Jumat, 06 Desember 2013

100 Hari Kinerja Kang Emil



SEJAK Kang Emil (Ridwan Kamil) resmi dilantik pada 16 September 2013 sebagai Walikota Bandung, bila dihitung sudah ebih 100 hari beliau menduduki tampuk tertinggi di gedung Balaikota. Selama itu pula begitu banyak ide atau gagasan beliau terlontar ke publik. 

Beberapa gagasan tersebut, diantaranya bakal dibangun sky walk bagi pejalan kaki, monorel dan di bantaran sungai Cikapundung Babakan Siliwangi akan dibangun ruang publik sebagai amphiteater di river front. Setidaknya warga Bandung bangga bakal memiliki kota yang mirip Sanghai dan Singapura.

Selain melontarkan gagasan, saat ini sedang marak revitalisasi taman kota dan perbaikan pedestarian.  Namun kendala kerap terjadi, seolah rapinya trotoar kembali menjadi tempat nyaman bagi PKL (Pedagang Kaki Lima) berjualan.  Soal PKL ini lah yang menjadi kemelut sulit terpecahkan, walau pun telah diatur dalam Perda No 11 tahun 2005 tentang K3.

Salah satu ide kontroversial, Kang Emil menganjurkan kaum gepeng (gelandangan pengemis) dilibatkan sebagai pekerja musiman untuk pembersihan saluran air (gorong-gorong) guna mencegah banjir cileuncang. Untuk gepeng pula aparat ketertiban sengaja menebar ratusan spanduk anjuran agar masyarakat tidak “menyumbang” pengemis dan pengamen yang selama ini dianggap  “mengotori” wajah kota. 

Bila kita renungkan, impian bersama mengembalikan Bandung sebagai Parijs van Java atau Mooi Bandoeng  memang perlu kerja keras. Tetapi perkembangan modernisasi kota menuntut lain, cenderung tercipta penyimpangan restorasi. Seharusnya pula pembangunan tidak mengalahkan identitas kota tua (old city) yang mengandung warisan  sejarah penghuni di dalamnya (Maxwell cs, Spotlight on the Citiers, 1989).

Satu dasawarsa terakhir, sebagai orang awam kita hanya bisa menyaksikan di Kota Bandung betapa merebak rimba beton pembangunan hotel, restoran, kantor, lokasi perbelanjaan megah (mall) yang dengan kemudahan perizinan. Sering pula mekarnya rimba beton itu  berbenturan dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Kemaruk ekonomi kapitalisme cenderung melahirkan wujud kota tanda karakter tak berjiwa. Dalam piramid pembangunan, kata Peter L Berger, selalu saja ada rakyat yang menjadi korban (Pyramids of Sacrifice: Political Ethics and Social Change Peter L Berger, 1974).  Tentu saja korbannya adalah warga Bandung yang seakan-akan menjadi penonton di kotanya sendiri akibat imported capital

Sejak zaman Hindia Belanda Kota Bandung memang diciptakan sebagai kota yang memiliki identitas. Konon sang pendiri Bandung, Herman Willem Daendels, sengaja mendatangkan penyuka keindahan supaya mau menetap di Kota Bandung. Daendels memasarkan deretan rumah villa yang iklannya muncul di Surabaya (Haryoto Kunto, Wajah Bandong Tempoe Doeloe,1984

Bandung di lingkung gunung mungkin kini cuma tinggal kenangan. Derasnya arus pembangunan dan pengembangan kota telah banyak menelan banyak korban, berupa perobohan bangunan-bangunan tua (Sudarsono Katam, Album Bandung Tempo Doeloe, 2005). 

Zaman telah berganti. Sekarang Bandung tampaknya kehilangan identitas, centang prenang, amburadul dan tak jelas lagi wilayah peruntukannya. Ratusan bangunan bersejarah yang pernah dibanggakan kini bertumpuk dengan bangunan modern, Kawasan di Bandung Utara misalnya, sekarang  menjadi kawasan padat dengan kegiatan ekonomi. Pembangunannya tidak terkendali, menjadikan ciri khas yang menjadikan identitas Kota Bandung makin pudar (Her Suganda, Jendela Bandung, 2008).  

Bandung O, wonderstad. Dat zaegt toch indereen. Eeen stad voi pracht en praal. Altijd even schoon en rein. Kortom, een plaats bij uitnemendheid. Bandung, heerlijke stad…” (nyanyian Rara Sulastri, 1933). Dalam terjemahan sunda Neng Ijos “Dayeuh Bandung, pohara teh teuing. Dipuji teh towong. Hurung herang sadaya araheng. Estu matak narik kana ati. Kubawaning resmi. Euleuh..euleuh..Bandung (Haryoto Kunto)

Nyanyian pujian tentang kota Bandung tersebut telah lama menghilang. Sekarang gemericik air dan desah angin tergantikan deru elekton kiboard. Adem kesejukan Kota Bandug tergantikan mesin pendingin udara (air condition). Suara kecapi almarhum Mang Supeno “Braga Stone” digeser hingar bingar music hardrock tanpa bumbu lokal.

Di tengah rasa ‘waas’ melankolik mengenang keindahan masa lalu Kota Bandung itu, barangkali terselip secercah harapan kita kepada Kang Emil. Supaya gagasan Kang Emil lungsur ka handap atau down to earth  (menjejak ke bumi), salah satu hal penting dalam jangka pendek adalah reformasi pelayanan publik. Pelayanan publik tidak hanya perbaikan pelayanan birokrasi semata, melainkan keamanan dan kenyamanan warga kota dalam mencari nafkah sehari-hari. Itu saja dulu.  Dan  satu lagi, jangan biarkan ide-gagasan besar itu terbang sia-sia..!

Sumber : TRIBUN JABAR, Jumat 6 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar