Jumat, 15 November 2013

Menyikapi Peraga Pemilu

Menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014, tampaknya baik partai politik (parpol) maupun calon legislatif (caleg) bingung menjalankan peraturan pemasangan alat peraga (atribut) karena peraturan yang dikeluarkan KPU/KPU-D tidak jelas.

Di sisi lain, parpol dan caleg tidak mau mencari informasi secara proaktif. Ada yang berpendapat atribut spanduk tidak boleh dipasang melintang jalan. Pendapat lain, baliho tidak boleh dipasang di papan reklame resmi. Informasi lainnya, poster (banner) seorang caleg tidak boleh mendominasi suatu wilayah. Selain itu, gambar tempel (stiker) tidak diperbolehkan dan kuantitas kaus caleg dibatasi.

Banyak terjadi miskomunikasi karena informasi berseliweran dari mulut ke mulut tanpa dilandasi peraturan tertulis legal formal. Seharusnya parpol dan caleg mencari informasi yang benar jangan mengartikan ketentuan sesuai selera masing-masing.

Sementara itu, Pasal 17 Peraturan KPU (PKPU) No 15 Tahun 2013, yang ditetapkan tanggal 22 Agustus, mengisyaratkan bahwa alat peraga tidak boleh ditempatkan di tempat ibadah, rumah sakit, gedung pemerintah, lembaga pendidikan, jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana publik, taman, dan pepohonan. Ukuran maksimal spanduk yang boleh dipasang 1,5x7 meter pada satu atau wilayah yang ditetapkan KPU daerah bersama pemda.

Hanya saja, PKPU No 15 Tahun 2013 tidak dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) sehingga merepotkan KPU-D dan pengawas pemilu. Maka sering muncul ketegangan parpol dan caleg dengan Panwaslu soal atribut.

Memang, jauh-jauh hari, para caleg DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta DPD mulai melakukan sosialisasi diri dengan memasang atribut di jalan-jalan. Sebelum daftar calon tetap (DCT) diumumkan, atribut caleg bertebaran di banyak tempat. Apalagi setelah DCT ditetapkan KPU (29 Agustus 2013), atribut caleg kian menghiasi tiang listrik, pohon, serta ruang-ruang terbuka kota/desa.

Seiring bertambahnya waktu, perlombaan pemasangan atribut makin tak terkendali dan semerawut, tidak lagi mengindahkan estetika. Kota menjadi penuh dengan wajah-wajah caleg. Jelas upaya memperkenalkan diri dan pencitraan tersebut kontraproduktif karena memperburuk wajah kota.

Iklannya kelebihan dosis sehingga politik pencitraan menimbulkan polusi pemandangan mata
.

Philips Vermonte dkk dari Center for Strategic & International Studies (CSIS), pada bulan Januari 2013, melakukan penelitian di Jawa Barat. Hasilnya, komunikasi politik dengan atribut lewat baliho, stiker, dan poster hanya 30 persen memengaruhi massa. Selebihnya (70 persen) sangat ditentukan komunikasi lisan (tatap muka) dan visual (televisi).

Jadi, jelas bahwa sikap para caleg menebar atribut merupakan strategi yang tidak signifikan untuk memengaruhi massa. Secara tidak langsung, kompetisi eksternal (caleg di luar parpol) maupun internal dengan rekan satu parpol dan satu daerah pemilihan telah memboroskan biaya.

Memang sistem Pemilu 2014 (sama dengan 2009) secara tidak langsung memaksa caleg bersaing ekstraketat agar memperoleh suara terbanyak dalam satu dapil dengan pemilihan langsung personal (direct vote). Ini bak lomba memancing di kolam kecil, bukan di kolam besar (eksternal), meraih simpati masyarakat dengan mengalahkan parpol lainnya. Situasi demikan berdampak negatif dengan melahirkan sikap saling menjatuhkan.

Maka, saling memperbanyak dan memperbesar atribut setidaknya bentuk mental force yang relatif kurang diminati masyarakat. Karena selain efek buruknya membuat masyarakat bosan dan jengah, juga nilai edukasi politiknya pun kecil.

Zonasi

Akhir-akhir ini terjadi multipersepsi terhadap PKPU No 15 Tahun 2013 (Pasal 17). Pengertian jalan protokol, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah jalan utama di kota-kota besar, jalan yang menjadi pusat keramaian lalu lintas. Sementara itu jalan, menurut Kementerian PU Bina Marga, dibagi atas fungsi dan administrasi pemerintahan (nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan desa).

Sejak Peraturan KPU ditetapkan 22 September 2013, Panwaslu membersihkan atribut caleg di kota. Pencopotan atribut tidak hanya terjadi di jalan-jalan protokol, tetapi juga jalan lintas antar kelurahan/desa serta perkampungan. Langkah Panwaslu tersebut menuai kecaman dari sebagaian parpol maupun caleg. Alasannya, dalam adendum menimbang (a) peraturan KPU 05/2013 dimulai dengan asas fairness dan keadilan.

Sampai kini masih banyak atribut caleg berukuran besar terpajang di papan reklame/billboard yang menghiasi jalan-jalan protokol. Mereka umumnya berasal dari para caleg berkantung tebal, terutama petahana (incumbent). Ini yang membuat modal kampanye membesar. Namun, rupanya kantong mereka memang tebal.

Padahal, bila ditelisik lebih jauh, boleh dibilang sekitar 70 persen caleg daerah bermodal pas-pasan sehingga hanya mampu memasang atribut di gang-gang di pelosok dalam bentuk stiker.

Bila dihitung, dalam satu kali pertemuan sosialisasi di tingkat RT/RW dibutuhkan 100-200 ribu rupiah pengganti biaya penganan/minuman, sementara dalam satu dapil, bisa terdiri dari ratusan bahkan ribuan RT/RW. Belum lagi tuntutan dana dari simpul-simpul massa yang dikunjungi. Jadi, memang tidak murah untuk menjadi legislator!

Itulah sebabnya caleg yang berkantong tipis lebih memilih sosialisasi lewat atribut dan pertemuan-pertemuan sederhana lapisan masyarakat bawah. Mereka terpaksa membiarkan bila atribut yang dipajang di jalan lintas desa/kelurahan dicopot panwaslu.

Jadi untuk menghindari konflik antara panwaslu dan parpol serta mungkin juga ditambah tim sukses, sebaiknya KPU/KPUD segera menyusun dan mengedarkan juklak atau juknis soal atribut kepada parpol, caleg, dan masyarakat agar suasana menjelang Pemilu 2014 tetap damai.

Sumber : KORAN JAKARTA, Sabtu 16 Nopember 2013