Sejak awal diluncurkan (Januari 2014) sudah
diprediksi bahwa program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS bakal mengalami defisit
berkelanjutan (sustainability). Itu karena BPJS bukan badan profit atau
mencari keuntungan seperti perusahaan asuransi lainnya. Sebenarnya BPJS
merupakan mandatory amanat UUD 1945,
yang menjamin hak pelayanan kesehatan bagi setiap warga.
Diketahui,
tahun 2014 pemasukan BPJS sekitar RP 47,3 triliun. Sedangkan pengeluarannya Rp
49,1 triliun. Maka terjadi defisit Rp 1,8 triliun. Begitu pula tahun 2015, pendapatan iuran Rp 52,8 triliun, beban
sekitar Rp 57,1 triliun, sehingga defisit sekitar Rp 4-5 triliun.
Prediksi BPJS, hingga akhir Desember
2016 nanti, diperkirakan akan mengalami defisit sekitar Rp 6,7 triliun. Artinya
BPJS harus berakrobat lagi menutup tidak seimbangnya rasio pemasukan dan biaya
pengeluaran yang eufemisme-nya disebut sebagai mitch match rasio klaim.
Padahal pemerintah lewat Peraturan
Presiden No.19/2016 terhitung 1 April telah menaikkan iuran BPJS. Untuk pasien kelas 1, dari
yang semula Rp 59.500 naik menjadi Rp 80.000. Kelas 2 naik dari Rp 42.500
menjadi Rp 51.000. Namun untuk kelas 3 tetap pada iuran sebelumnya yaitu Rp
25.500 (tidak naik).
Itu
berarti sistem gotong royong (cross
subsidy) yang diterapkan ternyata belum mampu menutupi tekornya klaim biaya
kesehatan. Jika ditelisik, sekurangnya ada dua faktor yang menyebabkan mitch match rasio klaim yang sedang dialami
BPJS.
Pertama,
masih kurangnya peserta mandiri dan
Pekerja Penerima Upah (PPU). Hingga Maret 2016, dilaporkan sekitar 163
juta peserta BPJS di Indonesia. Terdiri 63 persen yang seluruh biaya
kesehatannya disubsidi pemerintah. Sementara peserta mandiri 13 persen,
sedangkan PPU 24 persen.
Kedua,
membengkaknya klaim pasien rujukan. Sejak BPJS diluncurkan memang terjadi
fenomena eforia masyarakat berobat. Selama ini cakupan BPJS adalah Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Indonesia Case Based Groups (INA-CBG’s) bagi Fasilitas Tingkat Lanjutan (FKTL).
Untuk
FKTP terdiri dari puskesmas, klinik dan dokter keluarga yang melayani 155 jenis
diagnosa penyakit. Ini yang disebut pelayanan primer. Patut disayangkan, pelayanan
primer sebagai penapis (barrier), tampaknya
longgar. Terbukti dokter di puskesmas
cukup besar merujuk pasien ke rumah sakit (FKTL). Atau malah, pasiennya sendiri meminta atau
mendesak dokter untuk dirujuk ke FKTL.
Adalah
suatu realita, sebelum BPJS berjalan, memang selama ini masyarakat gemar
menikmati obat-obatan dari warung atau toko obat untuk mengobati penyakitnya
sendiri (self therapy). Hadirnya
kartu BPJS dianggap “kartu sakti” yang mampu menebus biaya seluruh
penyakit. Sehingga rumah sakit membludak
kunjungan pasien BPJS.
Di sisi lain, jenis
penyakit katastropik seperti penyakit jantung, kanker, stroke, gagal ginjal
atau non infeksi lainnya cenderung menelan biaya tinggi. Setiap tahun, ada sekitar 1 juta pasien cuci darah. Nilainya
1 pasien cuci darah, biayanya kira-kira setara 500 biaya pasien berobat ke
layanan primer. Itu sebabnya mulai tahun ini pemerintah mulai menerapkan Dokter
Layanan Primer (DPL). Rangkaian kerjanya berkaitan dengan program BPJS di FKTP.
Dokter
Layanan Primer
Sebenarnya
Dokter Layanan Primer (DPL) merupakan istilah baru dalam sejarah spesialisasi kedokteran
di Indonesia. Melalui UU 20 Tahun 2013
tentang Pendidikan Kedokteran (DikDok) pemerintah akan memproduksi dokter
spesialisasi DPL, yakni dokter yang dibekali ilmu dan penyuluhan dan pencegahan
penyakit.
Diharapkan
DPL proaktif mendatangi rumah-rumah pasien, mengobati dan memberi wejangan
kesehatan.. Ini salah satu solusi
pemerintah untuk menapis pasien di FKTP agar pasien tidak serta merta dirujuk
ke FKTL.
Pasal 8 UU DikDok menyebutkan: “Dalam
hal mempercepat terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer..”. Ditambah penegasan khusus DPL: “Program
dokter layanan primer sebagaimana dimaksud merupakan kelanjutan dari program
profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter
spesialis.
Layaknya
isyarat crash program, ada keperluan
mendesak. Tindak lanjutnya, Kemenkes dan Kemenristekdikti turun ke kampus.
Bulan September 2016 yang lalu, beberapa FK (Fakultas kedokteran) Klasifikasi A di Indonesia mulai membuka
program profesi spesialisai DLP. Dengan
tawaran, seluruh biaya spesialis ditanggung pemerintah.
Sebaliknya, IDI (Ikatan Dokter
Indonesia) dan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) sebagai lembaga sertifikasi
dokter menolak program DPL. Termasuk PDUI
(Persatuan Dokter Umum Indonesia) sempat mengajukan uji materiil UU tersebut di
MK (Mahkamah Konstitusi). Tapi
permohohan PDUI ditolak (7/12/2015). Itu sebabnya beberapa waktu yang
lalu para dokter unjuk rasa. PDUI
khawatir akan terjadi kriminalisasi dokter umum oleh DPL karena lahan
praktiknya sama di layanan primer.
Tatkala
3 tahun terakhir ini BPJS mengalami mitch
match rasio klaim, alangkah elok bila pemerintah menunda sejenak program
DPL yang notabene menyedot anggaran, menunggu sampai cross subsidy
JKN stabil.
Koran KONTAN, 14 November 2016