Selasa, 27 Agustus 2013

Fatamorgana Merdeka

 
                       KEMERIAHAN menyambut HUT RI Ke-68 sekarang ini, barangkali tidak sehebat tahun-tahun sebelumnya. Layaknya persiapan seremonial, ia berjalan datar. Tanpa  aura heroik kebangsaan.  Redup memang. Mungkin terimbas bulan Syawal, orang sibuk berbenah pasca mudik.
            Tidak seperti beberapa tahun sebelumnya, para anak muda remaja sibuk membentuk panitia. Mereka mengasongkan kencleng di jalan raya. Sebagian menawarkan minuman. Melaksanakan bazar. Atau kegiatan apa saja, guna mencari dana. Nantinya tabungan dikumpulkan, untuk digunakan dalam acara perayaan HUT RI.
            Intinya bukan dana semata yang dicari. Atau bermacam jenis acara ditawarkan. Teteapi di dalam kepanitiaan, ada suasana keguyuban, saling kerja sama, gotong royong, bahu membahu, yang kesemuanya menjadi ruh kebersamaan. Itulah inti dari peringatan HUT RI yang kini mulai terkikis.
            Ruh kebersamaan merupakan media persatuan. Kondisi tersebut mirip dengan para pejuang kita terdahulu. Mereka bersatu padu demi mengusir penjajah dari Tanah Air. Jiwa-raga dikorbankan, demi Indonesia merdeka.
            Dalam kaitan itu, Bung Karno pernah mengisyaratkan sebuah pengorbanan dalam pidato pleidoi “Indonesia Menggugat”, di depan Pengadilan Kolonial,  tahun 1930 di Bandung. “Memang tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, Ibu Indonesia, adalah mengharap dari semua putra-putra dan putri-putrinya pengabdian yang demikian itu,  penyerahan jiwa-raga yang tiada batas, pengorbanan diri walau yang sepahit-pahitnya pun kalau perlu, dengan hati yang suci dan hati yang ikhlas.”
Makna besar di balik semua itu adalah semangat pengorbanan. Walau pun dalam kondisi sehari-hari kita tersadarkan, apakah  selama ini Indonesia sudah benar-benar merdeka?
Banyak alasan disebutkan tatkala kemerdekaan itu belum kita rasakan seutuhnya. di antaranya adalah soal kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, pengangguran, endidikan dan lain sebagainya.
Menurut data BPS (2012), jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 59 juta orang (11,66 persen).  Sementara jumlah pengangguran 7,17 juta orang (Feb 2013).  Derajat kesehatan kita masih tergolong terburuk di Asia, yang ditunjukkan masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu Melahirkan (AKI). Bagaimana dengan tingkat pendidikan? Tentunya cukup mengkhawatirkan, karena masih banyak pelajar kita yang putus sekolah atau gagal melanjutkan studi karena mahalnya biaya pendidikan.
Tampaknya fatamorgana kemerdekaan itu membentuk jarak pandang berkabut tebal. Pada janji politik ditawarkan kesejahteraan. Tapi dalam kenyataan, hasilnya terbalik. Penarikan subsidi BBM,  kenaikan harga sembako, dan daya beli yang merosot. Seolah hidup penuh ketidak-pastian.
Sayangnya, kita bagaikan kehilangan pemimpin yang mau mengorbankan dirinya untuk kesejahteraan rakyat. Para berwenang di negeri ini, selalu bersembunyi di balik kepentingan politik mengejar kekuasaan. Akibatnya kohesi sosial tergerus karena rakyat kehilangan kepercayaan..
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga. Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian. Kembalikan Indonesia padaku…” kata penyair Taufiq Ismail.
Maka, di tengah cita-cita luhur kemerdekaan, kita dipaksa optimis menuju Indonesia lebih baik. Di rumah besar Indonesia kita berseru “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya..”   Merdeka !
Sumber; TRIBUN JABAR, 15 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar