TIDAK lama lagi, Kota Bandung bakal memiliki Walikota dan Wakil Walikota
yang baru dan respresentatif. Pesan
refresentatif ini dapat diartikan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di kota
Bandung yang jatuh 23 Juni 2013 nanti berlangsung jujur dan adil. Diharapkan
pula terjadi satu putaran , karena biaya Pilkada itu mahal,
Belum lama ini, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Kota Bandung telah melakukan verifikasi faktual. Dinyatakan 8 pasang kandidat lolos persyaratan
admisnistratif, 4 pasang kandidat diusung
koalisi partai dan 4 pasang lainnya jalur perseorangan/independen ( PR, 23 April, hal.2). Dapat dipastikan mereka akan berkompetisi
merebut hati sekitar 1,2 juta pemilih di kota Bandung.
Menjelang kurang dari dua bulan jatuh hari
pencoblosan, tampaknya beberapa kandidat mulai bersiap-siap, melakukan kegiatan
berbau Pilkada. Beberapa tim sukses dari
kolisi partai telah sigap memasang atribut di ruang publik, bahkan ada yang
menggunakan iklan di radio walau pun bentuknya iklan terselubung. Pada sisi
lain, kandidat dari calon perseorangan (independen) kelihatan masih adem-ayem, belum gencar bersosialisasi.
Realitas semu
Bila dicermati, jadwal kampanye yang
ditetapkan oleh KPU Bandung adalah 6 Juni hingga 19 Juni 2013. Walau peluit belum dibunyikan KPU Bandung ,
beberapa kandidat jauh-jauh hari telah melakukan manuver politik Pilkada. Mereka seakan-akan sudah tidak sabar dan ‘curi
start’ menerobos ruang pencitraan figur di publik. Bentuk paranoia (kecurigaan)
dan kecemasan dalam berkompetisi
merupakan ciri kultur politik kurang sehat hampir di setiap Pilkada di tanah
air kita.
Politik pencitraan (imagologi politic) menjadi fenomena sangat menarik untuk diamati. Konsekuensi
pemilihan langsung (direct vote),
para kandidat ditantang gerilya memoles kehebatannya lewat media sosial, atribut
maupun pertemuan-pertemuan tertutup
hingga kukurusukan di tingkat
masyarakat bawah (grass roots).
Sejak Pemilu Legislatif dan Pilpres 2004, pemilihan langsung terhadap kandidat tidak lagi menggunakan asas pendelegasian wakil
rakyat. Sejak itu pula di negeri kita
berkembang politik pencitraan. Sekarang rakyat di negera kita dapat menyatakan
“suka dan tidak suka” terhadap calon pemimpinnya dari bilik suara. Apa yang
sebelumnya dianggap kontra-demokrasi telah dihilangkan seperti idiom vox
vovuli vox dei, suara rakyat menjelma dalam bentuk suara kebenaran,
Dalam menyikapi histeria politik
tersebut, kandidat berlomba meraih
simpati dan empati rakyat. Seluruh upaya diarahkan membangun citra yang baik, berwibawa,
populis, elegan, intelektual, agamis, berbudaya, bermoral dan lain sebagainya. Pemandangan seperti ini bisa kita saksikan tercermin
dari semboyan (tagline) atribut
yang menghiasi ruang publik kota
Bandung. Acapkali atribut yang dipajang menunjukkan hiperalitas multi makna,
tak sesuai dengan realitas sang kandidat sehari-hari.
Padahal Pilkada-pilkada sebelumnya telah
memberi pembelajaran bagi publik bahwa politik pencitraan yang berlebihan cenderung
menghadirkan realitas semu (pseudo-reality).
Dalam realitas semu, seorang yang
sombong tiba-tiba menyulap dirinya menjadi ramah, manusia berwatak korup
menjelma jadi jujur, dari urakan menjadi kesan agamis, seketika kandidat yang
serakah tiba-tiba berubah dermawan serta prilaku kontradiktif lainnya. Sesungguhnya
perkembangan politik akhir-akhir ini lebih mengedepankan pencitraan sebagai
jalan pintas, sehingga akan melahirkan pemimpin dadakan (instant).
Politik pencitraan biasanya menonjolkan
keunggulan-keunggulan sang kandidat dan meminimalisir kekurangan yang
dimilikinya karena pemilihan langsung mengandalkan popularitas (popular votes). Demi meningkatkan elektabilitas dan
popularitas, tak jarang kandidat menggunakan lembaga peneliti survei, konsultan
politik dan tim sukses.
Citra survei
Secara kasat mata, memang sulit meramal peta
kekuatan politik Pilkada di kota Bandung. Biasanya lembaga survei hadir
mengukur ‘kumaha rame na’ (tokoh yang
populer) prediksi peta kekuatan
seluruh kandidat. Pengalaman membuktikan,
, keberhasilan suara partai tidak otomatis signifikan dalam Pilkada. Artinya,
jumlah total suara koalisi partai belum tentu berbanding lurus dengan kemampuan
figur yang diusung dalam meraih suara. Untuk itulah lembaga survey turut
meramaikan hampir dalam setiap Pilkada.
Hadirnya lembaga survei yang dibayar
sekadar untuk memainkan politik pencitraan, sesungguhnya adalah pembelokan hak rakyat
dalam memperoleh informasi politik. Bukan tidak mungkin ada lembaga survey yang
nakal, mengabsahkan metode multistage-random
sampling, tingkat kesalahan sampel (sampling
error) dan jumlah responden yang dimanipulasi intelektual ‘gurandil’, hasil survei tersiar sebagai pembohongan
publik belaka. Ibarat kecap nomor wahid,
kandidat tertentu dinyatakan pemenang
sebelum bertanding demi politik pencitraan, bahkan strategi merangsang investor
politik datang. Disamping itu, banyak juga lembaga survei yang kredibel, mampu menjaga nama baiknya. Untuk yang
terakhir ini, mereka memaparkan prediksi secara jujur dan ilmiah.
Patut disadari
bersama, kemenangan kandidat tidak semata-mata ditentukan pencitraan politik,
tapi juga dipengaruhi faktor figur, visi misi
serta prilaku kandidat di mata
warga Bandung. Dengan kata lain, pemimpin yang nyaah kepada rakyat dan tanggap terhadap kultur budaya niscaya akan
mempengaruhi prilaku pemilih,
percayalah. Semoga Walikota dan Wakil Walikota Bandung yang terpilih nanti dapat
mengembalikan kejayaan Bandung sebagai kota
Parijs van Java.***Sumber: PIKIRAN RAKYAT, 3 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar