Kendati hampir setahun lamanya Badan Legislatif (baleg) DPR membahas
Rencana Undang-undang (RUU) Pemilihan Presiden 2014, hingga kini belum
juga tuntas. Ini menjadi salah satu pertanda potret kinerja wakil
rakyat rendah. Dapat dibayangkan DPR menunda sesuatu yang vital bagi
perhelatan demokrasi tahun depan. Bisa dibayangkan bakal terjadi saling
lempar tanggung jawab ketika tenggat waktunya sudah dekat.
Terluntanya
RUU Pilpres 2014 tersebut mungkin ada faktor kesengajaan. Boleh
dibilang sebagian besar wakil rakyat sibuk menyosialisasikan diri
menjelang Pemilu 2014. Tercatat sekitar sekitar 90 persen anggota DPR
periode 2019-2014 kembali mencalonkan diri sebagai legislator. Jadi,
kesannya mereka sibuk mengurus diri sendiri dan egois.
Padahal
di masa silam, para bapak bangsa (founding fathers) yang tergabung
dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) cukup gesit menyusun Pancasila dan UUD 1945. Hanya dalam
beberapa kali sidang, bulan Mei-Juli 1945, BPUKI langsung menetapkan
risalah penting yang dikenal sebagai tonggak sejarah Indonesia merdeka
itu.
Tetapi sekarang kondisinya terbalik. Meski DPR telah
bergaji menggiurkan dan memperoleh segala macam fasilitas yang berlebih,
kinerjanya justru makin tidak memuaskan. Akibatnya pembahasan RUU
Pilpres 2014 seolah dibiarkan tersendat.
Jika ditelisik,
telantarnya pokok pembahasan RUU Pilpres sebenarnya menyangkut materi
yang diperdebatkan. Dalam Pasal 9 RUU Pilpres 2014 tercantum tentang
ambang batas presidential threshold (PT) 20 persen kursi di parlemen
dan 25 persen perolehan suara. Bagian ini yang dianggap krusial.
Bagi
parpol kecil, PT dimaknai sangat menghambat calon presiden yang bakal
mereka usung. Tanpa disadari timbul sikap pro kontra terhadap revisi UU
No 42 tahun 2008 sebagai kerangka acuan RUU Pilpres 2014.
Mereka
yang pro revisi, dimotori parpol Gerindra, Hanura, PPP dan PKS.
Intinya mereka ingin mengubah besaran angka PT. Bila perlu PT ditekan
ke angka nol atau dihapus. Dengan begitu, otomatis semua parpol peserta
pemilu boleh mencalonkan presiden.
Sementara, kelompok kontra
revisi yang didukung parpol besar seperti Partai Demokrat (PD), PDI-P,
Golkar, PAN dan PKB berada dalam satu kubu "brotherhood" dengan PD,
menolak revisi.
Hingga saat ini dua kubu belum bertemu untuk
mencari kompromi. Akibatnya berulang kali pembahasan RUU Pilpres 2014
mengalami penundaan dan deadlock. Maklum, anggota baleg yang nota bene
hanyalah "bidak-bidak" politik dari parpol masing-masing. Mereka harus
tunduk pada parpol, bukan rakyat.
Sementara parpol besar akan
mendominasi peta kekuatan di baleg DPR dan rapat paripurna, dengan
asumsi koalisi strategis parpol besar akan mengadang revisi. Rupanya
sejumlah parpol kecil tidak kehilangan akal. Mereka berusaha
mempengaruhi opini publik seperti kebijakan pembatasan dana kampanye,
pengaturan iklan kampanye, pelarangan presiden rangkap jabatan, dan
berujung mengubah syarat capres.
Manuver parpol
Di
tengah menghangatnya suhu politik suksesi nasional, beberapa parpol
telah transparan menjagokan ketua partainya menjadi capres, seperti
Aburizal Bakrie dari Golkar, Prabowo Subianto dari Gerindra serta
pasangan Wiranto dan Hary Tanusudibyo sebagai capres-cawapres Hanura.
Menghangatnya manuver parpol tersebut dapat dipahami dengan berbagai
alasan.
Tahun depan masa jabatan presiden berakhir dan harus
diganti sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945 (amendemen) di mana seorang
presiden hanya diperbolehkan menjabat dua kali. Ini menjadi peluang
parpol untuk mengajukan calon presiden. PD bukan lagi dianggap the
leading party atau partai dominan seperti pada Pilpres 2009 dan belum
memberi sinyal capres yang akan diusung.
Pertarungan dalam
revisi UU Pilpres dapat dijadikan indikator lawan dan kawan berkoalisi
untuk mengusung capres. Penjajakan aura kebersamaan sekurangnya akan
jelas ketika usai pemilihan legislatif (pileg) 2014 yang menggambarkan
persentase perolehan suara nasional.
Capres diusung sendiri atau
koalisi dengan parpol lainnya, tergantung pada hasil pemilihan
legislatif. Parpol harus mampu merebut simpati pemilih. Menurut Andrew
Reynolds (2005), eksistensi partai dalam pemilu digambarkan sebagai
"in the most basic level, electoral systems translate the votes cast in a
general election into seats won by parties and candidates (Dalam level
paling dasariah, sistem-sistem pemilihan mengubah suara-suara di dalam
sebuah pemilihan umum ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan
partai-partai dan para kandidat)."
Konsekuensi sekarang, parpol
harus bekerja keras dan sebaik-baiknya guna meraih simpati rakyat
dalam pileg agar kekuatan politiknya diperhitungkan. Sesungguhnya,
tujuan mencari pemimpin di negeri tercinta ini bukan sekadar
mengedepankan semangat kelompok, golongan atau kepentingan parpol
semata. Bangsa harus mencari pemimpin tegas yang mencintai rakyat dan
mampu membawa Indonesia lebih baik.
DPR tak boleh menunda-nunda.
Mereka harus segera merampungkan RUU tersebut karena waktu semakin
mepet. Hentikan tarik-ulur kepentingan partai. Utamakan UU yang
berkualitas dengan orientasi keperpihakan pada masyarakat.
Sumber : KORAN JAKARTA, Selasa 22 Oktober 2013
Selasa, 22 Oktober 2013
Kamis, 17 Oktober 2013
Kinerja DPR Menjelang Pemilu 2014
Kinerja DPR terutama di bidang
legislasi dinilai buruk. Pasalnya, sekitar 90,5 persen anggota DPR
periode 2019-2014 kembali mencalonkan dirinya pada Pemilu 2014.
Target yang mereka susun tidak mencapai target sesuai Prolegnas
(Program Legislasi Nasional). Selain itu, tingkat kehadiran DPR
rendah saat membahas RUU.
Artinya, wakil rakyat mulai diam-diam
sibuk menyosialisasikan dirinya di masyarakat menjelang Pemilu 2014
yang tinggal beberapa bulan lagi dan sering meninggalkan tugas
pentingnya di gedung parlemen.
Tampaknya
masyarakat tidak begitu kaget tatkala mendengar kabar wakil rakyat
menjadi topik hangat soal kemalasan kerja. Maklum saja, wakil rakyat
sering menimbulkan stigma buruk. Perilaku mereka suka menyimpang dari
norma tanggung jawab sebagai pejabat publik. Tingkah mereka selalu
menjadi sorotan, bahkan cenderung mengecewakan, baik di dalam maupun
di luar gedung parlemen.
Sebagai contoh, pembahasan RUU Pilpres
2014 berbulan-bulan tak kunjung tuntas akibat kepentingan politik,
sehingga kesan yang ditunjukkan lebih mementingkan diri dan golongan
mereka sendiri ketimbang kepentingan publik.
Bahkan bila ditelusuri, tak jarang
kebijakan yang mereka buat acap kali mencengangkan, bahkan ada yang
bertentangan dengan keinginan rakyat. Selain itu, DPR akrab dengan
kasus korupsi, sejumlah lainnya terlibat skandal seks, perceraian,
kunjungan kerja tak jelas, dan bolos kerja.
Sebenarnya, wakil rakyat suka bolos
bukan cerita baru. Masyarakat yang merasa dirinya “diwakilkan”
kecewa bila melihat wakil rakyatnya bolos kerja. Akibat banyak yang
bolos, kinerja akan amburadul maka dampaknya masyarakat luas juga
yang dirugikan.
Memang menjadi wakil rakyat adalah
impian banyak orang. Di samping gaji yang cukup menggiurkan, ia juga
mendapat duit tunjangan, dan fasilitas lainnya. Wakil rakyat
merupakan pejabat negara, suka diberi privilege yang tidak tersurat
mendapat kemudahan VIP (very important person).
Jangan heran para
birokrat juga sungkan berselisih paham dengan DPR. Jangan-jangan
kedekatan wakil rakyat dengan atasan bisa berimbas sang birokrat
dapat “ganjaran”. Bahkan, tak jarang Pak Polisi pun sungkan
menilang!
Namun sebaliknya, keistimewaan yang
diperoleh itu sungguh tidak sebanding dengan kinerja wakil rakyat.
Padahal UU No 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR,
DPD, dan DPRD menyebutkan, bertugas fungsi legislasi (membuat
peraturan/UU), anggaran, dan pengawasan.
Ketiga fungsi tersebut memiliki
implikasi serius. Di dalamnya terdapat kepentingan masyarakat luas,
misalnya tidak pantas tatkala membahas RUU hanya dihadiri sebagian
kecil wakil rakyat. Dikhawatirkan, individu atau kelompok tertentu
yang berinisiatif memainkan RUU tersebut sesuai kepentingannya.
Selayaknya pula RUU dibahas lintas
fraksi serta mengundang pakar dan pemangku kepentingan (stakeholder).
Jadi agak aneh bila penuhnya kehadiran wakil rakyat “Yang
Terhormat” semata-mata urusan kunjungan kerja, sehingga kesan
pelesir lebih mencuat dan ketika perdebatan pembahasan RUU banyak
yang bolos.
Perilaku yang sama juga ditunjukkan
waktu penyusunan anggaran (APBN). Uniknya, gedung dewan mendadak
ramai. Kontradiktif dengan kehadiran dewan seperti biasanya.
Selain
stakeholder, beberapa orang “tak dikenal” tiba-tiba muncul
memegang map dan beberapa wakil rakyat yang tidak terlibat dalam
urusan anggaran juga hadir di luar ruang. Entahlah, mungkin maksudnya
“mengawal aspirasi” atau iktikad lainnya. Yang jelas, bicara
anggaran berarti urusan duit!
Jika dicermati, ada beberapa penyebab
bolosnya wakil rakyat, di antaranya tidak siapnya seorang wakil
rakyat dengan iklim kerja yang terjadi di gedung dewan. Di samping
itu, mesti tanggap dengan perkembangan masyarakat yang terjadi, ia
juga harus mau belajar, tidak boleh malas membaca perubahan peraturan
dan/atau undang-undang.
Kepintaran dalam politik praktis tidak
selalu berbanding lurus dengan piawai menyalurkan aspirasi rakyat dan
meregulasi peraturan atau undang-undang. Rangkap jabatan sebagai
pengurus partai juga faktor perancu (confounding factor). Menjadi
pengurus partai juga repot, apalagi ditambah beban legislatif. Bila
keduanya sekaligus dijalankan, memang perlu pengaturan waktu ekstra
agar tidak bolos kerja.
Sayangnya, acap kali kita memergoki
wakil rakyat ongkang-ongkang kaki di kafe atau mal ketika jam kerja
sibuk dengan urusan pribadinya, sehingga keadaan yang sulit dimaafkan
adalah soal malas.
Kalau sudah begini, memang perlu diterapkan mesin
absen dan secara periodik Badan Kehormatan mengumumkan tingkat
kehadiran wakil rakyat ke publik. Tujuannya agar masyarakat tidak
lagi memilih wakilnya yang pemalas dalam Pemilu 2014 mendatang.
Sumber: SINAR HARAPAN, 17 Oktober 2013
Kamis, 10 Oktober 2013
Hebohnya Politik Dinasti di Banten
PEKAN lalu
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil
Muhtar. Berita ini tentu saja mengejutkan publik. Bersama Akil, dicokok juga
seorang anggota DPR dan beberapa orang lainnya. Termasuk seorang pengusaha,
Tubagus Chaery Wardana (suami Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan),
adik dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Mereka diduga terlibat kasus suap
perseteruan pilkada Kabupaten Lebak, propinsi Banten.
Beberapa saat setelah OTT, berita tersebut
merebak di media cetak, visual, dan
televisi serta sosial media. Tak kalah
menarik, Ratu Atut Chosiyah dicekal bepergian ke luar negeri oleh KPK.
Kemudian terjadi rentetan aksi unjuk
rasa aktivis anti korupsi Banten. Selain mengecam soal kasus korupsi, hal lain
yang cukup mencengangkan adalah politik
dinasti. Dikabarkan 12 orang dari keluarga besar Ratu Atut tercatat sebagai penggede
Banten, seperti Walikota, Wakil Bupati dan calon legislatif. Seluruhnya
tersangkut hubungan keluarga dekat, terkait hubungan adik kandung, suami, kakak
kandung, ipar, menantu, hingga ibu tiri. Boleh dibilang, dinasti politik Ratu Atut tergolong paling sukses di Indonesia.
Cerita kasus korupsi di Banten,
ternyata tidak hanya terjadi di zaman modern ini. Banten di masa lalu juga
pernah terjadi. Sejarah Banten di masa silam
memang sempat menorehkan cerita kemasyhuran dan kehanncuran.
Masa kejayaan Banten, pertengahan
abad 16 dan 17, pernah dirintis Sultan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf dan
Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin
(kesultanan Banten pertama) dapat dikatakan sebagai masa pemerintahan yang bersih (good government), sehingga luput dari
tindakan-tindakan pribadi yang akan merugikan pemerintahan. Banten menjadi satu
kesultanan yang berdaulat (1568).
Setelah memerintah 18 tahun, Maulana
Hasanuddin Wafat (1570), digantikan puteranya Sultan Banten kedua, Maulana
Yusuf. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,, perkembangan dan pembangunan
Banten terus berlanjut. Ia membangun jaringan irigasi yang berguna bagi
pengembangan pertanian. Sehingga Banten memiliki tiga sumber dana pembangunan
dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyatnya, yaitu pelayaran, perdagangan,
dan pertanian. (Bernard HM Vlekke, Nusantara
Sejarah Indonesia, terj 2008)
Melompati beberapa keturunan
berikutnya, tahta kesultanan Banten diduduki Pangeran Surya atau Pangeran
Dipati, yang dalam Sejarah Banten lebih dikenal dengan nama Sultan Agung
Tirtayasa, setelah beliau mendirikan istananya yang baru di Tirtayasa. Pada
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Bahkan para nakhoda orang-orang Eropa itu
pulalah yang pada mulanya memimpin kapal-kapal Banten dalam pelayarannya ke
Philippina, Macao, Benggala dan Persia.
Tetapi sangat disayangkan, pewaris
utama Sultan Ageng yang dikenal sebagai Sultan Haji (Abdulkahar) terhasut
politik devide et impera (adu
domba) oleh VOC (Belanda). Sultan Haji termakan intrik VOC yang meniupkan
berita bohong bahwa adik kandungnya Pangeran Purbaya yang bakal menerima tahta.
Dibakar mabuk kekuasaan, akhirnya Sultan Haji yang menerima gratifikasi bantuan logistik dan bala tentera VOC. Tidak disangka malah menghancurkan ayahnya sendiri Sultan Ageng Tirtayasa. Konspirasi VOC bersama Sultan Haji melakukan perebutan kekuasaan menurunkan ayahnya dari tahta, digantikan dirinya (1681).
Setelah
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa runtuh, pengaruh VOC pun stidak dapat
dibendung. Masa kejayaan Banten pudar, tinggal kenangan. Cahaya kebesaran Banten
sirna sudah. Sultan Haji hanya berperan sebagai boneka yang tunduk kepada
kekuasaan asing VOC (Hansiswany Kamarga, UPI).
Di
masa pemerintahan Sultan Haji (Abdulkahar) kasus korupsi merajalela di
Banten. Sultan Haji diangkat
dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, demi memperkaya
diri. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah
yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan Suktan Haji
tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan
praktek korupsinya. Inilah salah satu sejarah Banten yang sungguh mengenaskan.
Rupanya lain dulu, lain pula cerita korupsi di zaman sekarang. Di era reformasi dengan demokrasi kebebasan ini kita diingatkan kembali dengan politik dinasti. Tidak ada satu pasal hokum pun yang mengatur atau pelimpahan mau pun gurita kekuasaan dalam hubungan keluarga. Contoh sukses itu ditampilkan Gubernur Ratu Atut Chosiyah melibatkan belasan keluarganya menjadi orang penting di propinsi Banten.
Namun Ratu Atut sekarang tersandung. Adiknya kandungnya, Tubagus Chaery Wardana (Wawan), dijadikan tersangka kasus korupsi. Bahkan belasan mobil mewah milik Wawan terpaksa kena police-line. Setidaknya kini Banten menjadi sorotan masyarakat, khususnya soal kasus korupsi yang melibatkan politik dinasti.
Sumber : TRIBUN JABAR, 13 Oktober 2013
Langganan:
Postingan (Atom)