Selasa, 27 Agustus 2013

Politik Pencitraan Pilwalkot Bandung

TIDAK lama lagi, Kota Bandung  bakal memiliki Walikota dan Wakil Walikota yang baru dan respresentatif.  Pesan refresentatif ini dapat diartikan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di kota Bandung yang jatuh 23 Juni 2013 nanti berlangsung jujur dan adil. Diharapkan pula terjadi satu putaran , karena biaya Pilkada itu mahal,
Belum lama ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung telah melakukan verifikasi faktual. Dinyatakan  8 pasang kandidat lolos persyaratan admisnistratif, 4 pasang kandidat diusung  koalisi partai dan 4 pasang lainnya jalur perseorangan/independen ( PR, 23 April, hal.2).   Dapat dipastikan mereka akan berkompetisi merebut hati sekitar 1,2 juta pemilih di kota Bandung.
Menjelang kurang dari dua bulan jatuh hari pencoblosan, tampaknya beberapa kandidat mulai bersiap-siap, melakukan kegiatan berbau Pilkada.  Beberapa tim sukses dari kolisi partai telah sigap memasang atribut di ruang publik, bahkan ada yang menggunakan iklan di radio walau pun bentuknya iklan terselubung. Pada sisi lain, kandidat dari calon perseorangan (independen) kelihatan masih adem-ayem, belum gencar bersosialisasi.
Realitas semu
Bila dicermati, jadwal kampanye yang ditetapkan oleh KPU Bandung adalah 6 Juni hingga 19 Juni 2013.  Walau peluit belum dibunyikan KPU Bandung , beberapa kandidat jauh-jauh hari telah melakukan manuver politik Pilkada.  Mereka seakan-akan sudah tidak sabar dan ‘curi start’ menerobos ruang pencitraan figur di publik. Bentuk paranoia (kecurigaan) dan kecemasan  dalam berkompetisi merupakan ciri kultur politik kurang sehat hampir di setiap Pilkada di tanah air kita.
Politik pencitraan (imagologi politic) menjadi fenomena sangat menarik untuk diamati. Konsekuensi pemilihan langsung (direct vote), para kandidat ditantang gerilya memoles kehebatannya lewat media sosial, atribut  maupun pertemuan-pertemuan tertutup hingga kukurusukan di tingkat masyarakat bawah (grass roots).
Sejak Pemilu Legislatif  dan Pilpres 2004, pemilihan langsung  terhadap kandidat tidak lagi  menggunakan asas pendelegasian wakil rakyat.  Sejak itu pula di negeri kita berkembang politik pencitraan. Sekarang rakyat di negera kita dapat menyatakan “suka dan tidak suka” terhadap calon pemimpinnya dari bilik suara. Apa yang sebelumnya dianggap kontra-demokrasi telah dihilangkan seperti idiom  vox vovuli vox dei, suara rakyat menjelma dalam bentuk suara kebenaran,
Dalam menyikapi histeria politik tersebut, kandidat  berlomba meraih simpati dan empati rakyat. Seluruh upaya diarahkan  membangun citra yang baik, berwibawa, populis, elegan, intelektual, agamis, berbudaya, bermoral dan lain sebagainya.  Pemandangan seperti ini bisa kita saksikan tercermin dari semboyan (tagline) atribut yang  menghiasi ruang publik kota Bandung. Acapkali atribut yang dipajang menunjukkan hiperalitas multi makna, tak sesuai dengan realitas sang kandidat sehari-hari.
Padahal Pilkada-pilkada sebelumnya telah memberi pembelajaran bagi publik bahwa politik pencitraan yang berlebihan cenderung menghadirkan realitas semu (pseudo-reality).  Dalam realitas semu, seorang yang sombong tiba-tiba menyulap dirinya menjadi ramah, manusia berwatak korup menjelma jadi jujur, dari urakan menjadi kesan agamis, seketika kandidat yang serakah tiba-tiba berubah dermawan serta prilaku kontradiktif lainnya. Sesungguhnya perkembangan politik akhir-akhir ini lebih mengedepankan pencitraan sebagai jalan pintas, sehingga akan melahirkan pemimpin dadakan (instant).
Politik pencitraan biasanya menonjolkan keunggulan-keunggulan sang kandidat dan meminimalisir kekurangan yang dimilikinya karena pemilihan langsung mengandalkan popularitas (popular votes).  Demi meningkatkan elektabilitas dan popularitas, tak jarang kandidat menggunakan lembaga peneliti survei, konsultan politik dan tim sukses.
Citra survei
Secara kasat mata, memang sulit meramal peta kekuatan politik Pilkada di kota Bandung. Biasanya lembaga survei hadir mengukur ‘kumaha rame na’ (tokoh yang populer)  prediksi  peta kekuatan  seluruh kandidat.  Pengalaman membuktikan, , keberhasilan suara partai tidak otomatis signifikan dalam Pilkada. Artinya, jumlah total suara koalisi partai belum tentu berbanding lurus dengan kemampuan figur yang diusung dalam meraih suara. Untuk itulah lembaga survey turut meramaikan hampir dalam setiap Pilkada.
Hadirnya lembaga survei  yang dibayar  sekadar untuk memainkan politik pencitraan,  sesungguhnya adalah pembelokan hak rakyat dalam memperoleh informasi politik. Bukan tidak mungkin ada lembaga survey yang nakal, mengabsahkan metode multistage-random sampling, tingkat kesalahan sampel (sampling error) dan jumlah responden yang dimanipulasi intelektual ‘gurandil’,  hasil survei tersiar sebagai pembohongan publik belaka.  Ibarat kecap nomor wahid,  kandidat tertentu dinyatakan pemenang sebelum bertanding demi politik pencitraan, bahkan strategi merangsang investor politik datang. Disamping itu, banyak juga lembaga survei yang kredibel,  mampu menjaga nama baiknya. Untuk yang terakhir ini, mereka memaparkan prediksi secara jujur dan ilmiah.
Patut disadari bersama, kemenangan kandidat tidak semata-mata ditentukan pencitraan politik, tapi juga dipengaruhi faktor figur, visi misi  serta prilaku kandidat  di mata warga Bandung.  Dengan kata lain,  pemimpin yang nyaah kepada rakyat dan tanggap terhadap kultur budaya niscaya akan  mempengaruhi prilaku pemilih, percayalah. Semoga Walikota dan Wakil Walikota  Bandung yang terpilih nanti dapat mengembalikan kejayaan Bandung sebagai kota  Parijs van Java.***

Sumber: PIKIRAN RAKYAT, 3 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar