Menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014, tampaknya baik partai
politik (parpol) maupun calon legislatif (caleg) bingung menjalankan
peraturan pemasangan alat peraga (atribut) karena peraturan yang
dikeluarkan KPU/KPU-D tidak jelas.
Di sisi lain, parpol dan caleg
tidak mau mencari informasi secara proaktif. Ada yang berpendapat
atribut spanduk tidak boleh dipasang melintang jalan. Pendapat lain,
baliho tidak boleh dipasang di papan reklame resmi. Informasi lainnya,
poster (banner) seorang caleg tidak boleh mendominasi suatu wilayah.
Selain itu, gambar tempel (stiker) tidak diperbolehkan dan kuantitas
kaus caleg dibatasi.
Banyak terjadi miskomunikasi karena
informasi berseliweran dari mulut ke mulut tanpa dilandasi peraturan
tertulis legal formal. Seharusnya parpol dan caleg mencari informasi
yang benar jangan mengartikan ketentuan sesuai selera masing-masing.
Sementara
itu, Pasal 17 Peraturan KPU (PKPU) No 15 Tahun 2013, yang ditetapkan
tanggal 22 Agustus, mengisyaratkan bahwa alat peraga tidak boleh
ditempatkan di tempat ibadah, rumah sakit, gedung pemerintah, lembaga
pendidikan, jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana publik, taman,
dan pepohonan. Ukuran maksimal spanduk yang boleh dipasang 1,5x7 meter
pada satu atau wilayah yang ditetapkan KPU daerah bersama pemda.
Hanya
saja, PKPU No 15 Tahun 2013 tidak dilengkapi dengan petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) sehingga merepotkan
KPU-D dan pengawas pemilu. Maka sering muncul ketegangan parpol dan
caleg dengan Panwaslu soal atribut.
Memang, jauh-jauh hari, para
caleg DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta DPD mulai melakukan
sosialisasi diri dengan memasang atribut di jalan-jalan. Sebelum daftar
calon tetap (DCT) diumumkan, atribut caleg bertebaran di banyak tempat.
Apalagi setelah DCT ditetapkan KPU (29 Agustus 2013), atribut caleg
kian menghiasi tiang listrik, pohon, serta ruang-ruang terbuka
kota/desa.
Seiring bertambahnya waktu, perlombaan pemasangan
atribut makin tak terkendali dan semerawut, tidak lagi mengindahkan
estetika. Kota menjadi penuh dengan wajah-wajah caleg. Jelas upaya
memperkenalkan diri dan pencitraan tersebut kontraproduktif karena
memperburuk wajah kota.
Iklannya kelebihan dosis sehingga politik pencitraan menimbulkan polusi pemandangan mata.
Philips
Vermonte dkk dari Center for Strategic & International Studies
(CSIS), pada bulan Januari 2013, melakukan penelitian di Jawa Barat.
Hasilnya, komunikasi politik dengan atribut lewat baliho, stiker, dan
poster hanya 30 persen memengaruhi massa. Selebihnya (70 persen) sangat
ditentukan komunikasi lisan (tatap muka) dan visual (televisi).
Jadi,
jelas bahwa sikap para caleg menebar atribut merupakan strategi yang
tidak signifikan untuk memengaruhi massa. Secara tidak langsung,
kompetisi eksternal (caleg di luar parpol) maupun internal dengan rekan
satu parpol dan satu daerah pemilihan telah memboroskan biaya.
Memang
sistem Pemilu 2014 (sama dengan 2009) secara tidak langsung memaksa
caleg bersaing ekstraketat agar memperoleh suara terbanyak dalam satu
dapil dengan pemilihan langsung personal (direct vote). Ini bak lomba
memancing di kolam kecil, bukan di kolam besar (eksternal), meraih
simpati masyarakat dengan mengalahkan parpol lainnya. Situasi demikan
berdampak negatif dengan melahirkan sikap saling menjatuhkan.
Maka,
saling memperbanyak dan memperbesar atribut setidaknya bentuk mental
force yang relatif kurang diminati masyarakat. Karena selain efek
buruknya membuat masyarakat bosan dan jengah, juga nilai edukasi
politiknya pun kecil.
Zonasi
Akhir-akhir ini terjadi
multipersepsi terhadap PKPU No 15 Tahun 2013 (Pasal 17). Pengertian
jalan protokol, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah jalan utama
di kota-kota besar, jalan yang menjadi pusat keramaian lalu lintas.
Sementara itu jalan, menurut Kementerian PU Bina Marga, dibagi atas
fungsi dan administrasi pemerintahan (nasional, provinsi,
kabupaten/kota, dan desa).
Sejak Peraturan KPU ditetapkan 22
September 2013, Panwaslu membersihkan atribut caleg di kota. Pencopotan
atribut tidak hanya terjadi di jalan-jalan protokol, tetapi juga jalan
lintas antar kelurahan/desa serta perkampungan. Langkah Panwaslu
tersebut menuai kecaman dari sebagaian parpol maupun caleg. Alasannya,
dalam adendum menimbang (a) peraturan KPU 05/2013 dimulai dengan asas
fairness dan keadilan.
Sampai kini masih banyak atribut caleg
berukuran besar terpajang di papan reklame/billboard yang menghiasi
jalan-jalan protokol. Mereka umumnya berasal dari para caleg berkantung
tebal, terutama petahana (incumbent). Ini yang membuat modal kampanye
membesar. Namun, rupanya kantong mereka memang tebal.
Padahal,
bila ditelisik lebih jauh, boleh dibilang sekitar 70 persen caleg daerah
bermodal pas-pasan sehingga hanya mampu memasang atribut di gang-gang
di pelosok dalam bentuk stiker.
Bila dihitung, dalam satu kali
pertemuan sosialisasi di tingkat RT/RW dibutuhkan 100-200 ribu rupiah
pengganti biaya penganan/minuman, sementara dalam satu dapil, bisa
terdiri dari ratusan bahkan ribuan RT/RW. Belum lagi tuntutan dana dari
simpul-simpul massa yang dikunjungi. Jadi, memang tidak murah untuk
menjadi legislator!
Itulah sebabnya caleg yang berkantong tipis
lebih memilih sosialisasi lewat atribut dan pertemuan-pertemuan
sederhana lapisan masyarakat bawah. Mereka terpaksa membiarkan bila
atribut yang dipajang di jalan lintas desa/kelurahan dicopot panwaslu.
Jadi
untuk menghindari konflik antara panwaslu dan parpol serta mungkin juga
ditambah tim sukses, sebaiknya KPU/KPUD segera menyusun dan mengedarkan
juklak atau juknis soal atribut kepada parpol, caleg, dan masyarakat
agar suasana menjelang Pemilu 2014 tetap damai.
Sumber : KORAN JAKARTA, Sabtu 16 Nopember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar