es, yang tampak di permukaan sedikit namun di dalamnya lebih merebak.
            Sulit dibantah, maraknya perilaku seks bebas di kalangan pelajar merupakan potret buram pendidikan di Tanah Air kita. Sementara lemahnya pengawasan dari keluarga sebagai factor utama. Perilaku seks bebas berwujud sebagai kemarahan atas respon ketimpangan sosial. Seakan-akan pelajar kehilangan eksistensi dalam arus ekses negatif globalisasi.
            Rekomendasi yang diperlukan adalah, selayaknya instansi pendidikan, orangtua murid, elemen masyarakat, juga peran pemerintah bertanggungjawab agar pelajar jangan teralienasi dari kehidupan sewajarnya. Terutama mencegah pelajar jangan terjerembab ke lembah nista..
Sumber: LAMPUNG POST, 26 Agustus 2013

Runtuhnya Integritas Warga Kampus

               PADA mulanya suatu keraguan tatkala mendengar kabar seorang gurubesar dari salah satu perguruan tinggi terkemuka di Bandung, Prof.Dr. Rudi Rubiandini, dicokok KPK beberapa hari yang lalu. Timbul rasa prihatin, kasihan, malu dan kesal bergelut dalam hati. Bagaimana mungkin, seorang akademisi profesional yang mumpuni di bidang ilmunya, pernah meraih dosen teladan, tak disangka terjerembab aib korupsi.
            Terlepas latar belakang masalah Migas serta politik tingkat tinggi yang menyertai kasus tersebut, seolah dunia kampus merasa tertampar. Sebenarnya bila diselusuri kasus korupsi yang mengenai warga kampus, bukan hanya dialami Prof Dr Rudi Rubiandini seorang. Karena masih banyak kasus korupsi lainnya menerpa warga kampus.
Coba iseng-iseng ketik  kalimat “korupsi di kampus”  di  Google.  Jangan heran,  Anda akan menemukan belasan perguruan tinggi di Indonesia berikut nama civitas akademika terlibat kasus korupsi. Ada penyandang prestasi hebat, bergelar Doktor atau Ph.D, bahkan gurubesar (Profesor). Beberapa diantaranya dinyatakan terduga, tersangka, bahkan dihukum penjara.
            Satu dasawarsa terakhir ini, fenomena korupsi di kampus atau melibatkan warga kampus lainnya sungguh fenomenal. Seolah dunia kampus turut serta berkontribusi maraknya korupsi di Tanah Air. Sayangnya, kebanyakan dialami Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Mak;um, selama ini PT memang kerap disubsidi pemerintah. Selain itu, orang-orang pintar dari kampus (dosen) banyak “dipinjam” menjadi pemegang jabatan di pemerintahan.
            Tanpa mengurangi rasa hormat, di media on-line disebutkan deretan nama kampus terkenal diterpa isu korupsi, diantaranya  UI Jakarta,   Unsoed Purwokerto, USU Medan, UNM Malang, STAIN Kendari.  Termasuk beberapa kampus lainnya berhubungan bantuan te APBDN yang melibatkan anggota DPR.          
Timbul kesan, kampus bukan hanya lumbung ilmu pengetahuan semata. Tetapi kampus juga berwujud  pundi-pundi menggiurkan. Itu sebabnya tikus kampus nekad menggerogoti lumbungnya sendiri. Juga, lumbung negara.
Selain itu, kampus termasung sarang capital, banyak beredar uang di dalamnya. Dapat dibayangkan, saat ini uang kuliah (biaya pendidikan) tergolong mahal.  Pandangan kampus sebagai agent of social change menurut sosiolog Dr. Arief Budiman, mulai tergerus oleh keniscayaan  agent of capitalism.
Olimpus menangis
            Kaum intelektual menyebut kampus sebagai media perjuangan moral. Kesadaran moral merupakan sektor hulu berpangkal dari dunia pendidikan.  Sektor hilir menjadi pengejawantahan aplikasi dunia pendidikan sebagai transfer moral. Lalu benteng moral itu bersandar pada level perguruan tinggi. 
            Pada tempatnya pula perguruan tinggi sebagai wadah perpindahan ilmu dari sang guru (dosen) atau begawan (profesor) kepada mahasiswa. Di kawah candradimuka kampus maka nilai-nilai ideal ketauladanan, kejujuran serta integritas dibentuk sebagai manusia civitas akademika berlandaskan kejujuran..
            Nasib getirnya, kesimbangan ilmu dan moral acapkali terkoyak oleh perilaku menyimpang pemangku kepentingan di kampus, baik di level rektorat, dekanat maupun civitas akademika lainnya.
            Korupsi di kampus mengusik ketenteraman kita bersama. Barangkali dewa ilmu pengetahuan Olimpus pun menangis tatkala kampus ternoda oleh oknum ilmuwan merangkap korutor.
            Sungguh gejala sosial jungkirbalik.  Para pengelola kampus, dihuni  orang yang bergelar hebat, Doktor dan Profesor.  Padahal mereka dipilih berdasarkan kriteria dedikasi ilmuwan secara demokratis. Celakanya, di antara mereka secara sengaja mau pun tidak, acapkali tergelincir kasus korupsi di kampus.
Pedang democles
            Thomas E. Guinn, “The Sword of Damocles” menyebutkan tajamnya pedang democles sebagai  bilah  “kemujuran”  dan “malapetaka”.  Begitu pula dalam jabatan petinggi kampus, ketika tajamnya ilmu pengetahuan diselewengkan atas nafsi-nafsi duniawi, dampaknya melukai diri sendiri juga lingkungannya.
            Sebenarnya bukan pendidikan yang menyebabkan korup. Tapi kepintaran yang disalahgunakan pemiliknya melahirkan tindakan korup atas kecerdasan kreatifnya.  Pada kondisi tertentu akal sehat telah mengalahkan nalar kebenaran dunia pendidikan.
            Karena kepintaran sang dosen, tak jarang ditarik memegang jabatan tertentu di pemerintahan. Terutama oleh partai yang berkuasa pada zamannya. Sementara pemerintahan berkuasa digerakkan oleh salah satu partai politik.  Sehingga tatkala sang ilmuwan digunakan sebagai mesin pemerintahan, pada saat yang sama tak jarang digunakan sebagai mesin penghasil uang.
            Itulah rasa keadilan yang acapkali mengusik keprihatinan. Akhir-akhir ini kesejatian integritas sivitas akademika terancam oleh segelintir orang serakah, mabuk jabatan, pengerat duit rakyat, dilakukan kaum terpelajar.  Akibatnya,  aroma tak sedap dari segelintir  tikus kampus menutupi keharuman ilmuwan sejati lainnya.
            Sungguh kasihan ilmuwan yang  selama ini bertahun-tahun mengajar, meneliti, memuplikasikan karya ilmiahnya dalam seminar atau jurnal terpandang. Banyak para dosen kita lainnya berprestasi internasional.
Selayaknya refleksi kesadaran  mesti ditegakkan. Tujuannya demi menjaga perguruan tinggi bersih dari korupsi  agar generasi masa depan kita terhindar dari anomali buah pendidikan. Semoga di masa depan kampus selalu steril, tetap menjunjung tinggi harkat kejujuran, bebas dari korupsi.***
Sumber: GALAMEDIA, 23 Agustus 2013

Fatamorgana Merdeka

 
                       KEMERIAHAN menyambut HUT RI Ke-68 sekarang ini, barangkali tidak sehebat tahun-tahun sebelumnya. Layaknya persiapan seremonial, ia berjalan datar. Tanpa  aura heroik kebangsaan.  Redup memang. Mungkin terimbas bulan Syawal, orang sibuk berbenah pasca mudik.
            Tidak seperti beberapa tahun sebelumnya, para anak muda remaja sibuk membentuk panitia. Mereka mengasongkan kencleng di jalan raya. Sebagian menawarkan minuman. Melaksanakan bazar. Atau kegiatan apa saja, guna mencari dana. Nantinya tabungan dikumpulkan, untuk digunakan dalam acara perayaan HUT RI.
            Intinya bukan dana semata yang dicari. Atau bermacam jenis acara ditawarkan. Teteapi di dalam kepanitiaan, ada suasana keguyuban, saling kerja sama, gotong royong, bahu membahu, yang kesemuanya menjadi ruh kebersamaan. Itulah inti dari peringatan HUT RI yang kini mulai terkikis.
            Ruh kebersamaan merupakan media persatuan. Kondisi tersebut mirip dengan para pejuang kita terdahulu. Mereka bersatu padu demi mengusir penjajah dari Tanah Air. Jiwa-raga dikorbankan, demi Indonesia merdeka.
            Dalam kaitan itu, Bung Karno pernah mengisyaratkan sebuah pengorbanan dalam pidato pleidoi “Indonesia Menggugat”, di depan Pengadilan Kolonial,  tahun 1930 di Bandung. “Memang tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, Ibu Indonesia, adalah mengharap dari semua putra-putra dan putri-putrinya pengabdian yang demikian itu,  penyerahan jiwa-raga yang tiada batas, pengorbanan diri walau yang sepahit-pahitnya pun kalau perlu, dengan hati yang suci dan hati yang ikhlas.”
Makna besar di balik semua itu adalah semangat pengorbanan. Walau pun dalam kondisi sehari-hari kita tersadarkan, apakah  selama ini Indonesia sudah benar-benar merdeka?
Banyak alasan disebutkan tatkala kemerdekaan itu belum kita rasakan seutuhnya. di antaranya adalah soal kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, pengangguran, endidikan dan lain sebagainya.
Menurut data BPS (2012), jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 59 juta orang (11,66 persen).  Sementara jumlah pengangguran 7,17 juta orang (Feb 2013).  Derajat kesehatan kita masih tergolong terburuk di Asia, yang ditunjukkan masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI). Bagaimana dengan tingkat pendidikan? Tentunya cukup mengkhawatirkan, karena masih banyak pelajar kita yang putus sekolah atau gagal melanjutkan studi karena mahalnya biaya pendidikan.
Tampaknya fatamorgana kemerdekaan itu membentuk jarak pandang berkabut tebal. Pada janji politik ditawarkan kesejahteraan. Tapi dalam kenyataan, hasilnya terbalik. Penarikan subsidi BBM,  kenaikan harga sembako, dan daya beli yang merosot. Seolah hidup penuh ketidak-pastian.
Sayangnya, kita bagaikan kehilangan pemimpin yang mau mengorbankan dirinya untuk kesejahteraan rakyat. Para berwenang di negeri ini, selalu bersembunyi di balik kepentingan politik mengejar kekuasaan. Akibatnya kohesi sosial tergerus karena rakyat kehilangan kepercayaan..
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga. Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian. Kembalikan Indonesia padaku…” kata penyair Taufiq Ismail.
Maka, di tengah cita-cita luhur kemerdekaan, kita dipaksa optimis menuju Indonesia lebih baik. Di rumah besar Indonesia kita berseru “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya..”   Merdeka !
Sumber; TRIBUN JABAR, 15 Agustus 2013

Tsunami Tahun Ajaran Baru

           TAHUN ajaran baru 2013 kali ini memang spesial. Datangnya pas “jatuh tempo” bersamaan melonjaknya harga kebutuhan sehari-hari imbas penaikan harga BBM, dan menjelang lebaran. Rasanya cobaan di bulan ramadan ini bukan hanya sekadar menahan haus dan lapar saja.  Saat ini orangtua dibikin sesak napas dan jantung berdebar memikirkan buah hatinya ingin melanjutkan pendidikan, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Inilah periode diperhitungkan banyak mengeluarkan biaya.
            Bagi kelas atas “the haves  mungkin tidak masalah. Tetapi bagi golongan kelas menengah ke bawah, pegawai rendah, pedagang kecil, petani, buruh, dan pekerja lain yang penghasilannya pas-pasan, tentu  biaya pendidikan menjadi beban maha berat.
            Kita paham bahwa SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) untuk tingkat SD dan SMP tidak dikutip pungutan. Sejak lama UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mengisyaratkan anak usia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (wajardikdas). Pemerintah Pusat dan Daerah atas nama negara menjamin terselenggaranya wajardikdas, tanpa dipungut biaya.
            Tetapi di luar SPP gratis, rupanya orangtua terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk perlengkapan sekolah seperti seragam, tas dan seperangkat buku pelajaran. Mafhum. biasanya dibeli lewat belanja paket. Seolah siswa diarahkan ke sebuah toko atau orang tertentu untuk memperolehnya.
            Berbeda dengan tingkat SMA sederajat. Seluruh biaya dibebankan kepada siswa, termasuk SPP, perlengkapan sekolah dan DSP (Dana Sumbangan Pendidikan). Soal DSP atau uang pangkal ini suka buat puyeng. Besarannya berbeda-beda tergantung Komite Sekolah masing-masing.  Untuk Kota Bandung misalnya, DSP untuk SMA atau SMK Negeri berkisar Rp 1 Juta sampai Rp 5 juta. Selain urusan biaya sekolah, orangtua tak jarang menyisakan ongkos transportasi sehari-hari dan uang jajan anak tersayang.
            Begitu pula ingin masuk kampus. Untuk diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), calon mahasiswa harus melewati jalur undangan SNMPTN dan seleksi tulis SBMPTN. Selain itu,  ada pula jalur Mandiri.
Mulai tahun 2013 ini  seluruh PTN tidak lagi memungut uang pangkal. Melainkan diberlakukan sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) per semester. Besarnya disesuaikan kemampuan ekonomi orangtua mahasiswa.
            Jadi tidak ada lagi alasan mahasiswa PTN gagal kuliah karena faktor biaya. Pihak kampus lewat subsidi pemerintah menyiapkan beasiswa dan biaya kehidupan (cost of living) selama studi. Kemudahan ini diberikan khusus bagi mahasiswa yang mengalami hambatan finansial.  Sayangnya untuk lolos diterima PTN bukan cerita gampang, karena saingannya ketat.
            Padahal tahun sebelumnya biaya PTN cukup mahal. Untuk uang pangkal, relative mahal. Tergantung fakultas dan universitas yang dituju. Sedihnya jika gagal masuk PTN, pilihan lain ke PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Lantas berapa biayanya? Uangdisebutkan,   pangkalnya bisa puluhan sampai ratusan juta rupiah  karena PTS tidak disubsidi pemerintah.
Para orangtua menyadari bahwa pendidikan bisa membebaskan kebodohan dan kemiskinan untuk keturunannya. Tetapi semua itu harus dibayar mahal. Pendidikan kerap ditebus barang berharga, mengeruk tabungan, petani menjual sawah atau ternak, bahkan hutang sana-sini yang malah dapat berbalik membuatnya jatuh miskin. Kondisi demikian oleh Paulo Freire (Pedagogy of the Opressed, 1970) disebut akibat terjadinya proses dehumanisasi pendidikan.
            “Orang Miskin Dilarang Sekolah” kata Eko Prasetyo (2009). Menurutnya, kini wajah pendidikan kian dicemari oleh mahalnya biaya dan kekerasan yang terjadi di dalamnya. Para korban, lagi-lagi adalah orang miskin yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini. Kepercayaan atas pendidikan kian luntur, apalagi jaminan masa depannya juga kabur.
            Celakanya, pendidikan murah apalagi gratis seakan hanya retorika belaka dan janji politik yang acapkali membius rakyat. Realitanya sering kita saksikan siswa miskin tersandera raport atau ijazahnya lantaran belum melunasi tunggakan iuran di sekolah. Betapa mirisnya tatkala siswa miskin berprestasi, punya kemampuan akademik baik, meratapi nasibnya ingin sekolah atau kuliah. 
Sumber: TRIBUN JABAR, 17 Juli 2013

Memaknai Tradisi Munggahan

               MUNGGAHAN adalah tradisi turun menurun  bagi masyarakat Sunda. Tradisi ini dilakukan biasanya pada H-2 dan H-1 sebelum bulan Ramadhan tiba. Mendekati penghujung bulan  Sya’ban, para masyarakat Sunda yang ngumbara (merantau)  sengaja mudik atau pulang kampung. Mereka ingin berkumpul bersama keluarga, bermaaf-maafan, bersama-sama ziarah kubur, botram (makan bersama), mandi besar atau kramas di pemandian khusus atau kegiatan pensucian diri lainnya menjelang ramadhan.
            Bulan ramadhan adalah tamu yang penuh berkah. Pelbagai tradisi sebagai penghias jelang ramadhan sungguh mengasyikkan. Bagi masyarakat Indonesia yang multi kultur, kaya akan tradisi, kebiasaan menjelang ramadhan diekspresikan beraneka ragam.
            Di Aceh dikenal meugang, di Sumatera Barat dengan mandi balimau, di Jawa Timur ada nyadran, di Riau melakukan jalur pacu, di Betawi terkenal dengan nyorog, juga di Klaten ada padusan dan di Semarang melakukan dugderan, serta bermacam tradisi lainnya mewarnai kegiatan menjelang bulan puasa.
            Menurut almarhum Nurcholis Madjid (1993), agama dan tradisi (budaya) adalah dua bidang yang dapat dibedakan, tapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut waktu dan tempat. Sedangkan tradisi dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
            Berlimpah tradisi menyertai saat menjelang atau selama  bulan ramadhan. Kegiatan ini dimaknai untuk menunjukkan keagungan Islam. Para alim ulama menyebut, bila tradisi tidak melanggar aturan agama (sya’ri), itu dianggap bukan penyimpangan (bid’ah), jadi boleh dilakukan.
            Sesuai perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi, tradisi  menjelang ramadhan lambat laun mulai bergeser. Acara bermaaf-maafan kini berganti dengan ucapan digital lewat ponsel (sms atau bbm).  Acara mandi besar (kramas) dilakukan beramai-ramai, tanpa malu-malu di pancuran atau pemandian massal. Kebiasan botram (makan bersama) berubah menjadi makan di restoran, tidak lagi beralas samak atau tikar. Artinya suasana kebatinan tidak seindah pada masa lampau.
            Meski demikian, aura menjelang ramadhan tetap saja membuncah dalam makna spiritual keagamaan. Umat muslim di luar negeri pun melakukan hal yang sama. Di Mesir penduduk sengaja memasang famous, lampu gemerlap, di Bangladesh menyiapkan manisan jilapi, di Malaysia terkenal dengan bubur lambuk, di Albania terkenal dengan sajian daging byrek, dan bermacam keunikan khas dilakukan Negara lainnya mayoritas muslim menambah semarak ramadhan.
            Almarhum KH Abdurrahman Wahid mengatakan, di dalam mengagungkan Tuhan dan di dalam mengungkap rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agama kerap menggunakan kebudayaan secara massif (Islam Kosmopolitan, hal 291).
            Menurut Jaih Mubarok (2008), kebiasaan atau tradisi yang sejalan dengan aturan agama Islam boleh dilakukan, karena sahih (al-adat al-shahihat). Namun ada juga tradisi dan kebiasaan yang tidak sejalan dengan agama, disebut sebagai al-adat al-fasidat.
           
Tradisi Munggahan
            Munggahan  bagi masyarakat Sunda merupakan tradisi pensucian diri. Dicerminkan dari sikap luhur masyarakat Sunda dalam makna spiritual sebagai wujud rasa hormat menyambut datangnya bulan ramadhan, karena ramadhan bulan penuh berkah dan ampunan.
            Dalam Kamus Basa Sunda, unggah berarti kecap pagawean nincak ti handap ka nu leuwih luhur, naek ka tempat nu leuwih luhur (Danadibrata, 2006). Dalam Kamus Umum Bahasa Sunda (1992), munggah berarti hari pertama puasa pada tanggal satu bulan ramadhan.
            Pelbagai acara menjelang ramadhan sesuai akidah dilakukan, misalnya membersihkan mesjid untuk persiapan tarawih, pengajian diisi ceramah menjelang ramadhan, ziarah kubur dan bermaaf-mafan serta silaturahmi merupakan ikhtiar dalam al-adat al-shahihat.
            Namun masih ada saja segelintir orang melakukannnya dengan tradisi atau kegiatan ria, misalnya membakar kembang api, mengagetkan dengan bunyi petasan, perang dentumaan lodong (meriam bambu) yang acapkali terjebak dengan perbuatan al-adat al-fasidat, menyimpang dari makna munggahan.
            Makna kegembiraan menjelang ramadhan, tentunya harus dipahami dengan tidak melakukan perbuatan yang mengganggu khidmat ramadhan. Tidak pada tempatnya kebiasaan di kota, kebut-kebutan dengan sepeda motor atau mobil, dibawa menjeadi pelengkap munggahan di kampung asal.
            Bagi setiap orang, bila diklasifikasikan ada tiga tipe menyambut datangnya ramadhan. Pertama, ramadhan dianggap biasa-biasa saja. Artinya ia cuek, acuh tak acuh, menganggap ramadhan sebagai kegiatan normal musim tahunan.
            Kedua, menganggap ramadhan sebagai ritual menahan haus dan lapar. Seolah ramadhan sebagai pembatas luapan hasrat semata. Sehingga menjelang ramadhan dimuntahkan dengan upacara makan enak sepuas-puasnya sebelum nantinya berlapar-lapar dalam puasa, seolah puasa dijadikan beban.
            Ketiga, menganggap ramadhan sebagai bulan suci, bulan penuh berkah dan ampunan, sehingga di bulan ramadhan berlomba-lomba meningkatkan pahala, dengan tarawih, tadarus, iktikaf serta melakukan infaq dan sedekah. Orang yang beriman menyambut ramadhan dengan suka cita.
            Ketika bulan ramadhan Allah SWT menurunkan rahmat dan pahala berlipat untuk setiap ibadah numat muslim. “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah : 183).
            Menurut Hadis diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu perbuatan kebajikan (sunnah), ia akan mendapatkan pahala seperti kalau ia melakukan perbuatan wajib pada bulan lain. Barangsiapa melaksanakan suatu kewajiban pada bulan (ramadhan) itu, ia akan mendapatkan pahala kalau ia mengerjakan 70 perbuatan wajib pada bulan yang lain”.
            Janji Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW membuat umat muslim khidmat menyambut bulan suci ramadhan, karena ramadhan adalah media pensucian diri dalam penghilangan dosa-dosa. Sehingga munggahan menjadi lebih bermakna dalam perispan diri memasuki bulan suci penuh berkah.
            Mari lah kita sambut ramadhan dengan kesucian hati, selain melakukan ibadah pengampunan diri, juga menolong sesama umat muslim lainnya yang tengah didera kesusahan. Marhaban ya Ramadhan … !
Sumber: GALAMEDIA, 8 Juli 2013

BLSM Bikin Repot

                  Imbas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini bikin konflik di masayarakat adalah bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Coba amati, di mana-mana kerap terjadi kekisruhan. Mulai uang telat datang, salah sasaran, kepala desa diancam, korupsi potongan, hingga ribut penolakan  BLSM.
            Semua kejadian itu menunjukkan pemerintah tanpa wajah salah. Dilakukan layaknya manajemen panik dan tergesa-gesa. Atau mungkin punya pikiran bantuan langsung tunai (BLT) periode sebelumnya dianggap sukses, sehingga berasumsi BLSM kali ini berjalan mulus.
            Padahal sudah banyak penelitian, baik dari kalangan kampus maupun tanggapan masyarakat, menyebutkan BLT sarat menuai masalah. Sejak lama disarankan bantuan uang tunai sebaiknya ditiadakan, diganti program lain lebih bermanfaat. Maksudnya, masyarakat jangan dimanjakan diberi “ikan”, tapi berilah “kail”.
            Kalau diberi ikan, kenyangnya cuma sementara. Kalau diberi kail, manfaatnya mendidik masyarakat             berusaha tetap bertahan hidup. Tetapi saran ini tidak didengar, apalagi masuk wacana di pemerintahan. Kesannya, pemerintah pakai kaca-mata kuda, lurus ke depan tak perduli dengan usul kebaikan.
            Sayangnya, barisan intelektual dari kubu pemerintahan, seperti staf khusus Presiden, staf khusus Menteri, atau stafnya staf, serta pembantu konseptor lainnya, berlomba-lomba menunjukkan prestasi in-group-nya di media massa. Baik lewat tulisan mau pun wawancara di televisi. Padahal sebagian besar dari mereka itu dulunya dikenal sebagai aktivis, suka mengkritisi pemerintah, bahkan ada yang pernah mengeritik BLT.
            Rupanya idealisme telah diganti arus balik. Dulu disebut intelektual kaum  “sana”, sekarang menjadi orang “sini”.  Akibatnya nalar kritis seolah tumpul tatkala masuk dalam hegemoni kekuasaan.
Riwayat BLSM
            Ketika APBN-P ditetapkan, hanya PDI-P, PKS, Gerindra dan Hanura yang menolak kenaikan BBM. Pada komposisi kursi parlemen, total suara mereka kalah dengan sekretariat gabungan (setgab) parpol koalisi pemerintah.
            Meski menolak BBM, keempat partai tersebut terpojok dalam fait accompli tatkala program BLSM digelontorkan untuk masyarakat miskin. Pada satu sisi masyarakat miskin harus ditolong, namun pada sisi lain kompensasi BLSM bisa dipelintir sebagai politik uang yang dilegalkan.
            Empat hari sebelum RAPBN ditetapkan, Menteri Keuangan Chatib Basri dalam rapat kerja dengan DPR pernah mengusulkan Rp 11,6 triliun untuk kompensasi BLSM. Dengan perincian setiap orang miskin mendapat bantuan Rp 150 ribu perbulan, dibagikan kepada 15,5 juta jiwa dalam waktu 4 bulan.
            Tampaknya semua fraksi di gedung DPR mengamini usulan tersebut, tanpa reserve. Artinya terjadi loss-controll tanpa mendalami lebih jauh tentang akurasi data dan sistem yang dilakukan serta kesiapan pemerintah.
            Akibatnya ketika palu sidang telah diketuk, seluruh pelaksanaan dilakukan pemerintah. Walau pun terlontar wacana pengawasan ilakukan oleh parpol, tetapi realitanya sekadar heroisme omong kosong.
            Padahal jika ditelusuri data peruntukan BLSM 15,5 juta jiwa merupakan data statis yang digunakan pada program BLT tahun 2005. Celakanya, proyeksi data yang sama digunakan lagi untuk BLSM 2013. Inilah yang menyebabkan karut marut pembagian uang tunai BLSM di lapisan masyarakat bawah (miskin).
            Betapa menyedihkan bila revitalisasi tidak dilakukan. Cukup banyak ditemukan masyarakat pemilik mobil, ponsel, berumah gedung dan dianggap mampu (kaya) ambil bagian menerima BLSM. Masalah ketidak-adilan (fairness) ini berlangsung tanpa monev (monitoring evaluasi) pihak berkompeten. Sementara masyarakat yang benar-benar miskin acapkali terabaikan lantaran tidak memiliki admisnistrasi kependudukan.
Muatan politis
            Jadi sulit dibantah berkembang hipotesa bantuan uang tunai dimaksud ada hubungannya dengan cara ringkas peraihan suara pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2014. Kejadian serupa akan terulang seperti pemilu 2009 yang lalu.
 Pada waktu itu, dikenal program BLT (Bantuan Langsung Tunai), dibagikan kepada seluruh rakyat miskin. Pemerintah sebagai penggagas BLT dengan instrument PD sebagai partai pemerintah mendapat keuntungan langsung.  Secara signifikan peraihan suara PD melonjak drastis
Sekitar satu tahun ke depan, pesta demokrasi 2014. Setiap parpol peserta pemilu berkompetisi untuk sebanyak-banyaknya meraih kursi parlemen. Itulah hakikat sejati dari pileg.
Andrew Reynolds (“Electoral System Design”, 2005),  menyebut persaingan pemilu itu sebagai in the most basic level, electoral systems translate the votes cast in a general election into seats won by parties and candidates.
.Jika BLSM ditengarai sebagai faktor perancu (counfounding factor) dalam proses menuju pileg dan pilpres yang jujur, maka inilah kekuatiran bersama di alam demokrasi Indonesia. Dalam kepentingan khusus BLSM memang menolong rakyat jelata, tetapi dalam kepentingan lain menimbulkan berisi muatan politis.
Karena parpol pihak yang menentukan kenaikan harga BBM dan kompensasi BLSM, maka dituntut tanggungjawabnya untuk melakukan pengawasan terhadap amburadulnya proses distribusi uang tunai BLSM di masyarakat. Sesungguhnya, berani berbuat ya berani juga untuk bertanggungjawab. ***
Sumber: SINAR HARAPAN, 1 Juli 2013

Pro Kontra BLSM

                 HAJAT besar pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) menimbulkan sikap pro dan kontra. Sikap pro ditunjukkan oleh koalisi partai yang bergabung dalam setgab (sekretariat gabungan) dimotori “the ruling party”, yakni Partai Demokrat.  Sisanya tinggal dua partai politik bersikap kontra , yaitu PDI-P yang sejak awal pemerintahan presiden Yudhoyono memang sudah mengambil jarak oposisi. Ditambah PKS, yang semula bergabung dengan setgab, kini “missing in action”, ikut menentang kebijakan kenaikan BBM.
            Pemerintah berpendapat, dalam kondisi sekarang ABPN terlalu berat menanggung beban subsidi BBM.  Pada APBN 2013, melalui UU No. 19 Thn 2012, pemerintah mengalokasikan Rp 193,8 Trilun atau 11,5 persen dari APBN. Diperkirakan akan naik menjadi Rp 251,8 Triliun.
Subsidi BBM yang sejatinya diperuntukkan rakyat jelata, malah dinikmati oleh 20 persen kalangan orang berada (kaya). Oleh sebab itu, subsidi BBM harus dibelokkan ke orang miskin dengan program kompensasi.  Rancangan kompensasi itu terdiri penyaluran beras miskin (raskin), bantuan siswa miskin, program keluarga harapan dan  bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). 
Khusus BLSM, pemerintah melalui Menteri Keuangan Chatib Basri dalam postur APBN-P mengusulkan Rp 11,6 Triliun. Dengan perincian setiap orang miskin mendapat bantuan Rp 150 ribu perbulan, dibagikan kepada 15,5 juta jiwa.
Dari perkembangan yang terjadi, muncul lontaran kecaman dan menuding pemerintah telah gagal  mengelola BBM.  Selama ini pemerintah terlalu manja memberikan eksport minyak dan gas ke negara lain dalam ikatan kerjasama jangka panjang.  Akibatnya cadangan minyak dan gas kurang;  Pemerintah tidak membangun kilang minyak. Ditambah, UU Migas cenderung menguntungkan pihak asing.
            Bererapa partai politik yang selama ini mesra dalam setgab, ada yang berbalik menentang kebijakan kenaikan BBM. Terlepas motif meraih simpati masyarakat, tanpa disadari isu kenaikan BBM bergeser menjadi politik pencitraan. Dapat dimaklumi, tahun 2014 di depan mata, menjelang pesta demokrasi kepentingan politik untuk memikat hati rakyat semakin mencuat.
           
Kontra BLSM
Sejak beberapa bulan yang lalu, rencana kenaikan harga BBM mulai dilontarkan pemerintah. Tetapi karena tarik ulur penetapan kebijakan, berdampak ketidakpastian ekonomi pasar dan permainan spekulan. Terbukti beberapa kebutuhan pokok merangkak naik. Akibatnya rakyat juga yang susah. Padahal ototritas kenaikan BBM berada di tangan pemerintah. Sayangnya, pemerintah diselimuti rasa ragu.
Dengan kondisi defisit APBN, pemerintah menganggarkan Rp 30 Trilyun untuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Dananya diambil dari pengurangan subsidi BBM, nantinya digunakan untuk rakyat miskin. Keinginan pemerintah ternyata tidak berjalan mulus. Ditengarai BLSM sarat muatan politis.
Pengalaman kompensai subsidi kenaikan BBM tahun-tahun sebelumnya, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2008 dianggap mendongkrak peraihan suara partai tertentu.  Dengan dugaan, pemanfaatan BLSM mirip modusnya dengan BLT. Sekurangnya ada tiga hal yang membuat BLSM menjadi sorotan kritis.
Pertama, hangatnya susu politik menjelang pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014. Pemerintah solah sengaja mengulut-ulur waktu kenaikan harga BBM demi itikad tersembunyi. Dengan maksud, bantuan uang tunai lewat BLSM menjadi strategi  meraup suara pemilih.
Riwayat kenaikan harga BBM era presiden SBY merupakan catatan penting. Pada 1 Oktober 2005. Pemerintah menaikkan bensin dari Rp 2400 menjadi Rp 4500/liter serta solar dari Rp 2100 menjadi Rp 4300/liter.  Lompatan kenaikan harga cukup fantastis. Begitu juga tanggal 24 Mei 2008, BBM dinaikkan menjadi Rp 6000/liter (premium). Pada tahun yang sama terjadi sebaliknya, BBM diturunkan hingga tiga kali sebesar Rp 500/liter, hingga 15 Januari 2009, ditetapkan Rp 5000/liter (premium). Jika ditelusuri, keadaan ini persis 3 bulan sebelum pileg 9 April 2009.
Pada waktu itu, pemerintah dianggap mengambil dua keuntungan politis, yakni penurunan berturut-turut sebagai pencitraan politik. Juga, pembagian BLT menjelang pileg dan pilpres secara tidak langsung menggiring pemilih kepada pihak pemberi bantuan.
Kedua, BLSM tidak bisa menggerakkan ekonomi. khususnya peningkatan taraf hidup rakyat miskin. Penggelontoran uang berjumlah besar di masyarakat akan signifikan terciptanya inflasi. Sebab BLSM bersifat konsumtif, bukan produktif..
Ketiga, validasi data penerima BLSM kurang akurat. Banyak ditemukan kasus si miskin terampas hanya oleh orang yang seharusnya tidak perlu dibantu. Kaus BLT, kerap terjadi salah sasaran. Proyeksi rakyat miskin dalam program BLT tahun 2005 ternyata  sama dengan data BLSM, tetap 15, 5 juta jiwa  pada data 2013.
Pro BBM
            Selama kurun waktu lima tahun (2007-2012), dari APBN pemerintah telah menyialurkan dana sekitar Rp 400 Triliun untuk mengentaskan kemiskinan. Sekarang angka kemiskinan kita 28,59 juta jiwa (BPS, Maret 2013) atau 11,66 persen. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, ada penurunan 0,3 persen, dari tahun sebelumnya 29,13 juta jiwa (2012).
            Pemerintah menargetkan penurunan kemiskinan sekitar 10 persen, dengan asumsi kebutuhan anggaran yang tersebar melalui keterlibatan Menteri terkait dan bantuan langsung Dana Alokasi Khusus (DAK) ke Propinsi serta Kabupaten/Kota. Dengan kebutuhan, mengeruk dana sekitar Rp 70 Triliun dari APBN 2013.
            Fungsi BLSM sebenarnya adalah stimulan agar masyarakat miskin tidak syok ketika terjadi kenaikan BBM.  Jadinya tujuannya menutupi belanja rakyat miskin akan kebutuhan pokok yang dipastikan ikut naik sebagai imbas kenaikan harga BBM.
            Celakanya, niat baik BLSM tertutup oleh tabir gelap isu besar kepentingan pileg dan pilpres 2014.  Bagi masyarakat awam hanya bisa menerima dan merasakan perubahan yang terjadi. Semua itu tergantung akal sehat (common sense) . Dallam karut marut isu kenaikan harga BBM, semoga rakyat tidak dikorbankan demi kompetisi meraih kekuasaan.***
Sumber: SUARA PEMBARUAN,  20 Juni 2013

Awas Jebakan Media Sosial

              Untuk kedua kedua kalinya Farhat Abas terperosok. Setelah ucapannya beberapa waktu lalu di media sosial  lewat twitter menyinggung Ahok, panggilan akrab wakil gubernur DKI Basuki Purnama, yang akhirnya Farhat ditetapkan sebagai tersangka.
            Belum beres urusan Ahok, kali ini ucapan Farhat lewat akun @farhatabbas kembali buat geger. Twit-nya berbunyi: “Kalau gue pihak Sriwijaya Air! Gue akan pasang badan agar penumpang gue gak dipenjara! Pramugari yg gak sopan gue pecat!  dan “Pramugari harus merasa sebagai pembantu dalam pesawat terbang, bukan peragawati dalam pesawat”.
Kalimat itu mengomentari kasus Nur Febriani,  pramugari Sriwijaya Air, yang menjadi korban pemukulan seorang pejabat belum lama ini. Akibatnya Nur Febriani berang. Ia balas berkomentar melalui surat terbuka edaran bbm (blackberry messenger). Bagi Nur Febriani, ucapan  Farhat melecehkan profesi pramugari, dan meminta Farhat minta maaf. (http://oktavita.com/surat-protes-pramugari-pada-farhat-abbas.htm)
Jika direnungkan, apa yang sedang berkembang saat ini tampaknya media sosial mulai meracuni sendi kehidupan kita. Kemajuan teknologi informasi menembus alam privatisasi diri. Tercatat pengguna selluler di Indonesia (2013)  240 juta pelanggan. Sungguh fantastik, melebih jumlah penduduk Indonesia 230 jiwa (BPS, 2012)
Apa yang pernah dikuatirkan futuris Alvin Toffler, Fukuyama, Milton Friedman lainnya  memenag betul. Perkembangan globalisasi memaksa orang berada dalam ruang sempit. Tidak hanya jarak, tetapi perubahan perilaku hingga degradasi moral.
Contoh seorang ibu yang meminta tangggungjawab seorang rektor suatu lembaga pendidikan di Jatinangor tentang anaknya melalui Youtube beberapa hari lalu (Tribun 12/5), membuktikan ketersinggungan privasi bergeser ke ruang publik. Artinya, ruang media sosial dijadikan alat penekan sosial.
Beberapa kasus lainnya, banyak pengguna media sosial terpaksa minta maaf dalam iklan di  koran karena omongannya di media sosial (facebook, twitter, weblog, BBM, SMS dan lain-lain). Baik disengaja atau sekadar iseng, tak jarang ketersinggungan berlanjut ke somasi hukum. Sebagian masuk ke pengadilan dengan tuntutan UU No.11 Thn 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ancamannya, penjara 6 tahun dan denda Rp 1 Milyar !
Kasus Prita Mulyasari yang berseteru dengan pihak rumah sakit di Tangerang akibat curhatnya Prita di media sosial, berdampak besar di republik ini.  Segenap lapisan masyarakat tergugah mengumpulkan koin demi bebasnya Prita dari jeratan hukum. Termasuk presiden SBY pun angkat bicara
Memang dunia maya tempat yang asyik untuk menyampaikan ekspresi maupun gagasan. Namun perlu diingat, kita tidak bisa seenaknya melakukan hal-hal diluar batasan norma dan aturan berlaku. UU ITE harus diketahui agar kita waspada, mawas diri dan bersikap sewajarnya.
Menurut Marks Poster (1990), media sosial termasuk  The Second Media Age, dimana dunia maya akan mengubah masyarakat. Dalam teori media baru ini,  dunia maya memberikan tempat interaksi semu yang memperluas hubungan pribadi, sosial serta tempat berbagi pandangan yang tidak bisa dilakukan media sebelumnya.
Deretan contoh kasus di atas mengingatkan kita petuah lama: “mulutmu adalah harimaumu”. Jika lupa, akan menerkam diri kita sendiri. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknyaa lebih jauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari Muslim)
Sumber: TRIBUN JABAR, 15 Juni 2013

Pork Barrel dan BBM

                   Ada ada dua hal yang tidak disukai rakyat saat ini. Pertama, masalah kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Kedua, sikap partai politik.
            Untuk masalah BBM, pemerintah berulangkali tarik-ulur untuk memastikan kenaikan harga BBM. Bagi rakyat awam, sikap pemerintah seperti ingus kanak-kanak, naik dan turun, tanpa jelas keputusan dikeluarkan. Sehingga harga kebutuhan sehari-hari terus melambung. Akibatnya rakyat juga yang susah.
            Untuk partai politik, ternyata terlalu egois. Ada partai yang munafik menentang kenaikan BBM dengan memasang spanduk, sementara para menterinya sendiri mendukung. Lalu ada partai lainnya diam-diam bersiasat mengambil peluang BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) dari kompensasi kenaikan BBM untuk pencitraan.
            Seluruh kejadian tersebut disimak seluruh rakyat Indonesia dari media massa. Seolah masyarakat teralienasi dari pemangku negara. Rakyat mulai ditinggalkan, hanya berteman dengan segelintir mahasiswa yang berani berunjuk rasa. Yang tersisa hanya rasa kesal, kecewa dan marah sambil berkeluh kesah.
Isu BBM
            Ketika isu kenaikan BBM, prasangka negatif berkembang dengan prasangka BLSM ditengarai tidak sekadar menolong masyarakat miskin. Program BLSM dianggap “ada udang di balik batu”. Maklum saja, tahun 2014 adalah saatnya Pileg dan Pilpres. Jangan sampai BLSM dijadikan alat politik.       
            Diketahui, selama pemerintahan presiden SBY, kenaikan BBM kerap disertai kompensasi bantuan uang tunai kepada masyarakat. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kompensasi tersebut dianggap sarat muatan politis. Tampaknya beberapa elit politik mulai bersuara lantang melontarkan “warning” kepada pemerintah. Sekurangnya ada tiga penyebab mengapa arus balik politik bisa terjadi.
            Pertama, tahun depan (2014) masa jabatan presiden SBY akan berakhir.  SBY telah menjalani dua periode menjadi presiden.  UUD 1945 (amandemen) Pasal 7 mengisyaratkan,  seorang presiden hanya diperbolehkan dua kali mengikuti Pilpres. Kondisi ini tanpa disadari membuat tali pengikat menteri Kabinet Indonesia Bersatu II mulai longgar. Sehingga partai politik cenderung melakukan manuver politik.
            Kedua, mulai terjadi politik ambil untung. Terbukti beberapa kebijakan pemerintah yang kurang populer di mata masyarakat mulai tajam dikritisi elit-elit politik. Partai yang selama ini adem ayem berkoalisi dengan setgab, berubah menjadi malin kundang, contohnya PKS,   Ditengah terpuruknya PKS didera kasus korupsi import sapi, kini berusha mengangkat isu BBM sebagai politik pencitraan.
            Ketiga, partai penguasa yakni Partai Demokrat (PD) juga mengalami nasib serupa. Elektabilitas PD anjlok disebabkan jajaran elit pentingnya terlibat kasus Hambalang. Cukup beralasan bila program kompensasi BBM dicurigai akan digunakan PD untuk merau suara seperti Pileg dan Pilpres 2009.
            .
Gentong babi
            Banyak pengamat memprediksi, masa musim semi koalisi Setgab sebagai hegemoni kekuasaan akan segera berakhir. Menjelang  Pileg dan Pilpres 2014 merupakan masa kompetitif untuk merebut kekuasaan politik. Masing-masing partai politik mulai ambil ancang-ancang mengambil simpati rakyat. Itulah sebabnya mengapa PD sebagai partai pemerintah diwaspadai melakukan “pork barrel politics”.      
Politik Gentong Babi (pork barrel politic) adalah penggelontoran anggaran pemerintah yang  digunakan dalam bentuk proyek atau kegiatan yang secara tidak langsung bertujuan untuk memperoleh  dukungan masyarakat.
Dipertegas oleh Susan C Stokes (2009),  politik gentong babi sebagai “a government project or appropriation that yields jobs or other benefits to a specific locale and patronage opportunities to its political representative”. 
Meskipun politik gentong sapi populer sejak awal abad 19, terjadi pada era Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun, namun praktik curang ini kerap digunakan oleh petahana.  Di Philippin, masa Presiden Marcos, dituding lawan politiknya Benigno Aquino Jr
Untuk melanggengkan kekuasannya. Termasuk juga Presiden Obama diserang dengan tuduhan yang sama.
            Presiden SBY pada Pilpres 2009 yang lalu, tak lepas dari kecaman penggunaan BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk memuluskan jabatannya. Disamping itu, berimbas terhadap lonjakan  peraihan suara PD.
            Tidak hanya tingkat nasional, di beberapa daerah juga acap kali ditemukan para gubernur dan bupati mendadak menggelontorkan anggaran besar dadakan menjelang pilkada. Secara normatif dalihnya adalah program pemerintah, namun di lapangan kental oleh pencitraan figur politik.  Dengan kata lain, pork barrel politics merupakan perbuatan kontra demokrasi.
             
Politik BBM
            Sebenarnya masyarakat awam (common sense) tidak begitu paham itikad apa yang terjadi di balik kenaikan BBM. Jika untuk menyelamatkan APBN, tentu berbagai pihak paham keselutitan apa yang terjadi pada struktur politik anggaran. Tetapi jika kenaikan harga BBM dirasa dipermainkan, konsekuensinya spekulan merajalela..
            Muncul pandangan berbeda, sebaiknya kompensasi BBM diarahkan kepada kekuatan ekonomi rakyat melalui revitalisasi koperasi. Atau bisa juga pengalihan kompensasi untuk pengembangan enerji alternatif pengganti BBM, serta bentuk program lainnya tidak bernuansa gratis (charity). Sebab pemberian BLT yang pernah dilakukan cenderung menimbulkan konflik baru di lapis masyarakat bawah dan tidak bersifat protektif.
            Sesungguhnya peran negara adalah melindungi rakyatnya. Bukan rakyat dijadijadikan objek dari rekayasa, apalagi kuda tunggang politik. 

Sumber: MEDIA INDONESIA, 11 Juni 2013