Selasa, 27 Agustus 2013

Pork Barrel dan BBM

                   Ada ada dua hal yang tidak disukai rakyat saat ini. Pertama, masalah kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Kedua, sikap partai politik.
            Untuk masalah BBM, pemerintah berulangkali tarik-ulur untuk memastikan kenaikan harga BBM. Bagi rakyat awam, sikap pemerintah seperti ingus kanak-kanak, naik dan turun, tanpa jelas keputusan dikeluarkan. Sehingga harga kebutuhan sehari-hari terus melambung. Akibatnya rakyat juga yang susah.
            Untuk partai politik, ternyata terlalu egois. Ada partai yang munafik menentang kenaikan BBM dengan memasang spanduk, sementara para menterinya sendiri mendukung. Lalu ada partai lainnya diam-diam bersiasat mengambil peluang BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) dari kompensasi kenaikan BBM untuk pencitraan.
            Seluruh kejadian tersebut disimak seluruh rakyat Indonesia dari media massa. Seolah masyarakat teralienasi dari pemangku negara. Rakyat mulai ditinggalkan, hanya berteman dengan segelintir mahasiswa yang berani berunjuk rasa. Yang tersisa hanya rasa kesal, kecewa dan marah sambil berkeluh kesah.
Isu BBM
            Ketika isu kenaikan BBM, prasangka negatif berkembang dengan prasangka BLSM ditengarai tidak sekadar menolong masyarakat miskin. Program BLSM dianggap “ada udang di balik batu”. Maklum saja, tahun 2014 adalah saatnya Pileg dan Pilpres. Jangan sampai BLSM dijadikan alat politik.       
            Diketahui, selama pemerintahan presiden SBY, kenaikan BBM kerap disertai kompensasi bantuan uang tunai kepada masyarakat. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kompensasi tersebut dianggap sarat muatan politis. Tampaknya beberapa elit politik mulai bersuara lantang melontarkan “warning” kepada pemerintah. Sekurangnya ada tiga penyebab mengapa arus balik politik bisa terjadi.
            Pertama, tahun depan (2014) masa jabatan presiden SBY akan berakhir.  SBY telah menjalani dua periode menjadi presiden.  UUD 1945 (amandemen) Pasal 7 mengisyaratkan,  seorang presiden hanya diperbolehkan dua kali mengikuti Pilpres. Kondisi ini tanpa disadari membuat tali pengikat menteri Kabinet Indonesia Bersatu II mulai longgar. Sehingga partai politik cenderung melakukan manuver politik.
            Kedua, mulai terjadi politik ambil untung. Terbukti beberapa kebijakan pemerintah yang kurang populer di mata masyarakat mulai tajam dikritisi elit-elit politik. Partai yang selama ini adem ayem berkoalisi dengan setgab, berubah menjadi malin kundang, contohnya PKS,   Ditengah terpuruknya PKS didera kasus korupsi import sapi, kini berusha mengangkat isu BBM sebagai politik pencitraan.
            Ketiga, partai penguasa yakni Partai Demokrat (PD) juga mengalami nasib serupa. Elektabilitas PD anjlok disebabkan jajaran elit pentingnya terlibat kasus Hambalang. Cukup beralasan bila program kompensasi BBM dicurigai akan digunakan PD untuk merau suara seperti Pileg dan Pilpres 2009.
            .
Gentong babi
            Banyak pengamat memprediksi, masa musim semi koalisi Setgab sebagai hegemoni kekuasaan akan segera berakhir. Menjelang  Pileg dan Pilpres 2014 merupakan masa kompetitif untuk merebut kekuasaan politik. Masing-masing partai politik mulai ambil ancang-ancang mengambil simpati rakyat. Itulah sebabnya mengapa PD sebagai partai pemerintah diwaspadai melakukan “pork barrel politics”.      
Politik Gentong Babi (pork barrel politic) adalah penggelontoran anggaran pemerintah yang  digunakan dalam bentuk proyek atau kegiatan yang secara tidak langsung bertujuan untuk memperoleh  dukungan masyarakat.
Dipertegas oleh Susan C Stokes (2009),  politik gentong babi sebagai “a government project or appropriation that yields jobs or other benefits to a specific locale and patronage opportunities to its political representative”. 
Meskipun politik gentong sapi populer sejak awal abad 19, terjadi pada era Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun, namun praktik curang ini kerap digunakan oleh petahana.  Di Philippin, masa Presiden Marcos, dituding lawan politiknya Benigno Aquino Jr
Untuk melanggengkan kekuasannya. Termasuk juga Presiden Obama diserang dengan tuduhan yang sama.
            Presiden SBY pada Pilpres 2009 yang lalu, tak lepas dari kecaman penggunaan BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk memuluskan jabatannya. Disamping itu, berimbas terhadap lonjakan  peraihan suara PD.
            Tidak hanya tingkat nasional, di beberapa daerah juga acap kali ditemukan para gubernur dan bupati mendadak menggelontorkan anggaran besar dadakan menjelang pilkada. Secara normatif dalihnya adalah program pemerintah, namun di lapangan kental oleh pencitraan figur politik.  Dengan kata lain, pork barrel politics merupakan perbuatan kontra demokrasi.
             
Politik BBM
            Sebenarnya masyarakat awam (common sense) tidak begitu paham itikad apa yang terjadi di balik kenaikan BBM. Jika untuk menyelamatkan APBN, tentu berbagai pihak paham keselutitan apa yang terjadi pada struktur politik anggaran. Tetapi jika kenaikan harga BBM dirasa dipermainkan, konsekuensinya spekulan merajalela..
            Muncul pandangan berbeda, sebaiknya kompensasi BBM diarahkan kepada kekuatan ekonomi rakyat melalui revitalisasi koperasi. Atau bisa juga pengalihan kompensasi untuk pengembangan enerji alternatif pengganti BBM, serta bentuk program lainnya tidak bernuansa gratis (charity). Sebab pemberian BLT yang pernah dilakukan cenderung menimbulkan konflik baru di lapis masyarakat bawah dan tidak bersifat protektif.
            Sesungguhnya peran negara adalah melindungi rakyatnya. Bukan rakyat dijadijadikan objek dari rekayasa, apalagi kuda tunggang politik. 

Sumber: MEDIA INDONESIA, 11 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar