Selasa, 27 Agustus 2013

Kebangkitan Indonesia Modern

         INDONESIA  modern adalah sikap bersama kita untuk bangkit, sebagaimana Dr. Wahidin dan Dr.Sutomo yang menciptakan Budi Utomo pada 20 Mei 1908 sebagai kelas baru di Jawa untuk perjuangan sosial, ekonomi dan pendidikan. “Itulah kelak cikap bakal, fondasi dasar bangkitnya untuk mencapai Indonesia merdeka !” kata pria pendek Adam Malik sambil sedikit mengangkat tubuhnya dari kursi.
Kita perlu melakukan transpormasi budaya. Tapi merubah atau melakukan transformasi budaya adalah sesuatu yang tidak mudah dan dalam waktu singkat. Itu akan memerlukan pemikiran yang luas dan mendalam untuk segala kehidupan, tata nilai, gaya hidup, pendidikan, adanya kemauan politik, tokoh-tokoh yang memberi teladan yang benar pada masyarakat. “Indonesia ini memiliki ciri manusia hipokrit, enggan bertanggungjawab, feudal, irasional dan punya watak yang lemah !”  ujar pria jangkung Mochtar Lubis.
“Ketika saya berada di kapal terbang, melintasi Belanda, hanya lima belas menit. Saya jadi bertanya dalam hati, negeri kecil seperti inikah yang pernah menguasai Indonesia?” Bukan dijajah kita menjadi bodoh, tapi karena bodohlah kita dijajah ! “Semua itu tergantung kualitas kita, kualitas untuk bangkit membangun renaisansche Indonesia masa depan !” teriak Sutan Takdir Alisyahbana, pria murah senyum itu.
Ketiga tokoh nasional itu mengungkapkan pemikirannya pada waktu dan kesempatan yang terpisah dalam diskusi kebudayan berkala di aula kantor redaksi surat kabar terbesar di jalan asia afrika Bandung, sekitar 30 tahun yang lalu. Ketiga tokoh nasional itu sekarang  telah  almarhum. Catatan pemikiran mereka masih saya simpan, meski goresan tinta dan buku telah usang, tapi gaung pemikiran mereka tak  lekang oleh waktu
Dalam konteks kekinian, di tengah narasi globalisasi dan krisis multi dimensi, ide futuristik seperti yang dikemukaan  di atas, cukup baik dicermati secara mendalam. Sebab, Indonesia modern adalah kehidupan yang sedang kita jalani saat ini dimana perkembangan  teknologi informasi begitu pesat, berkat tranportasi udara jarak antar kota di kulit bumi menjadi pendek. Dengan tekan tombol, beberapa saat petugas delivery sudah bisa menghadirkan makanan. Untuk pergi sekolah ke negeri Barat, orang tak perlu lagi kenduri bertangis-tangisan karena rindu. Orang sudah bisa menyerap pemikiran Toffler, Francis Fukuyama, Giddens, Bennedict Anderson dan orang-orang pintar lainnya di seluruh dunia dari sebuah desa kecil di tanah air.
Ada apa dengan Indonesia saat ini?  Malaysia, Korea, Vietnam yang boleh dibilang masih terseok-seok ketika 1970-an, pada masa itu  kita termasuk peringkat atas di Asean, Sekarang mereka telah mendahului kita, bangkit menjadi macan baru di Asia Tenggara.
Indonesia modern masih manusia penikmat, bukan tergolong kelas produsen. Biji besi yang kita ekspor, dikembalikan dalam bentuk kenderaan mewah. Hasil tanaman yang kita kirim, kembali bentuk obat paten. Maha karya  kekayaan alam tropis yang kita miliki, dinikmati negara lain, tapi sukar dinikmati bangsa sendiri.
Reformasi 1998, seperti sia-sia. Atas nama demokrasi mahasiswa beserta rakyat menginginkan perubahan. Ditengah sulitnya ekonomi, mahalnya harga sembako, orang berteriak menginginkan lepas dari autoritarianisme ala Soeharto.  Waktu itu, di lapangan gasibu Bandung menyemut massa, silih berganti tokoh-tokoh berteriak reformasi di panggung orasi  di depan gedung DPRD Jawa Barat.  Mahasiswa sebagai perubah (agent of social change) menjadi martir reformasi. Beberapa kota yang memiliki kampus, seperti Tasikmalaya, Cirebon, Cianjur, Bogor, Garut serta kota lainnya bergerak. Sebagian  menuju Istana Negara dan menguasai gedung DPR/MPR RI.  Akhirnya rejim Orde Baru tumbang, dan Presiden Suharto meletakkan jabatan.
Dua-tiga tahun setelah reformasi, dengan tercenung saya mendengar beberapa ungkapan masyarakat awam, kira-kira seperti ini: Enaknya seperti dulu, harga-harga murah, reformasi hanya membuat rakyat makin susah dan dimana-mana terjadi korupsi, ada wakil rakyat dan aparat penegak hukum maling uang negara. Mohon hentikan saja reformasi.
Begitu sederhana kah pengertian reformasi? Bagi orang awam, reformasi adalah sebuah era dimana hidup rakyat sejahtera, mudah memperoleh sandang pangan, pendidikan dan kesehatan dijamin negara, rukun antar agama dan tidak ada kekerasan di mana-mana.
Tapi bagi pengamat, pengrajin debat diskusi serta politisi, makna reformasi seakan-akan telah mengalami degradasi, berubah wujud menjadi deformasi. Tujuan kebangkitan reformasi yang semula bebas dari KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) hanyalah omong kosong dan telah  dikangkangi kesewenang-wenangan atas nama demokrasi.
Ternyata, kolusi sulit dihilangkan. Persekongkolan masih mewabah, ada di kantor-kantor birokrasi dan parlemen. Korupsi menjadi air bah tak tertahan, mengeruk duit APBN dan APBD lewat proyek. Aparat hukum, wakil rakyat dan birokrat ikut menggerogoti duit rakyat. Pemimpin yang seharusnya menjadi tauladan, kini memainkan politik monarkhi: suami-istri-anak-mertua dan sanak saudara menjadi warisan temurun dalam pilkada dan pemilu legislatif.
Para petinggi mulai belajar lupa.. Orang-orang lebih mementingkan haus jabatan dan materi untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Perbincangan membangun negeri masuk ke ruang hampa.
Akhir-akhir ini, kita sulit memilah, mana artis, mana kaum kritisi intelektual dan mana penganjur kebenaran rohani. Semuanya terjebak dalam satu bingkai infotainment yang tak dikenal fungsinya, tapi hanya dikenal popularitasnya.
Indonesia modern
            Uraian di atas menunjukkan kita tersudut pada titik nadir sikap pesimis. Wajar, bila melihat kekecewaan demi kekecewaaan  terjadi dalam dua dasawarsa tidak menunjukkan perubahan lebih baik. Tetapi,  tidur panjang harus tersadarkan dengan pola  pikir dan rasa optimis membangun Indonesia modern masa depan. Spirit Kebangkitan Nasional era Budi Utomo menjadi refleksi dapat dijadikan  ruh semangat melawan individualisme dan neo liberalisme sebagaimana Dr Sutomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan kawan-kawan menularkan anti kolonialisme.
            Untuk mencapai kebangkitan Indonesia modern masa depan, perlu prasyarat jati diri bangsa. Bung Karno pernah mengisyaratkan Trilogi: berdaulat di bidang bidang politik,  mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya.
            Setelah 105 tahun kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional, penuh seremonial, sekarang saatnya jati diri bangsa dibangun dari remah-remah  pemikiran masa lalu untuk masa depan dengan simbolik: “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”. 

Sumber: GALAMEDIA, 24 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar