Selasa, 22 Oktober 2013

Percepat UU Pilpres

Kendati hampir setahun lamanya Badan Legislatif (baleg) DPR membahas Rencana Undang-undang (RUU) Pemilihan Presiden 2014, hingga kini belum juga tuntas. Ini menjadi salah satu pertanda potret kinerja wakil rakyat rendah. Dapat dibayangkan DPR menunda sesuatu yang vital bagi perhelatan demokrasi tahun depan. Bisa dibayangkan bakal terjadi saling lempar tanggung jawab ketika tenggat waktunya sudah dekat.

Terluntanya RUU Pilpres 2014 tersebut mungkin ada faktor kesengajaan. Boleh dibilang sebagian besar wakil rakyat sibuk menyosialisasikan diri menjelang Pemilu 2014. Tercatat sekitar sekitar 90 persen anggota DPR periode 2019-2014 kembali mencalonkan diri sebagai legislator. Jadi, kesannya mereka sibuk mengurus diri sendiri dan egois.

Padahal di masa silam, para bapak bangsa (founding fathers) yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) cukup gesit menyusun Pancasila dan UUD 1945. Hanya dalam beberapa kali sidang, bulan Mei-Juli 1945, BPUKI langsung menetapkan risalah penting yang dikenal sebagai tonggak sejarah Indonesia merdeka itu.

Tetapi sekarang kondisinya terbalik. Meski DPR telah bergaji menggiurkan dan memperoleh segala macam fasilitas yang berlebih, kinerjanya justru makin tidak memuaskan. Akibatnya pembahasan RUU Pilpres 2014 seolah dibiarkan tersendat.

Jika ditelisik, telantarnya pokok pembahasan RUU Pilpres sebenarnya menyangkut materi yang diperdebatkan. Dalam Pasal 9 RUU Pilpres 2014 tercantum tentang ambang batas presidential threshold (PT) 20 persen kursi di parlemen dan 25 persen perolehan suara. Bagian ini yang dianggap krusial.
Bagi parpol kecil, PT dimaknai sangat menghambat calon presiden yang bakal mereka usung. Tanpa disadari timbul sikap pro kontra terhadap revisi UU No 42 tahun 2008 sebagai kerangka acuan RUU Pilpres 2014.

Mereka yang pro revisi, dimotori parpol Gerindra, Hanura, PPP dan PKS. Intinya mereka ingin mengubah besaran angka PT. Bila perlu PT ditekan ke angka nol atau dihapus. Dengan begitu, otomatis semua parpol peserta pemilu boleh mencalonkan presiden.

Sementara, kelompok kontra revisi yang didukung parpol besar seperti Partai Demokrat (PD), PDI-P, Golkar, PAN dan PKB berada dalam satu kubu "brotherhood" dengan PD, menolak revisi.
Hingga saat ini dua kubu belum bertemu untuk mencari kompromi. Akibatnya berulang kali pembahasan RUU Pilpres 2014 mengalami penundaan dan deadlock. Maklum, anggota baleg yang nota bene hanyalah "bidak-bidak" politik dari parpol masing-masing. Mereka harus tunduk pada parpol, bukan rakyat.

Sementara parpol besar akan mendominasi peta kekuatan di baleg DPR dan rapat paripurna, dengan asumsi koalisi strategis parpol besar akan mengadang revisi. Rupanya sejumlah parpol kecil tidak kehilangan akal. Mereka berusaha mempengaruhi opini publik seperti kebijakan pembatasan dana kampanye, pengaturan iklan kampanye, pelarangan presiden rangkap jabatan, dan berujung mengubah syarat capres.


Manuver parpol

Di tengah menghangatnya suhu politik suksesi nasional, beberapa parpol telah transparan menjagokan ketua partainya menjadi capres, seperti Aburizal Bakrie dari Golkar, Prabowo Subianto dari Gerindra serta pasangan Wiranto dan Hary Tanusudibyo sebagai capres-cawapres Hanura. Menghangatnya manuver parpol tersebut dapat dipahami dengan berbagai alasan.

Tahun depan masa jabatan presiden berakhir dan harus diganti sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945 (amendemen) di mana seorang presiden hanya diperbolehkan menjabat dua kali. Ini menjadi peluang parpol untuk mengajukan calon presiden. PD bukan lagi dianggap the leading party atau partai dominan seperti pada Pilpres 2009 dan belum memberi sinyal capres yang akan diusung.

Pertarungan dalam revisi UU Pilpres dapat dijadikan indikator lawan dan kawan berkoalisi untuk mengusung capres. Penjajakan aura kebersamaan sekurangnya akan jelas ketika usai pemilihan legislatif (pileg) 2014 yang menggambarkan persentase perolehan suara nasional.

Capres diusung sendiri atau koalisi dengan parpol lainnya, tergantung pada hasil pemilihan legislatif. Parpol harus mampu merebut simpati pemilih. Menurut Andrew Reynolds (2005), eksistensi partai dalam pemilu digambarkan sebagai "in the most basic level, electoral systems translate the votes cast in a general election into seats won by parties and candidates (Dalam level paling dasariah, sistem-sistem pemilihan mengubah suara-suara di dalam sebuah pemilihan umum ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan partai-partai dan para kandidat)."

Konsekuensi sekarang, parpol harus bekerja keras dan sebaik-baiknya guna meraih simpati rakyat dalam pileg agar kekuatan politiknya diperhitungkan. Sesungguhnya, tujuan mencari pemimpin di negeri tercinta ini bukan sekadar mengedepankan semangat kelompok, golongan atau kepentingan parpol semata. Bangsa harus mencari pemimpin tegas yang mencintai rakyat dan mampu membawa Indonesia lebih baik.
DPR tak boleh menunda-nunda. Mereka harus segera merampungkan RUU tersebut karena waktu semakin mepet. Hentikan tarik-ulur kepentingan partai. Utamakan UU yang berkualitas dengan orientasi keperpihakan pada masyarakat.

Sumber : KORAN JAKARTA, Selasa 22 Oktober 2013

Kamis, 17 Oktober 2013

Kinerja DPR Menjelang Pemilu 2014

Kinerja DPR terutama di bidang legislasi dinilai buruk. Pasalnya, sekitar 90,5 persen anggota DPR periode 2019-2014 kembali mencalonkan dirinya pada Pemilu 2014. Target yang mereka susun tidak mencapai target sesuai Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Selain itu, tingkat kehadiran DPR rendah saat membahas RUU.

Artinya, wakil rakyat mulai diam-diam sibuk menyosialisasikan dirinya di masyarakat menjelang Pemilu 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi dan sering meninggalkan tugas pentingnya di gedung parlemen.
 
Tampaknya masyarakat tidak begitu kaget tatkala mendengar kabar wakil rakyat menjadi topik hangat soal kemalasan kerja. Maklum saja, wakil rakyat sering menimbulkan stigma buruk. Perilaku mereka suka menyimpang dari norma tanggung jawab sebagai pejabat publik. Tingkah mereka selalu menjadi sorotan, bahkan cenderung mengecewakan, baik di dalam maupun di luar gedung parlemen.

Sebagai contoh, pembahasan RUU Pilpres 2014 berbulan-bulan tak kunjung tuntas akibat kepentingan politik, sehingga kesan yang ditunjukkan lebih mementingkan diri dan golongan mereka sendiri ketimbang kepentingan publik.
Bahkan bila ditelusuri, tak jarang kebijakan yang mereka buat acap kali mencengangkan, bahkan ada yang bertentangan dengan keinginan rakyat. Selain itu, DPR akrab dengan kasus korupsi, sejumlah lainnya terlibat skandal seks, perceraian, kunjungan kerja tak jelas, dan bolos kerja.

Sebenarnya, wakil rakyat suka bolos bukan cerita baru. Masyarakat yang merasa dirinya “diwakilkan” kecewa bila melihat wakil rakyatnya bolos kerja. Akibat banyak yang bolos, kinerja akan amburadul maka dampaknya masyarakat luas juga yang dirugikan.
Memang menjadi wakil rakyat adalah impian banyak orang. Di samping gaji yang cukup menggiurkan, ia juga mendapat duit tunjangan, dan fasilitas lainnya. Wakil rakyat merupakan pejabat negara, suka diberi privilege yang tidak tersurat mendapat kemudahan VIP (very important person).

Jangan heran para birokrat juga sungkan berselisih paham dengan DPR. Jangan-jangan kedekatan wakil rakyat dengan atasan bisa berimbas sang birokrat dapat “ganjaran”. Bahkan, tak jarang Pak Polisi pun sungkan menilang!
Namun sebaliknya, keistimewaan yang diperoleh itu sungguh tidak sebanding dengan kinerja wakil rakyat. Padahal UU No 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan, bertugas fungsi legislasi (membuat peraturan/UU), anggaran, dan pengawasan.

Ketiga fungsi tersebut memiliki implikasi serius. Di dalamnya terdapat kepentingan masyarakat luas, misalnya tidak pantas tatkala membahas RUU hanya dihadiri sebagian kecil wakil rakyat. Dikhawatirkan, individu atau kelompok tertentu yang berinisiatif memainkan RUU tersebut sesuai kepentingannya.

Selayaknya pula RUU dibahas lintas fraksi serta mengundang pakar dan pemangku kepentingan (stakeholder). Jadi agak aneh bila penuhnya kehadiran wakil rakyat “Yang Terhormat” semata-mata urusan kunjungan kerja, sehingga kesan pelesir lebih mencuat dan ketika perdebatan pembahasan RUU banyak yang bolos.

Perilaku yang sama juga ditunjukkan waktu penyusunan anggaran (APBN). Uniknya, gedung dewan mendadak ramai. Kontradiktif dengan kehadiran dewan seperti biasanya.
Selain stakeholder, beberapa orang “tak dikenal” tiba-tiba muncul memegang map dan beberapa wakil rakyat yang tidak terlibat dalam urusan anggaran juga hadir di luar ruang. Entahlah, mungkin maksudnya “mengawal aspirasi” atau iktikad lainnya. Yang jelas, bicara anggaran berarti urusan duit!

Jika dicermati, ada beberapa penyebab bolosnya wakil rakyat, di antaranya tidak siapnya seorang wakil rakyat dengan iklim kerja yang terjadi di gedung dewan. Di samping itu, mesti tanggap dengan perkembangan masyarakat yang terjadi, ia juga harus mau belajar, tidak boleh malas membaca perubahan peraturan dan/atau undang-undang.

Kepintaran dalam politik praktis tidak selalu berbanding lurus dengan piawai menyalurkan aspirasi rakyat dan meregulasi peraturan atau undang-undang. Rangkap jabatan sebagai pengurus partai juga faktor perancu (confounding factor). Menjadi pengurus partai juga repot, apalagi ditambah beban legislatif. Bila keduanya sekaligus dijalankan, memang perlu pengaturan waktu ekstra agar tidak bolos kerja.

Sayangnya, acap kali kita memergoki wakil rakyat ongkang-ongkang kaki di kafe atau mal ketika jam kerja sibuk dengan urusan pribadinya, sehingga keadaan yang sulit dimaafkan adalah soal malas.

Kalau sudah begini, memang perlu diterapkan mesin absen dan secara periodik Badan Kehormatan mengumumkan tingkat kehadiran wakil rakyat ke publik. Tujuannya agar masyarakat tidak lagi memilih wakilnya yang pemalas dalam Pemilu 2014 mendatang. 

Sumber: SINAR HARAPAN, 17 Oktober 2013

Kamis, 10 Oktober 2013

Hebohnya Politik Dinasti di Banten



PEKAN lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muhtar. Berita ini tentu saja mengejutkan publik. Bersama Akil, dicokok juga seorang anggota DPR dan beberapa orang lainnya. Termasuk seorang pengusaha, Tubagus Chaery Wardana (suami Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan), adik dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Mereka diduga terlibat kasus suap perseteruan pilkada Kabupaten Lebak, propinsi Banten.
             
Beberapa saat setelah OTT, berita tersebut merebak di media cetak, visual,  dan televisi serta sosial media.  Tak kalah menarik, Ratu Atut Chosiyah dicekal bepergian ke luar negeri oleh KPK.
             
Kemudian terjadi rentetan aksi unjuk rasa aktivis anti korupsi Banten. Selain mengecam soal kasus korupsi, hal lain yang cukup mencengangkan adalah  politik dinasti. Dikabarkan 12 orang dari keluarga besar Ratu Atut tercatat sebagai  penggede Banten, seperti Walikota, Wakil Bupati dan calon legislatif. Seluruhnya tersangkut hubungan keluarga dekat, terkait hubungan adik kandung, suami, kakak kandung, ipar, menantu, hingga ibu tiri. Boleh dibilang,  dinasti politik Ratu Atut tergolong  paling sukses di Indonesia.
           
 Cerita kasus korupsi di Banten, ternyata tidak hanya terjadi di zaman modern ini. Banten di masa lalu juga pernah terjadi. Sejarah Banten di masa silam  memang sempat menorehkan cerita kemasyhuran dan kehanncuran.
             
Masa kejayaan Banten, pertengahan abad 16 dan 17,  pernah dirintis  Sultan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf dan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (kesultanan Banten pertama) dapat dikatakan sebagai masa  pemerintahan yang bersih (good government), sehingga luput dari tindakan-tindakan pribadi yang akan merugikan pemerintahan. Banten menjadi satu kesultanan yang berdaulat (1568).
             
Setelah memerintah 18 tahun, Maulana Hasanuddin Wafat (1570), digantikan puteranya Sultan Banten kedua, Maulana Yusuf. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,, perkembangan dan pembangunan Banten terus berlanjut. Ia membangun jaringan irigasi yang berguna bagi pengembangan pertanian. Sehingga Banten memiliki tiga sumber dana pembangunan dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyatnya, yaitu pelayaran, perdagangan, dan pertanian. (Bernard HM Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, terj 2008)
            
 Melompati beberapa keturunan berikutnya, tahta kesultanan Banten diduduki Pangeran Surya atau Pangeran Dipati, yang dalam Sejarah Banten lebih dikenal dengan nama Sultan Agung Tirtayasa, setelah beliau mendirikan istananya yang baru di Tirtayasa. Pada pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Bahkan para nakhoda orang-orang Eropa itu pulalah yang pada mulanya memimpin kapal-kapal Banten dalam pelayarannya ke Philippina, Macao, Benggala dan Persia.
             
Tetapi sangat disayangkan, pewaris utama Sultan Ageng yang dikenal sebagai Sultan Haji (Abdulkahar) terhasut politik devide et impera (adu domba) oleh VOC (Belanda). Sultan Haji termakan intrik VOC yang meniupkan berita bohong bahwa adik kandungnya Pangeran Purbaya yang bakal menerima tahta.

Dibakar mabuk kekuasaan, akhirnya Sultan Haji yang menerima gratifikasi bantuan logistik dan bala tentera VOC. Tidak disangka malah  menghancurkan ayahnya sendiri Sultan Ageng Tirtayasa.  Konspirasi VOC bersama Sultan Haji melakukan perebutan kekuasaan menurunkan ayahnya dari tahta, digantikan dirinya (1681).
Setelah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa runtuh, pengaruh VOC pun stidak dapat dibendung. Masa kejayaan Banten pudar, tinggal kenangan. Cahaya kebesaran Banten sirna sudah. Sultan Haji hanya berperan sebagai boneka yang tunduk kepada kekuasaan asing VOC (Hansiswany Kamarga, UPI).
Di masa pemerintahan Sultan Haji (Abdulkahar) kasus korupsi merajalela di Banten.  Sultan Haji diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, demi memperkaya diri. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan Suktan Haji tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsinya. Inilah salah satu sejarah Banten yang sungguh mengenaskan.
 
Rupanya lain dulu, lain pula cerita korupsi di zaman sekarang. Di era reformasi dengan demokrasi kebebasan ini kita diingatkan kembali dengan politik dinasti. Tidak ada satu pasal hokum pun yang mengatur atau pelimpahan mau pun gurita kekuasaan dalam hubungan keluarga. Contoh sukses itu ditampilkan Gubernur Ratu Atut Chosiyah melibatkan belasan keluarganya menjadi orang penting di propinsi Banten. 

Namun Ratu Atut sekarang tersandung. Adiknya kandungnya, Tubagus Chaery Wardana (Wawan), dijadikan tersangka kasus korupsi. Bahkan belasan mobil mewah milik Wawan terpaksa kena police-line. Setidaknya kini Banten menjadi sorotan masyarakat, khususnya soal kasus korupsi yang melibatkan politik dinasti.

Sumber : TRIBUN  JABAR,  13 Oktober 2013