TERNYATA tidak hanya partai politik saja yang perlu konvensi
untuk memilih calom presiden. Tetapi kali ini pihak Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) pun terjangkit menggelar
konvensi. Belum lama ini (26-27 September 2013), Kemendikbud menggelar
Konvensi UN (Ujian Nasional), intinya untuk meng-goal-kan terus
berlangsungnya penyelenggaraan UN.
Bila ditelusuri, berkaitan dengan UN sekurangnya ada tiga faktor yang mendorong Konvensi UN menjadi sorotasn.
Pertama, berkembang sikap kontra pelaksaan UN yang berwujud gugatan
elemen masyarakat terhadap Kemendikbud. Dalam gugatan Citizen Lowsuit
yang terdiri para siswa, orangtua murid, aktifis pendidikan dan para
guru anggota Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) atas nama Tim
Abdovokasi Korban UN beberapa bulan lalu, pihak Mahkamah Agung (MA)
memutuskan gugatan masyarakat atas UN. Artinya, UN mesti dihapus atas
nama hukum.
Kedua, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kerugian
negara miliaran rupiah dalam pengadaan UN. Tidak hanya UN tahun 2012,
juga UN tahun 2013. Pendistribusian dan mutu lembar jawaban UN
amburadul. Ketika diselidiki, beberapa orang terlibat kasus korupsi
pengadaan bahan UN.
Ketiga, timbulnya polemik sekaligus ketakutan di masyarakat bahwa UN
selama ini sebagai fungsi kelulusan. Seharusnya UN sebagai pemetaan
kualitas pendidikan. Akibatnya UN dimaknai sebagai hidup-mati bagi
jenjang pendidikan siswa. Gejolak ini terjadi setiap tahun dan
Kemendikbud dibalik kekuasaan pemerintah seakan-akan menggunakan
"kacamata kuda" dan menganggap polemik UN tersebut sebagaii "anjing
menggonggong kafilah tetap berlalu".
Konvensi sebagai legitimasi
Karut-marut masalah UN tampaknya terus mencuat, apalagi saat ini
ditengah gencarnya pemerintah menerapkan Kurikulumm 2013. Di satu pihak,
masalah pro-kontra UN belum tuntas, malah Kurikulum 2013 juga menuai
badai pro-kontra. Sementara Kemendikbud tak bergeming atas otoritasnya
terus menyelenggarakan UN.
Timbul pandangan miring, penyelenggaraan UN tersebut menelan puluhan
triliun rupiah. Di dalamnya terdapat proyek maha raksasa diselenggarakan
Kemendikbud. Pada sisi negatifnya, pada proyek UN telah ditemukan
kebocoran anggaran menjururs tindakan koruptif. Secara tidak langsung
kian menguatkan opini masyarakat bahwa UN lebih diliputi aroma proyek
ketimbang tujuan peningkatan kualitas pendidikan.
Di tengah bermacam silang pendapat soal UN tersebut, Kemendikbud kembali
melontarkan gagasan Konvensi UN. Hasilnya nanti dapat diduga, kegiatan
tersebut direspon datar dan dianggap (legitimasi) .
Prediksi tersebut mungkin bisa dibenarkan lantaran pesertta Konvensi UN
adalah guru, kepala sekolah, kepala dinas, akademisi, dewan pendidikan
dan lain-lain – yang notabene dalam satu garis pro Kemendikbud. Di pihak
kontra, diikutsertakan segelintir peserta yang dianggap mewakili
kelompok atau lapisan masyarakat yang selama ini dikenal menolak UN.
Tema besar Konvensi UN menjurus pada pola mencari masukan. Secara tegas
tidak pada itikad merujuk dari menyamakan pandangan pro dan kontra.
Dengan demikian, muncul prasangka disinyalir Kemendikbud terjebak pada
politik pencitraan untuk memaksakan kehendaknya program (proyek) UN.
Dapat dibayangkan, Konvensi UN bakal bertemu dalam ruang hampa.
Keseteraan pandangan pro dan kontra UN belum berakhir dalam titik temu
harmonis. Di tengah kompleksitas dan kontroversi yang berkembang,
seyogyanya tidak semata-mata pertimbangan kebijakan politis sentralistik
lebih mendominasi makna konvensi.
Cara istimewa dalam isitilah "batu turun keusik naik" merupakan jelan
terbaik agar pemerintah tidak kehilangkan muka untuk mengubah UN dalam
format yang berbeda dari sebelumnhya.
Patut disadari, kebijakan UN yang sifatnya "top-down" di alam demokrasi
menunjukkan aparat pendidikan di tingkat Pusat lebih menggunakan
kekuasaan politik pendidikannya ketimbang masukan dari Daerah
(botton-up). Dalih apa pun, bila nantinya Kemendikbud akan memaksakan
kehendaknya, penyelenggaraan UN terus diwarnai penolakan.
Ada beberapa rekomendasi yang dibutuhkan untuk mengurai benang kusut
penyelenggaraan UN. Pertama, Konvensi UN hendaknya bukan sebagai alat
legitimasi kebijakan sebagai support yang lebih menjurus menguatkan
politisasi peneyelenggaraan UN.
Kedua, sebaiknya UN bukan alat penentu kelulusan, melainkan sebagai
program meningkatkan kualitas pendidikan. Prasyaratnya ini tentu tidak
mesti pula UN dilakukan setiap tahun menimbang bahwa fungsi UN sebagai
media tera kualitas pendidikan.
Ketiga, proses penyelenggaraan UN yang diketahui rawan kebocoran
anggaran dan sulit menekan kecurangan di lapangan, ada baiknya dana
triliunan rupiah yang dihabiskan untuk UN tersebut lebih dimanfaatkan
kepada pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di daerah.
Sesungguhnya geografi pendidikan di Indonesia memang penuh disparitas.
Terjadi kesenjangan sarana dan prasarana pendidikan antara di kota dan
di desa. Dengan, tingkat sosial ekonomi orangtua murid di kota dan di
desa yang berbeda, setidaknya pemerintah harus lebih tanggap terhadap
pemerataan pendidikan.
Sejak dikeluarkannya UU Pendidikan No.20 Tahun 2002b tentang
penyelenggaraan UN, apa pun cara yang ditempuh pemerintah cenderung
bertemu jalan buntu. Banyak ahli, pengamat, kritisi atau praktisi
pendidikan menyumbangkan pemikirannya, namun kebijakan UN terus jalan
meski prosesnya acap kali amburadul. Diharapkan Konvensi UN sebagai
siraman penyejuk agar pro-kontra UN terhenti.
Sumber: GALAMEDIA, Senin 30 September 2013
Senin, 30 September 2013
Caleg Gentong Babi
Politik gentong babi (pork barrel
politics) merupakan penggunaan anggaran belanja pemerintah untuk
proyek pembangunan dengan tujuan politik (Michael W Drudge, 2010). Di
Indonesia dikenal sebagai politik anggaran (budgeting politics).
Biasanya dilakukan kepala daerah atau wakil rakyat terkait langsung
kucuran dana APBD atau APBN kepada masyarakat.
Dengan adanya proyek, terdapat dua
keuntungan. Pertama, diharapkan simpati masyarakat akan meningkat
terhadap sang kandidat. Kedua, dari proyek itu pula sang kandidat
akan mendapatkan kickback atau komisi dari pengusaha.
Di Amerika Serikat, perilaku politik
gentong babi sudah lama terjadi. Awal abad 19, Wakil Presiden AS,
John C Calhoun, membuat jembatan dan jalan. Namun, proyek tersebut
dianggap tidak bermanfaat (bridge nowhere) dan terjadi
penggelembungan dana (mark-up). Malah lebih menguntungkan pribadi
sang Wapres AS. Akhirnya rakyat Amerika mengecam perilaku John C
Calhoun sebagai pelaku pork barrel spending.
Tidak hanya di Amerika, ternyata
perilaku politik gentong babi juga menular ke beberapa negara
lainnya, termasuk Filipina.
Masa pemerintahan Presiden Ferdinand
Marcos ketika mempertahankan kursi presidennya, ia dituding melakukan
politik gentong babi oleh lawan politiknya, Benigno Aquino Jr. Begitu
pula di Indonesia, Presiden SBY sempat dikritik soal program Bantuan
Tunai Langsung (BLT) yang ditengarai mendongkrak suara SBY pada
Pilpres 2009.
Sudah mafhum adanya, politik gentong
babi terjadi di Indonesia. Setelah pemilihan kepala daerah (pilkada)
usai dimenangkan petahana, puluhan kasus gugatan masuk ke mahkamah
Konstitusi (MK). Salah satu gugatan utama, tentu saja permainan
politik anggaran.
Dari sekian puluh kasus yang masuk ke
MK, ternyata hanya segelintir yang terbukti. Bahkan, belum satu pun
kasus masuk ke ranah korupsi. Ini artinya, permainan politik anggaran
layaknya fatamorgana, tampak di depan mata tetapi sulit terbukti di
depan hakim.
Caleg petahana
Pengalaman Pileg 2009 menyiratkan
pemilihan langsung (direct vote) sangat tergantung kemahiran caleg
secara individu beserta timnya menggaet suara. Hal yang sama juga
bakal terjadi dalam Pileg 2014 nanti.
Pileg 2014 mengacu pada UU Pemilu Nomor
8 Tahun 2012. Dalam Pasal 5 disebutkan, pemilu legislatif (DPR dan
DPRD) dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Pasal 205 juga
menjelaskan suara partai dan individu caleg diakumulasi, kemudian
menjadi kuota kursi. Artinya, seorang caleg dinyatakan lolos menjadi
wakil rakyat berdasarkan perolehan suara terbanyak di daerah
pemilihan (dapil) masing-masing.
Untuk calon DPRD Kabupeten/Kota dapil
meliputi tiga hingga 12 kecamatan. Begitu pula caleg DPR dan DPRD
Provinsi, ruang lingkupnya dua hingga lima kabupaten/kota. Luasnya
wilayah garapan, mau tak mau mengorbankan biaya besar.
Jadi, bisa dibayangkan betapa banyaknya
dana yang dikeluarkan seorang caleg untuk sosialisasi dan alat peraga
berdialog di depan sejumlah massa. Apalagi saat ini penggunaan alat
peraga baliho dan spanduk bukan lagi jurus ampuh mendulang suara.
Selain itu, akhir-akhir ini berkembang
tren sosial, rakyat ingin langsung bertatap muka dengan calon yang
akan diusungnya. Rakyat tidak mau “beli kucing dalam karung”
lewat sihir alat peraga. Akibatnya sekarang terpaksa caleg blusukan
menemui konstituennya.
Bisa dibayangkan betapa
menggelembungnya dana yang dikeluarkan seorang caleg untuk
sosialisasi. Bagi caleg memiliki dana pas-pasan tentu agak kerepotan.
Tetapi bagi caleg petahana mungkin bisa diakali.
Salah satu kekhawatiran adalah
penggunaan politik gentong babi. Dalam prasangka, ketika trimester
terakhir anggaran pemerintah, sering dimunculkan proyek-proyek “aneh”
berbasis bantuan sosial. Bahkan, dari proyek itu pula timbul komisi
uang segar (fresh money) menujurus tindakan koruptif yang selanjutnya
digunakan biaya sosialisai.
Mengusung proyek pembangunan di mata
masyarakat merupakan nilai tambah. Namun, tindakan jargon memperdaya
rakyat dengan proyek dadakan tanpa konsep jelas cenderung pemborosan
anggaran pemerintah. Itu sebabnya perilaku politik gentong
babi mesti diwaspadai. Alih-alih penggelontoran anggaran hanya
sekadar politik pencitraan (imagology politics), ujungnya rakyat juga
yang kena tipu.
Sumber : SINAR HARAPAN, Sabtu 28 September 2013
Senin, 16 September 2013
Inflasi dan Malnutrisi
Salah satu hal yang luput dari
perhatian pemerintah di tengah resesi ekonomi saat ini adalah sektor
kesehatan, khusunya soal gizi rakyat. Hal ini penting diungkap karena
menyangkut tanggung jawab kita terhadap nasib generasi masa depan.
Jika banyak ibu hamil (bumil) dan balita kita kurang asupan gizi
(malnutrisi), bisa dibayangkan akan melahirkan generasi kurang cerdas
alias bodoh.
Kalau mau belajar dari krisis ekonomi
1997-1998, mungkin penting untuk dilakukan di masa kini. Menjelang
gejolak reformasi itu, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika begitu hebatnya menghantam rakyat Indonesia. Perekonomian
Indonesia limbung. Orang kaya mendadak miskin dan orang miskin jauh
lebih melarat lagi.
Pada waktu itu,
tepatnya 17 Juni 1998, rupiah menukik hingga Rp 17.000.
Akibatnya, angka kemiskinan yang semula 10,1 persen beringsut menjadi
14,1 persen. Ini data versi Bank Dunia yang dilansir Indonesia
in Crisis, A Macroeconomic Update, 1998.
Meski keuangan negara
kolaps, tetapi pemerintah sigap melakukan mitigasi bencana ekonomi.
Maka diluncurkan suatu program yang disebut Jaring Pengaman Sosial
(JPS) atau social networking bidang kesehatan.
Program ini ditujukan kepada masyarakat miskin, khususnya bantuan
gizi rakyat.
Kemudian dikerjakan juga kebijakan
keterjangkauan dan kesediaan pangan, menjaga daya beli rakyat miskin,
serta mengupayakan tindakan kesejahteraan ibu dan anak. Semuanya
dilakukan serentak dan berkesinambungan.
Peristiwa malaise
ekonomi tersebut mengingatkan kembali ketika saya menjadi dokter muda
memimpin puskesmas di daerah pertanian Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Akibat dolar menguat, banyak petani menganggur. Harga bibit dan pupuk
mahal karena keduanya bersumber dari impor.
Akibat tidak punya duit, sebagian ibu
rumah tangga mengganti isi botol susu anak balitanya dengan air tajin
(cucian beras). Mereka tak sanggup membeli susu bubuk. Celakanya,
setiap hari puskesmas dikunjungi satu-dua pasien balita diare.
Bayi-bayi menceret karena reaksi minum susu campur air tajin.
Beruntung kejadian tersebut hanya
berlangsung beberapa bulan. Tak lama Menkes datang dengan program JPS
kesehatan. Akhirnya, para bumil dan balita tertolong, disuplai
gizinya lewat bantuan susu dan makanan bergizi secara gratis.
Meski bantuan tidak
bisa meng-cover seluruh keluarga miskin,
setidaknya masyarakat bersama petugas kesehatan bergotong-royong
membuat formula makanan bergizi lainnya, seperti formula modesco yang
pernah dilakukan di Uganda. Tetapi sayangnya sekarang pemerintah
tampak adem-ayem, belum merespons penurunan daya beli menyangkut gizi
buruk.
Bumil dan balita
Sekarang dipastikan
angka kemiskinan ikut merosot. Sudah hampir sebulan nilai tukar
rupiah masih bertengger lebih dari Rp 11.000 per dolar Amerika.
Dampaknya, imported content (barang-barang
impor) melonjak mahal, termasuk kebutuhan pokok pangan, seperti
kedelai, beras, bawang, cabai, beras, bahkan garam. Artinya, inflasi
ekonomi diam-diam mulai mengganggu asap dapur keluarga.
Korban utama inflasi ekonomi tentu saja
rakyat miskin. Sehari-hari mereka susah menghidupi dirinya, terutama
keluarga miskin yang di dalamnya terdapat bumil dan balita. Mereka
agak kerepotan memenuhi asupan gizi.
Sesungguhnya bumil dan balita memang
rentan gangguan penyakit. Tidak ada toleransi bagi bumil dan balita
terkena kekurangan energi protein (KEP). Bila terjadi KEP, akan
berdampak pada gangguan fisik, mental, dan daya tangkap (kecerdasan)
anak. Ini bersifat permanen. Bisa terbawa hingga dewasa.
Fenomena loss
generation seolah menjadi ancaman. Derajat kecacatan dan daya tangkap
otak “tulalit”, menetaskan kekhawatiran tatkala kemiskinan
berbanding lurus dengan merosotnya daya beli. Badan PBB Unicef (2013)
melansir, masalah inflasi dan kekurangan gizi mengancam 7,8 juta anak
kekurangan gizi di Indonesia.
Sehingga ada baiknya kita
mempertimbangkan kembali terhadap solusi JPS kesehatan. Apalagi 90
persen bahan baku obatan-obatan Indonesia berasal impor. Sementara
nilai tukar rupiah merosot berimbas harga obat dan alat kesehatan
terjungkit sangat mahal.
JPS kesehatan bermakna untuk merawat
dan menjaga bumil dan balita, konsentrasi utama memberi bantuan
nutrisi mencegah KEP. Tentunya dilengkapi dengan memperbesar subsidi
obat-obatan untuk puskesmas.
Sampai saat ini, kita
belum bisa memastikan kapan nilai kurs rupiah stabil. Di tengah
situasi yang tidak pasti ini (intangible), tolok ukur derajat
kesehatan seperti Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) perlu diwaspadai. Dapat dimaklumi, AKI dan AKB di
Indonesia tergolong peringkat terburuk se-Asia.
Jika inflasi memanjang,
jangan sampai derajat kesehatan kita terjun bebas sepuluh besar
terjelek di dunia. Karena ada asumsi, derajat kesehatan suatu negara
buruk menggambarkan kemiskinan negara itu buruk juga.
Jika itu
terjadi, mungkin benar kata nobelis Gunnar Myrdal “People are sick
because they are poor. They become poorer because they are sick. And
they become sicker because they are poorer.” (Orang sakit karena
mereka miskin. Mereka miskin karena mereka sakit. Dan mereka menjadi
sakit karena mereka miskin).
Sumber, SINAR HARAPAN, Senin 16 September 2013
Jumat, 06 September 2013
Janji Walkot Bandung Terpilih
JIKA tidak ada aral melintang, dapat dipastikan tanggal 16
September mendatang pasangan Ridwan Kamil-Oded Danial akan dilantik
menjadi Walikota dan Wakil Walikota Bandung.
Terlepas dari timbulnya gugatan hukum dalam proses pilwalkot, ada beberapa catatan tersisa dari kampanye pasangan Ridwan Kami-Oded Danial untuk dijadikan ingatan bersama. Mengingat janji kampanye politik merupakan kontrak sosial, maka perlu diimplementasikan bagi Ridwan Kamil -Ode Danial tatkala memimpin warga Bandung dari gedung Balaikota.
Janji politik kampanye merupakan ikatan moral. Banyak orang menyebutnya kontrak politik. Sayangnya, janji politik itu tidak termasuk hukum perdata. Sebagai contoh, aktivis Boy Hargens beserta 71 orang lainnya beberapa tahun silam pernah menagih janji presiden SBY dan wakil presiden Jusuf Kalla pada kampanye pilpres 2004 dalam gugatan citizen lawsuit di PN Jakarta Pusat. Ternyata hakim memutuskan, janji kampanye bukan lah wanprestasi, tidak bisa menjadi sengketa hukum. Akhirnya gugatan tersebut gugur.
Sebagaimana janji politik sebagai ikatan moral, maka pendekatannya juga harus secara politik. Setidaknya masyarakat Bandung menjadi saksi bagaimana kandidat pilwalkot telah menawarkan janji kampanye. Masalahnya, atas dasar tawaran program itulah alasan faktor dominan daya tarik orang memilih.
Walau pun pelantikan resmi beberapa hari mendatang , semoga sejak dini pasangan Ridwan Kami-Oded Danial mulai menyusun detail program yang ditawarkan. Sekurangnya ada beberapa janji yang pernah dilontarkan sewaktu kampanye, seperti Kartu Juara "I Love Bandung", pengurangan kemiskinan, penyiapan kerja, transportasi lancar (monorail) dan bebas macet serta bebas banjir.
Kartu Juara
Sungguh menarik, Kartu Juara dimaksudkan untuk menolong masyarakat tak mampu berisi asuransi kesehatan, santunan untuk yang meninggal, ambulans gratis serta puskesmas yang buka praktiknya hingga malam hari. Telah didistribusikan sekitar 60 ribu kartu ke seluruh warga. Sekilas sungguh menyejukkan hati, karena cakupannya peruntukan masyarakat miskin.
Potret kemiskinan Bandung memang terpampang di depan mata. Para pengemis, tunawisma dan rumah-rumah kardus layaknya kurung japati menjadi pemandangan kurang menyedapkan. Begitu pula bila kita kukurusukan keluar masuk gang, akan jelas wajah asli kemiskinan kota seutuhnya. Di beberapa rumah tak jarang penduduk menjemur nasi sebagai makanan daur ulang.
Gambaran kesedihan itu akan terobati bila Kartu Juara sebagai penolong kaum dhuafa. Dari 2,4 juta penduduk Bandung, saat ini terdapat lebih 20 persen tergolong rentan miskin. Kemiskinan dan kesehatan layaknya analogi telur dan ayam, mana dulu yang mau dibereskan. Seperti ucapan nobelis Gunnar Myrdal: "people are sick because they are poor. They become poorer because they are sick. And they become sicker because they are poorer".
Bandung kini menunjukkan wajah bermuka dua. Di satu sisi terkenal dengan kota jasa, kosmopolitan, modern, dan hampir mirip dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Tapi di sisi lain, ditemukan "tipuan" wajah kusam di balik layar gemerlap. Pada beberapa tempat tersebar kantong-kantong kemiskinan menutupi keindahannya.
Menurut Hans Dieter Evers (1982), di sisi lain kehidupan kota yang menunjukkan kemajuan, terdapat keterbelakangan yang mencerminkan potret ketidakberdayaan, kemiskinan yang terkonsentrasi pada pemukiman kumuh (slum area).
Hadir asumsi kemiskinan, kesehatan dan pengangguran menjadi lingkaran setan yang harus dientaskan. Kemiskinan dapat diputus melalui kemudahan memperoleh hak pendidikan. Dengan baiknya pendidikan akan mengurangi pengangguran.
Dalam janji kampanye Ridwan Kamil-Oded Danial, disebutkan janji penyerapan 250.000 angkatan kerja dan 100.000 wiraswastawan. Imbasnya akan terjadi penurunan angka kemiskinan di kota Bandung. Para ekonom telah menghitung, penyerapan 300.000 tenaga kerja identik dengan peningkatan 1 persen laju ekonomi nasional. Saat ini laju ekonomi negara kita sekitar 6 persen. Apabila Ridwan Kamil-Oded Danial nantinya sanggup mengaplikasikan programnya, dengan kata lain kota Bandung menjadi konstributor terbesar bagi peningkatan laju ekonomi Indonesia.
Macet dan banjir
Sebagai arsitektur bertaraf internasional, Ridwan Kamil tentu mempunyai impian Bandung sebagai kota modern menyaingi kota-kota besar lainnya di Indonesia. Dalam diskusi terbatas di Bandung, Januari 2013 yang lalu, Philips Vermonte dkk. dari CSIS Jakarta membuka penelitiannya, bahwa salah satu skala prioritas yang harus dibenahi di di Bandung, adalah infrastruktur.
Infrastruktur kota Bandung saat ini memang amburadul. Munculnya perwakilan masyarakat melakukan gugatan class-action akibat jalan rusak yang menelan korban nyawa, menunjukkan pelayanan publik rapuh. Pada sisi lain, kerap terjadi banjir cileuncang, kemacetan, menimbulkan rasa malu tatkala setiap akhir pekan 200.000 kenderaan wisatawan mengunjungi Bandung. Solusi untuk membebaskan banjir cileuncang dan mengurai kemacetan merupakan harapan bersama. Apalagi tawaran ide spektakuler rencana pembangunan monorail. Tentunya kerja besar ini sangat dinanti warga Bandung. Semoga Ridwan Kamil-Oded Danial menepati janjinya, seperti "Orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya." (QS. Almukminun: 8).
Sumber: GALAMEDIA, 6 September 2013
Terlepas dari timbulnya gugatan hukum dalam proses pilwalkot, ada beberapa catatan tersisa dari kampanye pasangan Ridwan Kami-Oded Danial untuk dijadikan ingatan bersama. Mengingat janji kampanye politik merupakan kontrak sosial, maka perlu diimplementasikan bagi Ridwan Kamil -Ode Danial tatkala memimpin warga Bandung dari gedung Balaikota.
Janji politik kampanye merupakan ikatan moral. Banyak orang menyebutnya kontrak politik. Sayangnya, janji politik itu tidak termasuk hukum perdata. Sebagai contoh, aktivis Boy Hargens beserta 71 orang lainnya beberapa tahun silam pernah menagih janji presiden SBY dan wakil presiden Jusuf Kalla pada kampanye pilpres 2004 dalam gugatan citizen lawsuit di PN Jakarta Pusat. Ternyata hakim memutuskan, janji kampanye bukan lah wanprestasi, tidak bisa menjadi sengketa hukum. Akhirnya gugatan tersebut gugur.
Sebagaimana janji politik sebagai ikatan moral, maka pendekatannya juga harus secara politik. Setidaknya masyarakat Bandung menjadi saksi bagaimana kandidat pilwalkot telah menawarkan janji kampanye. Masalahnya, atas dasar tawaran program itulah alasan faktor dominan daya tarik orang memilih.
Walau pun pelantikan resmi beberapa hari mendatang , semoga sejak dini pasangan Ridwan Kami-Oded Danial mulai menyusun detail program yang ditawarkan. Sekurangnya ada beberapa janji yang pernah dilontarkan sewaktu kampanye, seperti Kartu Juara "I Love Bandung", pengurangan kemiskinan, penyiapan kerja, transportasi lancar (monorail) dan bebas macet serta bebas banjir.
Kartu Juara
Sungguh menarik, Kartu Juara dimaksudkan untuk menolong masyarakat tak mampu berisi asuransi kesehatan, santunan untuk yang meninggal, ambulans gratis serta puskesmas yang buka praktiknya hingga malam hari. Telah didistribusikan sekitar 60 ribu kartu ke seluruh warga. Sekilas sungguh menyejukkan hati, karena cakupannya peruntukan masyarakat miskin.
Potret kemiskinan Bandung memang terpampang di depan mata. Para pengemis, tunawisma dan rumah-rumah kardus layaknya kurung japati menjadi pemandangan kurang menyedapkan. Begitu pula bila kita kukurusukan keluar masuk gang, akan jelas wajah asli kemiskinan kota seutuhnya. Di beberapa rumah tak jarang penduduk menjemur nasi sebagai makanan daur ulang.
Gambaran kesedihan itu akan terobati bila Kartu Juara sebagai penolong kaum dhuafa. Dari 2,4 juta penduduk Bandung, saat ini terdapat lebih 20 persen tergolong rentan miskin. Kemiskinan dan kesehatan layaknya analogi telur dan ayam, mana dulu yang mau dibereskan. Seperti ucapan nobelis Gunnar Myrdal: "people are sick because they are poor. They become poorer because they are sick. And they become sicker because they are poorer".
Bandung kini menunjukkan wajah bermuka dua. Di satu sisi terkenal dengan kota jasa, kosmopolitan, modern, dan hampir mirip dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Tapi di sisi lain, ditemukan "tipuan" wajah kusam di balik layar gemerlap. Pada beberapa tempat tersebar kantong-kantong kemiskinan menutupi keindahannya.
Menurut Hans Dieter Evers (1982), di sisi lain kehidupan kota yang menunjukkan kemajuan, terdapat keterbelakangan yang mencerminkan potret ketidakberdayaan, kemiskinan yang terkonsentrasi pada pemukiman kumuh (slum area).
Hadir asumsi kemiskinan, kesehatan dan pengangguran menjadi lingkaran setan yang harus dientaskan. Kemiskinan dapat diputus melalui kemudahan memperoleh hak pendidikan. Dengan baiknya pendidikan akan mengurangi pengangguran.
Dalam janji kampanye Ridwan Kamil-Oded Danial, disebutkan janji penyerapan 250.000 angkatan kerja dan 100.000 wiraswastawan. Imbasnya akan terjadi penurunan angka kemiskinan di kota Bandung. Para ekonom telah menghitung, penyerapan 300.000 tenaga kerja identik dengan peningkatan 1 persen laju ekonomi nasional. Saat ini laju ekonomi negara kita sekitar 6 persen. Apabila Ridwan Kamil-Oded Danial nantinya sanggup mengaplikasikan programnya, dengan kata lain kota Bandung menjadi konstributor terbesar bagi peningkatan laju ekonomi Indonesia.
Macet dan banjir
Sebagai arsitektur bertaraf internasional, Ridwan Kamil tentu mempunyai impian Bandung sebagai kota modern menyaingi kota-kota besar lainnya di Indonesia. Dalam diskusi terbatas di Bandung, Januari 2013 yang lalu, Philips Vermonte dkk. dari CSIS Jakarta membuka penelitiannya, bahwa salah satu skala prioritas yang harus dibenahi di di Bandung, adalah infrastruktur.
Infrastruktur kota Bandung saat ini memang amburadul. Munculnya perwakilan masyarakat melakukan gugatan class-action akibat jalan rusak yang menelan korban nyawa, menunjukkan pelayanan publik rapuh. Pada sisi lain, kerap terjadi banjir cileuncang, kemacetan, menimbulkan rasa malu tatkala setiap akhir pekan 200.000 kenderaan wisatawan mengunjungi Bandung. Solusi untuk membebaskan banjir cileuncang dan mengurai kemacetan merupakan harapan bersama. Apalagi tawaran ide spektakuler rencana pembangunan monorail. Tentunya kerja besar ini sangat dinanti warga Bandung. Semoga Ridwan Kamil-Oded Danial menepati janjinya, seperti "Orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya." (QS. Almukminun: 8).
Sumber: GALAMEDIA, 6 September 2013
Langganan:
Postingan (Atom)