Minggu, 01 Juni 2014

Peran Pancasila Meredup



Dalam negara Pancasila yang katanya selalu menjunjung “kemanusiaan yang adil dan beradab” ini, tentu sangat mengedepankan harkat dan martabat manusia, Artinya, manusia berada dalam “virtue a particular moral excellence” atau satu partikular moral yang baik. Secara eksplisit ditunjukkan dengan sikap ramah, sopan, penuh etika, agamis, serta anti kekerasan.
Namun kenyataannya sungguh terbalik. Setiap hari panorama kekerasan disuguhkan silih berganti. Mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan, penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan. Kerap terjadi sengketa antar individu, saling ejek, sebentar saja menyulut perkelahian antar kelompok atau perang antar kampung. Kekerasana etnik, geng motor, perkelahian supporter,  radikalisme atas nama agama, perselisihan pilkada, penggusuran, main hakim sendiri, dan perbuatan banalitas lainnya yang menuju garis konvergensi kekerasan. Bahkan akhir-akhir ini muncul kekerasan dalam format isu berbentuk kampanye hitam (black campaign) mencuat dalam dinamika Pilpres 2014.
Peristiwa demi peristiwa terjadi begitu enteng, dan seolah tak ada hubungannya dengan perilaku Pancasila. Atau mungkin, Pancasila sekadar simbol dan telah lenyap dari hati sanubari rakyat Indonesia.
Padahal telah 68 tahun bangsa ini lepas merdeka. Sudah  68 tahun pula  memperingati hari kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, dan menganggap Pancasila “way of life”, sebagai jalan penuntun kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi semuanya paradoks. Bertolak belakang
dengan saling menjaga kerukunan.
Berkali-kali para rohaniawan, tokoh-tokoh lintas agama, bersatu padu menganjurkan perdamaian dan anti kekerasan. Tapi seolah “masuk telinga kiri keluar telinga kanan”, pesan moral tak tersangkut dihati. Berkali-kali pejabat negara, bahkan Presiden meneriakkan “segera ditindak lanjuti”, “menentang aksi kekerasan” dan kalimat-kalimat perintah lainnya, Entah kenapa, penyakit banalitas tak jua surut. Jadi siapa lagi ucapannya yang ditakuti di republic ini?
Seperti yang diceritakan dalam serat Pararaton. Konon, Ken Arok membunuh karena tak sabar keris yang dibuat Mpu Gandring telat rampung. Ken Dedes membunuh Tunggul Ametung, sekaligus merebut Ken Dedes sebagai istri. Lalu Anusapati membalas kematian ayah kandungnya Tunggul Ametung, menusukkan keris yang sama untuk menghilangkan nyawa ayah tirinya Ken Arok karena sakit hati. Kemudian Anusapati pun dibunuh oleh Tohjaya, anak kandung Ken Arok.  Inilah mungkin suatu bukti, rasa amarah, benci dan dendam, sejak dulu telah merembes secara genetis dalam darah rakyat Indonesia.
Pada masa Orde Lama juga terjadi. Orang-orang anti Soekarno dipenjarakan pada jaman Demokrasi Terpimpin tanpa lewat meja pengadilan. Berlanjut masa Orde Baru, merebaknya impunitas Penembakan Misterius (Petrus), Timor Timur dan Aceh, Peristiwa Tanjung Periuk, Penculikan Aktivis dan deretan kepiluan impunitas lainnya. Sementara waktu itu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) masih hangat, tetapi tindakan penguasa berbeda dengan “perikemanusiaan yang adil dan beradab”.
Dalam perkembangan kekinian, dalam era Reformasi, benar kah konflik-konflik yang terjadi, benarkah Pancasila  hilang? Apakah ideologi Pancasila tak mampu lagi mendukung toleransi, kebersamaan, atau gotong royong di masyarakat? Apakah enerji Pancasila telah meredup? Inilah beberapa pertanyaan mendasar, disamping pertanyaan lainnya, perlu kita cermati bersama.

Fondasi negara
            Dahulu Soekarno (Bung Karno) menyebut Pancasila sebagai “philosophische grondslag” (filosofi dasar), dan “weltanschauung” (pandangan hidup).  Sekitar tiga tahun terakhir ini, MPR periode 2009-2019 melakukan elaborasi Pancasila sebagai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Empat pilar itu adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinnekha Tunggal Ika. Sehingga kurang pada tempatnya meletakkan Pancasila berkedudukan sejajar dengan UUD 1945, NKRI dan Bhinnekha Tunggal Ika. Dalam asumsi,
“pilar” adalah penyangga, sedangkan “dasar” adalah fondasi.
            Tanpa disadari, Empat Pilar melahirkan kekerasan horisontal dalam pola pikir akibat sikap pro dan kontra di masyarakat terhadap kedudukan Pancasila versi MPR tersebut, kendati itikadnya baik.  Hal ini menjadi pelajaran bersama, pola pandang pejabat tinggi negara kadang-kadang tak seiring dengan masyarakat. Para pejabat negara lainnya, seperti DPR, aparat hukum, birokrat serta aparatur lainnya acap kali tidak memberikan suri tauladan bagi rakyatnya.
            Kerapuhan cara berpikir telah menjalar di setiap lapisan masyarakat. Para siswa gemar tawuran, sebagian mahasiswa demonstrasi anarkhis, kehidupan kampus tak luput tercemar korupsi. Para kaum terpelajar yang seharusnya menjadi  penjaga nilai moral dan etika Pancasila, terjerembab dalam kehidupan instan dan hedonisme. Sharusnya kaum terdidik inilah menjadi garda terdepan yang menularkan perilaku Pancasila dengan baik.
            Dewasa ini, Pancasila seperti “tergerus” oleh jaman. Situasi lingkungan kehidupan bangsa yang demikian cepat, baik di tingkat domestik, regional mau pun internasional membawa alam demokrasi bebas.
            Eforia era Reformasi membuat orang bebas saling kritik. Masyarakat leluasa melontarkan kritik Kepala Negara, pejabat yang tak diinginkannya, bahkan tetangganya sendiri. Teknologi informasi, apakah media sosial (facebook, twitter, bbm dan sebagainya) menjadi kekuatan berpengaruh dalam aspek kehidupan.
 Sering kritik bertransformasi menjadi kalimat memaki. Ketersinggungan frasa kata, bergeser menjadi bahasa fisik.  Sehingga ketidakadilan dan kekerasan menjadi sebuah kesatuan alat serang, saling menyakit dan melukai.
Dalam istilah Dom Helder Camara, tokoh perdamaian dunia dari Brazil dalam “Spiral of Violence” (1971) menyebut, ketidakadilan (personal) menyebabkan aksi kekerasan (institusi) dan berakhir dengan represi negara yang membentuk spiral kekuasaan.
Misalnya dalam kasus penggusuran, bagaimana individu sering melibatkan kelompok massa, melawan kebijakan negara. Lalu aparat atas nama hukum, menyelesaikan sengketa dengan kekerasan. Sehingga kekerasan yang terjadi akan memancing kekerasan lainnya (violence attracts violence). Contoh lainnya, demonstrasi mahasiswa dan rakyat dilumpuhkan dengan gas air mata atas nama ketertiban sosial. Lantas di mana Pancasila kini berada?
            Memang betul, Pancasila di era reformasi ini terkurung dalam bingkai emas, Pancasila tergantung manis di sekolah, di kampus dan dinding-dinding kantor dan gedung birokrasi.  Dalam kesendiriannya, Pancasila seolah terasingkan dari kultur budaya, sosial dan masyarakat. Pancasila memalingkan wajahnya tatkala kekerasan demi kekerasan di lingkungan masyarakat.  Mengutip teori klasik Johan Galtung (1969), kekerasan terjadi secara sturuktural akibat retaknya lapisan sosial.
            Orang mulai lupa, mengidap amnesia massal.  Tokoh-tokoh  anti kekerasan yang menjadi inspirator gerakan dunia seperti Marthin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, Dalai Lama, dan sebagainya, telah gosong dimakan jaman. Apalagi bagi rakyat Indonesia, kesantunan Mohamad Hatta, Agus Salim, Syafruddin Prawiranegara, M Natsir, Hoegeng Imam Santosa, Baharudin Lopa dan tokoh-tokoh teladan Indonesia lainnya, seperti tersimpan di rak usang sejarah masa lalu.

Pancasila meredup
            Era Reformasi membawa ke alam bawah sadar.  Terjadi proses dehumanisasi, nihilisme, anarkhisme tanpa kendali orang melakukan apa saja yang diinginkannya atas nama demokrasi, bahkan menghalalkan segala cara. Entah sember demokrasi dari mana yang terjejal.
            Orang mulai lupa demokrasi Pancasila seutuhnya. Terdorong stigma buruk masa lalu, Pancasila dijadikan alat penguasa. Dalih semacam ini menyebabkan Pancasila terpinggirkan, meski partai politik, organisasi massa atau organisasi apa saja,  mengamini Pancasila menjadi dasar negara sebagai panduan hidup toleran untuk berkelompok dan berkumpul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Dalam keredupan Pancasila saat ini, sudah saatnya kita mengambil sesuatu yang baik di masa lalu, karena Pancasila bukanlah alat kambinghitam sejarah. Kekerasan di bumi Indonesia insya Allah akan tertekan di titik terendah bila kandungan Pancasila benar-benar dihayati dan dijalankan dalam sendi kehidupan. Percaya lah, nilai-nilai Pancasila akan mampu bertarung dengan ideologi mana pun di dunia, karena Pancasila  merupakan jati diri bangsa hasil keringat dan darah rakyat Indonesia. Dengan Pancasila membawa hari esok Indonesia lebih baik.

Sumber: KORAN JAKARTA, 2 Juni 2014