INDONESIA modern
adalah sikap bersama kita untuk bangkit, sebagaimana Dr. Wahidin dan Dr.Sutomo
yang menciptakan Budi Utomo pada 20 Mei 1908 sebagai kelas baru di Jawa untuk
perjuangan sosial, ekonomi dan pendidikan. “Itulah kelak cikap bakal, fondasi
dasar bangkitnya untuk mencapai Indonesia merdeka !” kata pria pendek Adam
Malik sambil sedikit mengangkat tubuhnya dari kursi.
Kita
perlu melakukan transpormasi budaya. Tapi merubah atau melakukan transformasi
budaya adalah sesuatu yang tidak mudah dan dalam waktu singkat. Itu akan
memerlukan pemikiran yang luas dan mendalam untuk segala kehidupan, tata nilai,
gaya hidup, pendidikan, adanya kemauan politik, tokoh-tokoh yang memberi
teladan yang benar pada masyarakat. “Indonesia ini memiliki ciri manusia
hipokrit, enggan bertanggungjawab, feudal, irasional dan punya watak yang lemah
!” ujar pria jangkung Mochtar Lubis.
“Ketika
saya berada di kapal terbang, melintasi Belanda, hanya lima belas menit. Saya
jadi bertanya dalam hati, negeri kecil seperti inikah yang pernah menguasai
Indonesia?” Bukan dijajah kita menjadi bodoh, tapi karena bodohlah kita dijajah
! “Semua itu tergantung kualitas kita, kualitas untuk bangkit membangun renaisansche Indonesia masa depan !”
teriak Sutan Takdir Alisyahbana, pria murah senyum itu.
Ketiga
tokoh nasional itu mengungkapkan pemikirannya pada waktu dan kesempatan yang
terpisah dalam diskusi kebudayan berkala di aula kantor redaksi surat kabar
terbesar di jalan asia afrika Bandung, sekitar 30 tahun yang lalu. Ketiga tokoh
nasional itu sekarang telah almarhum. Catatan pemikiran mereka masih saya
simpan, meski goresan tinta dan buku telah usang, tapi gaung pemikiran mereka
tak lekang oleh waktu
Dalam
konteks kekinian, di tengah narasi globalisasi dan krisis multi dimensi, ide
futuristik seperti yang dikemukaan di
atas, cukup baik dicermati secara mendalam. Sebab, Indonesia modern adalah kehidupan yang sedang
kita jalani saat ini dimana perkembangan teknologi informasi begitu pesat, berkat
tranportasi udara jarak antar kota di kulit bumi menjadi pendek. Dengan tekan
tombol, beberapa saat petugas delivery
sudah bisa menghadirkan makanan. Untuk pergi sekolah ke negeri Barat, orang tak
perlu lagi kenduri bertangis-tangisan karena rindu. Orang sudah bisa menyerap
pemikiran Toffler, Francis Fukuyama, Giddens, Bennedict Anderson dan orang-orang
pintar lainnya di seluruh dunia dari sebuah desa kecil di tanah air.
Ada
apa dengan Indonesia saat ini? Malaysia,
Korea, Vietnam yang boleh dibilang masih terseok-seok ketika 1970-an, pada masa
itu kita termasuk peringkat atas di
Asean, Sekarang mereka telah mendahului kita, bangkit menjadi macan baru di
Asia Tenggara.
Indonesia
modern masih manusia penikmat, bukan tergolong kelas produsen. Biji besi yang
kita ekspor, dikembalikan dalam bentuk kenderaan mewah. Hasil tanaman yang kita
kirim, kembali bentuk obat paten. Maha karya
kekayaan alam tropis yang kita miliki, dinikmati negara lain, tapi sukar
dinikmati bangsa sendiri.
Reformasi
1998, seperti sia-sia. Atas nama demokrasi mahasiswa beserta rakyat
menginginkan perubahan. Ditengah sulitnya ekonomi, mahalnya harga sembako,
orang berteriak menginginkan lepas dari autoritarianisme ala Soeharto. Waktu itu, di lapangan gasibu Bandung menyemut
massa, silih berganti tokoh-tokoh berteriak reformasi di panggung orasi di depan gedung DPRD Jawa Barat. Mahasiswa sebagai perubah (agent of social change) menjadi martir
reformasi. Beberapa kota yang memiliki kampus, seperti Tasikmalaya, Cirebon,
Cianjur, Bogor, Garut serta kota lainnya bergerak. Sebagian menuju Istana Negara dan menguasai gedung DPR/MPR
RI. Akhirnya rejim Orde Baru tumbang,
dan Presiden Suharto meletakkan jabatan.
Dua-tiga
tahun setelah reformasi, dengan tercenung saya mendengar beberapa ungkapan
masyarakat awam, kira-kira seperti ini: Enaknya seperti dulu, harga-harga
murah, reformasi hanya membuat rakyat makin susah dan dimana-mana terjadi
korupsi, ada wakil rakyat dan aparat penegak hukum maling uang negara. Mohon
hentikan saja reformasi.
Begitu
sederhana kah pengertian reformasi? Bagi orang awam, reformasi adalah sebuah
era dimana hidup rakyat sejahtera, mudah memperoleh sandang pangan, pendidikan
dan kesehatan dijamin negara, rukun antar agama dan tidak ada kekerasan di
mana-mana.
Tapi
bagi pengamat, pengrajin debat diskusi serta politisi, makna reformasi
seakan-akan telah mengalami degradasi, berubah wujud menjadi deformasi. Tujuan
kebangkitan reformasi yang semula bebas dari KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) hanyalah
omong kosong dan telah dikangkangi
kesewenang-wenangan atas nama demokrasi.
Ternyata,
kolusi sulit dihilangkan. Persekongkolan masih mewabah, ada di kantor-kantor
birokrasi dan parlemen. Korupsi menjadi air bah tak tertahan, mengeruk duit
APBN dan APBD lewat proyek. Aparat hukum, wakil rakyat dan birokrat ikut
menggerogoti duit rakyat. Pemimpin yang seharusnya menjadi tauladan, kini
memainkan politik monarkhi: suami-istri-anak-mertua dan sanak saudara menjadi
warisan temurun dalam pilkada dan pemilu legislatif.
Para
petinggi mulai belajar lupa.. Orang-orang lebih mementingkan haus jabatan dan
materi untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Perbincangan membangun negeri
masuk ke ruang hampa.
Akhir-akhir
ini, kita sulit memilah, mana artis, mana kaum kritisi intelektual dan mana
penganjur kebenaran rohani. Semuanya terjebak dalam satu bingkai infotainment yang tak dikenal fungsinya,
tapi hanya dikenal popularitasnya.
Indonesia modern
Uraian di atas menunjukkan kita
tersudut pada titik nadir sikap pesimis. Wajar, bila melihat kekecewaan demi
kekecewaaan terjadi dalam dua dasawarsa tidak
menunjukkan perubahan lebih baik. Tetapi,
tidur panjang harus tersadarkan dengan pola pikir dan rasa optimis membangun Indonesia
modern masa depan. Spirit Kebangkitan Nasional era Budi Utomo menjadi refleksi
dapat dijadikan ruh semangat melawan individualisme
dan neo liberalisme sebagaimana Dr Sutomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan
kawan-kawan menularkan anti kolonialisme.
Untuk mencapai kebangkitan Indonesia
modern masa depan, perlu prasyarat jati diri bangsa. Bung Karno pernah
mengisyaratkan Trilogi: berdaulat di bidang bidang politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian
di bidang budaya.
Setelah 105 tahun kita memperingati
Hari Kebangkitan Nasional, penuh seremonial, sekarang saatnya jati diri bangsa
dibangun dari remah-remah pemikiran masa
lalu untuk masa depan dengan simbolik: “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,
untuk Indonesia Raya”. Sumber: GALAMEDIA, 24 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar