SEJAK
dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 7 Tahun 2013, muncul
keresahan di kalangan bidan desa yang terikat kontrak PTT (Pegawai Tidak Tetap). Selain itu, pihak
kementerian kesehatan juga telah mengirim surat kepada seluruh gubernur, walikota
dan bupati. Sehingga dokumen resmi tersebut kini telah beredar di puskesmas dan
bidan desa.
Dalam Pasal 9 menyebutkan, menteri
dapat mengangkat kembali atau memperpanjang bidan sebagai PTT paling banyak untuk
2 (dua) kali masa penugasan. Satu kali masa penugasan selama tiga tahun.
Itulah sebabnya akhir-akhir ini para
bidan PTT di seluruh Indonesiaterancam dirumahkan atau menganggur. Keresahan tersebut diperlihatkan dengan aksi
unjuk rasa di beberapa daerah, hingga
berujung ke istana negara. Kejadian ini menjadi menarik, karena petugas
kesehatan diketahui jarang sekali -, bahkan hampir tidak pernah berunjuk rasa massal
memprotes kebijakan pemerintah.
Bila ditelusuri, ternyata ada hal
mendasar yang patut dicermati.
Pertama,
hampir dua puluh tahun sejak peraturan bidan PTT di keluarkan, lewat Keputusan
Presiden No.23 Tahun 1994, para bidan
desa boleh memperpanjang masa tugasnya sebagai PTT. Mereka dapat berlama-lama tinggal di desa
menjalani semua tugas pokok dan fungsinya sebagai perpanjangan tangan
puskesmas.
Setelah lulus pendidikan Akedemi
Kebidanan, umumnya para bidan mendaftar program PTT. Sebagian kecil mencari
jalan lain, bekerja di rumah sakit swasta atau meneruskan studi. Setelah diterima
sebagai bidan PTT, mereka menerima gaji Rp 1,7 juta per bulan. Disamping itu, mereka juga berhak atas
insentif Rp 1,7 juta untuk desa
terpencil dan Rp 2,7 juta untuk desa sangat terpencil. Penetapan kriteria
lokasi desa biasa, terpencil dan sangat terpencil ini dusulkan kabupaten
masing-masing. Seluruh gaji dan insentif langsung dibayar dari Pusat.
Besaran gaji tersebut memang cukup
mengiurkan, apalagi bagi seorang tenaga kerja baru lulus sekolah (fresh graduate). Bersamaan dengan itu, bidan PTT juga diperkenankan
praktik swasta. Jasa mereka dibayar langsung dari kocek pasien ibu hamil (fee for services). Dan beberapa
pertolongan persalinan lainnya, khusus bagi masyarakat miskin, disubsidi
langsung dari Dinas Kesehatan setempat.
Kedua,
pemerintah tampaknya akhir-akhir ini
agak kewalahan dengan pembiayaan pegawai. Kementerian Keuangan memberi aba-aba,
tahun 2013 anggaran belanja pegawai Rp 241 Trilyun, atau 15 persen dari nilai
keseluruhan APBN. Setiap tahun pula biaya pegawai naik 2,5 persen.
Pihak Menpan telah mencoba kran
buka-tutup dalam penerimaan PNS. Tak jarang terjadi moratorium, pertumbuhan
jumlah pegawai ditekan pada titik terendah (zero
growth).
Perlu diketahui, dulu sekolah
kebidanan jumlahnya sedikit, masih terbatas di ibukota propinsi. Itu pun
sekolah ikatan dinas yang dibiayai pemerintah.
Tapi sekarang, Akademi Kebidanan
telah menjamur. Hampir di setiap kota-kota kecil ditemukan Akademi Kebidanan,
dikelola swasta.
Dari
sekitar 750 Akademi Kebidanan yang bertebar di tanah air, tak kurang 25 ribu
bidan diwisuda. Selanjutnya, mereka mendaftar program bidan PTT. Sisanya, langsung
bekerja di rumah sakit, klinik swasta, atau melanjutkan studi.
Dengan
kondisi APBN selalu defisit, tampaknya
pemerintah berusaha keras melakukan penghematan. Salah satu imbasnya, terjadi
pembatasan sektor tenaga kesehatan, khususnya regulasi kebijakan bidan PTT.
Ketiga, masih
tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI). Dari data Human Development Report (2010), AKB di
Indonesia mencapai 31 per 1000 kelahiran hidup. Angka itu, 5,2 kali lebih
tinggi dibandingkan Malaysia. Juga, 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan Filipina
dan 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand.
Begitu
pula angka kematian ibu (AKI), survei terakhir terungkap 228 per 100 ribu
kelahiran. Kenyatan ini menjadikan negara kita tergolong negara yang “kurang sayang ibu”,
karena AKI tertinggi se-Asean. Termasuk Jawa Barat, masih dalam peringkat lima
besar provinsi teratas penyumbang AKI/AKB.
Salah
satu faktor utama tingginya AKI adalah disebabkan masih rendahnya cakupan
pertolongan oleh tenaga kesehatan. Masalah budaya dan kebiasaan menyebabkan ibu
melahirkan banyak ditolong dukun beranak (paraji) tidak terlatih. Sehingga
peran bidan desa sangat dibutuhkan sebagai garda depan penekan AKI/AKB..
Tugas bidan PTT
Tujuan penempatan bidan PTT di desa untuk meningkatkan
mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan Kesehatan Ibu dan Anak Anak (KIA)
melalui puskesmas dan posyandu, serta kunjungan aktif ke rumah (home visit). Tempat tinggal mereka
difasilitasi oleh Desa, apa yang dikenal selama ini sebagai Polindes
(Poliklinik Bersalin Desa).
Dengan kondisi geografi yang
variatif, para bidan desa sering mengalami banyak rintangan lingkungan. Bagaimana
mungkin, seorang gadis muda yang baru lulus pendidikan harus berhadapan dengan
realita kehidupan desa terpencil, jauh dari sanak saudara, ttak jarang tanpa aliran
listrik, sulitnya jaringan komunikasi dan sarana tranportasi, terpaksa harus berjibaku mempertahankan profesinya.
Kisah pilu acap kali kita temukan, seorang
bidan desa terpaksa mengorbankan nyawa demi menjalankan tugasnya, direnggut
ganasnya suasana desa pedalaman. Inilah contoh bagaimana heroism masih tersisa
yang tidak bisa dinilai dengan materi sekali pun.
Di tengah jaman hedonime dan
konsumerisme hidup di perkotaan sekarang ini, keinginan bidan PTT yang mau terus
menetap di desa selayaknya tidak dipandang sebelah mata.
Kuba dan China adalah contoh negara yang masih
mempertahankan konsep para petugas kesehatannya ditempatkan di desa. Selain
itu, Kerala (India) sebuah negara kecil yang miskin, sanggup menekan AKI/AKB,
menyaingi negara-negara maju di Barat.
Bagi Indonesia, ditengah besarnya
duit negara dikorupsi, mungkin suatu khilaf besar bila penugasan bidan PTT di
desa dibatasi sementara AKI/AKB yang masih tinggi. Rasa keadilan ini timbul
karena kita masih terus berharap lahirnya ribuan bayi-bayi yang ditolong bidan
desa, siapa sangka salah satunya kelak menjadi presiden republik ini.Sumber: SUARA PEMBARUAN, 22 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar