KEMERIAHAN menyambut HUT RI Ke-68 sekarang ini,
barangkali tidak sehebat tahun-tahun sebelumnya. Layaknya persiapan seremonial,
ia berjalan datar. Tanpa aura heroik
kebangsaan. Redup memang. Mungkin
terimbas bulan Syawal, orang sibuk berbenah pasca mudik.
Tidak
seperti beberapa tahun sebelumnya, para anak muda remaja sibuk membentuk
panitia. Mereka mengasongkan kencleng di jalan raya. Sebagian menawarkan
minuman. Melaksanakan bazar. Atau kegiatan apa saja, guna mencari dana. Nantinya
tabungan dikumpulkan, untuk digunakan dalam acara perayaan HUT RI.
Intinya
bukan dana semata yang dicari. Atau bermacam jenis acara ditawarkan. Teteapi di
dalam kepanitiaan, ada suasana keguyuban, saling kerja sama, gotong royong,
bahu membahu, yang kesemuanya menjadi ruh kebersamaan. Itulah inti dari
peringatan HUT RI yang kini mulai terkikis.
Ruh
kebersamaan merupakan media persatuan. Kondisi tersebut mirip dengan para
pejuang kita terdahulu. Mereka bersatu padu demi mengusir penjajah dari Tanah
Air. Jiwa-raga dikorbankan, demi Indonesia merdeka.
Dalam
kaitan itu, Bung Karno pernah mengisyaratkan sebuah pengorbanan dalam pidato
pleidoi “Indonesia Menggugat”, di depan Pengadilan Kolonial, tahun 1930 di Bandung. “Memang tanah air
Indonesia, bangsa Indonesia, Ibu Indonesia, adalah mengharap dari semua
putra-putra dan putri-putrinya pengabdian yang demikian itu, penyerahan jiwa-raga yang tiada batas,
pengorbanan diri walau yang sepahit-pahitnya pun kalau perlu, dengan hati yang
suci dan hati yang ikhlas.”
Makna besar di balik semua itu adalah semangat pengorbanan.
Walau pun dalam kondisi sehari-hari kita tersadarkan, apakah selama ini Indonesia sudah benar-benar
merdeka?
Banyak alasan disebutkan tatkala kemerdekaan itu belum
kita rasakan seutuhnya. di antaranya adalah soal kemiskinan, pengangguran, pendidikan,
kesehatan, pengangguran, endidikan dan lain sebagainya.
Menurut data BPS (2012), jumlah penduduk miskin
Indonesia mencapai 59 juta orang (11,66 persen). Sementara jumlah pengangguran 7,17 juta orang
(Feb 2013). Derajat kesehatan kita masih
tergolong terburuk di Asia, yang ditunjukkan masih tingginya Angka Kematian
Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI). Bagaimana dengan tingkat
pendidikan? Tentunya cukup mengkhawatirkan, karena masih banyak pelajar kita
yang putus sekolah atau gagal melanjutkan studi karena mahalnya biaya
pendidikan.
Tampaknya fatamorgana kemerdekaan itu membentuk jarak
pandang berkabut tebal. Pada janji politik ditawarkan kesejahteraan. Tapi dalam
kenyataan, hasilnya terbalik. Penarikan subsidi BBM, kenaikan harga sembako, dan daya beli yang
merosot. Seolah hidup penuh ketidak-pastian.
Sayangnya, kita bagaikan kehilangan pemimpin yang mau
mengorbankan dirinya untuk kesejahteraan rakyat. Para berwenang di negeri ini,
selalu bersembunyi di balik kepentingan politik mengejar kekuasaan. Akibatnya
kohesi sosial tergerus karena rakyat kehilangan kepercayaan..
“Hari depan
Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga. Hari depan Indonesia
adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian. Kembalikan Indonesia padaku…” kata penyair Taufiq
Ismail.
Maka, di tengah cita-cita luhur kemerdekaan, kita
dipaksa optimis menuju Indonesia lebih baik. Di rumah
besar Indonesia kita berseru “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk
Indonesia Raya..” Merdeka !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar