Selasa, 31 Desember 2013

Dehumanisasi Politik

Tampaknya dunia politik di Indonesia tergolong barbar. Dikatakan barbar karena suka kurang beradab, kasar, dan kejam dalam menjatuhkan lawan politik.

Para pelakunya sering menganut pola primitif—menyampingkan etika dan moral—dengan melebihkan porsi teknis strategi dan intrik politik.

Rasanya cukup jenuh menyaksikan debat politik yang bermetamorfosis menjadi kalimat memaki. Kritik tidak lagi berubah menjadi autokritik.

Ketersinggungan frasa kata, bergeser ke sarkasme.. Diskusi politik menjelma menjadi kemarahan politik. Akibatnya, gerak tubuh politikus dicerminkan rusaknya perilaku, bukan dari kecerdasannya berbicara.

Saling menyakiti dalam komunikasi politik sangat lazim terjadi di negeri ini. Kekerasan politik ditunjukkan secara vertikal dengan menghujat penguasa atau horizontal kepada lawan politik. Seolah politikus mengalami ketidakadilan dalam dirinya. Dalam istilah Dom Helder Camara, (Spiral of Violence, 1971) ketidakadilan (personal/komunal) menyebabkan kekerasan (institusi).

Di layar televisi, politikus kerap mengumbar amarah. Sayangnya, perilaku kurang menyedapkan itu disaksikan jutaan pasang mata rakyat. Jadi, kekerasan politik (political violence) berkembang menjadi kultur dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh nyata, saat ini calon anggota legislatif (caleg) sibuk bersosialisasi di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Persaingan tak sehat sering terjadi. Banyak ditemukan antartim sukses saling menjatuhkan. Untuk memberangus lawannya, mereka melontarkan isu negatif, termasuk SARA, juga saling merobek atribut antarcaleg.

Kekerasan ini tidak hanya dijumpai di sekitar kader politik. Belakangan ini bahkan timbul kekhawatiran antarcalon presiden (capres) kurang menjaga estetika atau kesantunan politik. Akhir-akhir ini, beberapa capres saling meledek dan perang opini. Mereka saling menjerumuskan dengan menjatuhkan karakter individu capres lain (character assassination).

Beberapa hasil survei capres menyebutkan, tokoh A lebih baik elektabilitasnya dari B, dan C lebih popular dari D, begitu seterusnya. Tumbuhnya lembaga survei politik bagaikan jamur di musim hujan. Konon, ada lembaga survei yang “dimainkan” untuk tujuan politik tertentu.

Jadi, penyangkalan hasil survei yang satu, dibantah lembaga survei lain. Herannya, kerangka ilmiah penelitian survei berubah dengan “perang ludah dan lidah”, lewat pernyataan-pernyataan yang membingungkan masyarakat. Dengan kata lain, kekerasan politik memancing lawan saling membalas (violence attracts violence).

Sebenarnya, ibu kandung politikus adalah partai politik (parpol). Politikus dilahirkan, tumbuh berkembang, dan dibesarkan parpol. Jika ibu kandungnya mengajarkan strategi jelek, maka jelek pula politikus yang dihasilkannya. Semua ini tergantung lingkungan politik dari tempat politikus tersebut berkecimpung.

Sayangnya, sistem kaderisasi di sejumlah parpol relatif kurang baik. Bukan rahasia umum, banyak parpol merekrut kadernya secara pragmatis. Banyak kader direkrut karena kemampuan finansial juga popularitas. Lebih banyak lagi kader yang dipilih bukan karena faktor ideologi.

Celakanya, semangat era Reformasi yang menolak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) seolah terlupakan. Banyak contoh perilaku KKN tumbuh subur di internal parpol. Seorang kader parpol bisa terdongkrak karier politiknya karena kedekatan, bahkan terkait hubungan kekeluargaan dengan ketua parpol.

Jangan heran jika kita kerap dikagetkan munculnya tokoh politik karbitan yang rekam jejaknya diragukan. Mereka mudah meraih jabatan politik, tetapi lebih menonjolkan semangat kelompok, fraksi, patronklien, serta maruk kekuasaan atas segala cara.

Barangkali lewat cara instan pula demokrasi Indonesia bisa berkembang. Makna kedaulatan dalam demokrasi dikhianati rendahnya kesantunan dari politikus karbitan. Dengan pandangan sinis, parpol berubah menjadi legitimasi gerombolan besar yang disahkan negera.

Terjadinya dehumanisasi, nihilisme, serta anarkisme dalam kehidupan politik semestinya diredam dengan peningkatan edukasi politik rakyat. Apalagi, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Oleh karena itu, sudah saatnya para pemimpin atau elite parpol memberi keteladanan kepada rakyat dengan menunjukkan proses demokrasi sebagai estetika politik, tanpa saling mencerca satu sama lain. 

Sumber: SINAR HARAPAN, 31 Desember 2013

Selasa, 17 Desember 2013

Pilkada DPRD Sarat Transaksi

Belakangan, Kemendagri begitu bersemangat menyuarakan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) lewat DPRD di berbagai media. Dapat dimaklumi, hasrat besar pilkada lewat DPRD sebelumnya memang telah berulang kali dilontarkan "bos besar" pengurus birokrasi pemerintahan, Mendagri Gamawan Fauzi. 

Secara tidak langsung, "bawahan" Mendagri terpanggil ikut mendorong gagasan tersebut benar-benar terealisasi. 

Agar nalar gagasan tersebut diterima, dikampanyekan beberapa data dan asumsi argumentatif guna melemahkan pilkada langsung selama satu dasawarsa ini. Dari tahun 2005, terjadi lebih dari 850 kasus sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitus (MK). Selain itu, pilkada langsung dianggap mahal, banyak menelan korban jiwa, politik uang, dan sebagainya. 

Jika menggunakan analisis strengths, weaknesses, opportunities, dan threats model Albert Humphrey (1926 -2005) dari Stanford Research Institute, sudut pandang Kemendagri terlalu sempit karena menilai dari segi weaknesses (kelemahan) belaka. Artinya, Kemendagri ingin meruntuhkan proses demokrasi pilkada yang diterapkan dengan advokasi yang lazim digunakan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Timbul kesan pilkada langsung "tidak menguntungkan" Kemendagri, dan seolah-olah Mendagri hanya tukang lantik kepala daerah. Agar Kemendagri punya daya cengkeram kekuasaan di daerah (provinsi/kabupaten/kota), jalan mulus harus lewat pilkada DPRD. Iktikad tersembunyi Kemendagri tampaknya mulai mencuat.

Jika diingat masa lalu, betapa hebatnya kekuasaan desentralisasi pemerintah daerah dengan perangkat Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999. Ketika UU tersebut dilaksanakan, terdengar banyak pejabat di Kemendagri guncang karena kehilangan kekuasaan untuk mengontrol daerah, terutama soal APBD. Karena "kering-"nya kekuasaan pusat, bukan rahasia umum, banyak pejabat Kemendagri di Jakarta ingin mutasi ke daerah. 

Tak berlangsung lama, rupanya desentralisasi melahirkan banyak dinamika korupsi APBD. Akhirnya UU Otonomi Daerah bermetamorforsis dengan variabel peraturan pemerintah (PP) menjurus pengikisan desentralisasi yang kini perlahan menjadi resentralisasi. Salah satu contoh birokrasi sentralistik ialah APBD provinsi yang digodok DPRD selanjutnya mesti diotorisasi Kemendagri. Itulah sebabnya, tatkala APBD/APBD perubahan provinsi akan disahkan, banyak pejabat daerah mondar-mandir ke Kemendagri di Jakarta. 

Transaksi

Sebelum tahun 2005, memang pilkada dilakukan lewat DPRD. Dengan kata lain, calon kepala/wakil kepala daerah hanya boleh dicalonkan partai politik (parpol) dengan tangannya di fraksi DPRD. Selanjutnya, hanya DPRD yang memunyai hak pilih untuk menjagokan kandidat kepala daerah.
Dari pengalaman yang saya alami sebagai pemimpin salah satu fraksi, ternyata pilkada DPRD sarat transaksi. 

Secara kasat mata, sekurangnya terdapat dua jenis transaksi yang mencolok. Pertama, terjadi politik uang (money politics) mahahebat. Memang betul biaya pilkada lewat DPRD relatif murah. Calon kepala daerah hanya memerlukan beberapa kali biaya lobi politik dengan pemimpin parpol dan anggota DPRD. Jika parpol yang mengusungnya memiliki lebih dari setengah jumlah anggota DPRD, otomatis terpilih sebagai kepala daerah.

Selain itu, seorang kandidat kepala daerah berkantong tebal, meski diusung parpol kecil, bisa saja berpeluang besar menjadi kepala daerah asal mampu membeli suara. Tak jarang seorang anggota DPRD dihargai puluhan juta hingga miliaran rupiah. Berseliweran juga investor politik membawa fresh money. Bahkan kerap terjadi keretakan politik internal parpol karena anggota fraksinya missing in action, nyeleweng dari instruksi parpolnya lantaran tergiur uang suap. 

Kedua, terjadi transaksi jabatan. Hal ini melibatkan aparat birokrasi dan nonbirokrasi. Aparat pemda sering tergoda dengan jabatan-jabatan strategis, misalnya sekretaris daerah, kepala dinas, kepala biro, dan kepala badan lainnya. Selain itu, ada jabatan nonbirokrasi setingkat kepala BUMD yang kini berubah menjadi perseroan. Lalu tentu saja semua jabatan itu tidak gratis. Mereka bisa dibeli dalam proses pilkada DPRD. 

Keinginan Kemendagri mengembalikan sistem pilkada ke DPRD merupakan langkah mundur. Padahal pilkada langsung merupakan edukasi dan partisipasi politik yang relatif sukar diintervensi atau dipengaruhi pihak lain. Artinya, semangat reformasi diwujudkan tanpa pengkhianatan demokrasi rakyat.

Lantas, apakah pilkada DPRD dapat berkonstribusi bagi perkembangan pemda lebih baik dari pilkada langsung yang dipilih rakyat? Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjamin prediksi salah satu di antara kedua sistem pilkada tersebut lebih baik.

Kejahatan politik harus diminimalkan lewat sistem. Penyuapan sengketa pilkada di MK, misalnya, terjadi bukan karena sistem pilkada yang salah, melainkan aparat penegak hukum yang korup. Begitu pula rentetan peristiwa kecurangan dalam proses pilkada langsung, umumnya karena petugas pemilu tidak mampu menjaga kredibilitas.

Indonesia harus terus mendidik demokrasi kepada rakyat lewat implementasi pemilihan langsung. Ini sebagai edukasi politik rakyat. Sistem demokrasi pemilihan langsung mulai dari kepala desa, wali kota/bupati, gubernur, hingga presiden telah membuat rakyat melek politik. Mereka telah belajar berdemokrasi dengan baik. Wajar bila masih banyak kekurangan. Ini yang harus terus-menerus diperbaiki dari hari ke hari agar mendekati sempurna. 
 
Sumber: KORAN JAKARTA, 7 Desember 2013

Selasa, 10 Desember 2013

Kedekatan Batin Mandela dengan Indonesia

Seluruh dunia berduka. Seorang pejuang antirasialis, Nelson Mandela, wafat, Kamis (5/12) lalu. Hari itu juga Presiden Afrika Selatan (Afsel) Jacob Zuma mengabarkan kematian Mandela melalui siaran televisi nasional setempat. Ini dilansir media massa sedunia.

Beberapa bulan terakhir, Mandela memang sakit parah. Berulang kali ia keluar masuk rumah sakit untuk perawatan. Nasib berkata lain, di ujung usia tuanya, penyakit paru-paru kronis merenggut nyawanya.

Jika kita ingat kembali, kedekatan Madiba–panggilan akrab Nelson Mandela–dengan Indonesia memang panjang. Sekian puluh tahun silam, Madiba pernah hadir dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Waktu itu ia sebagai Ketua ANC (Kongres Nasional Afrika), sebuah organisasi yang memotori perjuangan Apartheid Afsel.

Madiba kagum pada Presiden Soekarno. KAA dianggap awal kebangkitan kutub dunia ketiga yang terdiri atas negara-negara miskin Asia-Afrika atau negara lain yang masih tertindas kolonialisme. Soekarno sebagai “juru bicara” dengan lantang berteriak “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis”.

Sepulang dari KAA 1955 di Bandung, darah muda Madiba bergolak. Melalui organisasi ANC ia melancarkan unjuk rasa, boikot, mogok kerja, dan pembakaran puluhan ribu paspor Afrikaner. Perlawanan Madiba membuat pemerintah kolonial Inggris di Afesel berang.

Segregasi di Afsel dikenal sebagai Apartheid. Dalam Apartheid, warga kulit hitam tidak bisa memilih atau memiliki pekerjaan tertentu. Terjadi diskrimatif ketat antara warga berkulit hitam dan berkulit putih. Warga kulit putih sebagai penguasa mengatur permukiman kulit hitam di kawasan terpisah. Kawasan itu dinamakan Homelands atau Bantustan. Pernikahan campur antara pasangan kulit hitam dan putih dilarang.

Jika ingin keluar kawasan Homelands, setiap warga kulit hitam harus membawa paspor. Kenyataan rasis ini membuat Nelson Mandela marah. Kisah perjuangan Nelson Mandela memang tragis. Akhirnya, pemerintahan kolonial Inggris menjebloskan Mandela selama 18 tahun di penjara Robben Island dari vonis penjara 27 tahun.

Setelah menolak pembebasan bersyarat dengan menghentikan perjuangan bersenjata pada Februari 1985, akhirnya ia dibebaskan pada 11 Februari 1990 atas perintah Presiden Frederik Willem de Klerk. Saat itu ia berusia 74 tahun. Saat itu, Presiden Afsel mendapat tekanan dunia internasional. Inilah masa punahnya Apartheid sebagai sistem diskriminasi dan pemisahan rasis yang berkuasa di Afsel dari 1948 hingga akhirnya dihapuskan awal 1990-an.

Mandela langsung melakukan kunjungan politik ke beberapa negara. Tak lupa ia ke Indonesia. Itu sekaligus mengunjungi gedung bersejarah KAA 1955 di Bandung, tempat yang dulu pernah didatanginya.

Foto Soekarno
Seperti dikisahkan Sidarto Danusubroto (sekarang Ketua MPR RI) yang waktu itu Kapolda Jawa Barat (1988-1991), ia menemani Mandela ke Museum Asia Afrika. Mandela sempat bertanya, “Where is the picture of Soekarno. Every leaders from Asia Africa came to Bandung because of Soekarno. Where is his picture?

Itulah pertanyaan yang sulit terjawab ketika Mandela melihat tidak adanya foto Soekarno tergantung di dinding museum. Maklum saja, tahun 1990 adalah masa Orde Baru berkuasa. Segala sesuatu yang “berbau” Soekarno turut disingkirkan.

Keterkaitan Mandela dengan Indonesia cukup kental. Selain pengagum Soekarno, hampir tiap kesempatan ia sering mengenakan batik Indonesia. Salah satu sumber di Departemen Luar Negeri (Deplu) mengatakan, batik yang digunakannya umumnya hasil perancang Iwan Tirta. Mandela dapat dimasukkan sebagai duta batik dunia yang mempromosikan hasil karya Indonesia. Batik buatan Indonesia menjadi busana kesehariannya.

Satu keunikan lain, entah disengaja atau tidak, lambang Afsel hampir mirip lambang negara Indonesia, yaitu burung garuda. Semua itu mungkin karena kedekatan batin Mandela dengan Indonesia.

Presiden Satu Periode
Tahun 1993, Mandela mendapat Nobel Perdamaian. Pada tahun yang sama dikeluarkan undang-undang baru Afsel yang mengakui persamaan hak warga kulit putih dan kulit hitam disahkan.

Tahun 1994, diadakan pemilihan umum (pemilu) kepresidenan. Untuk pertama kalinya, warga kulit hitam berhasil menang. Nelson Mandela diangkat sebagai presiden. Menyadari keterbatasan usia, ia hanya menjabat satu periode, meski rakyat Afsel menginginkannya kembali menjadi presiden. "Biar yang muda menggantikanku. Itu karena dia lebih paham politik dan ekonomi saat ini," ujar Mandela.

Setelah masa jabatannya selesai, Nelson Mandela menjadi advokat untuk berbagai organisasi hak-hak sosial dan kemanusiaan. Kini ia telah pergi. Kisah pahit getir hak asasi yang diperjuangkannya telah menginsipirasi dunia.

Sumber : SINAR HARAPAN,  9 Desember 2013

Jumat, 06 Desember 2013

100 Hari Kinerja Kang Emil



SEJAK Kang Emil (Ridwan Kamil) resmi dilantik pada 16 September 2013 sebagai Walikota Bandung, bila dihitung sudah ebih 100 hari beliau menduduki tampuk tertinggi di gedung Balaikota. Selama itu pula begitu banyak ide atau gagasan beliau terlontar ke publik. 

Beberapa gagasan tersebut, diantaranya bakal dibangun sky walk bagi pejalan kaki, monorel dan di bantaran sungai Cikapundung Babakan Siliwangi akan dibangun ruang publik sebagai amphiteater di river front. Setidaknya warga Bandung bangga bakal memiliki kota yang mirip Sanghai dan Singapura.

Selain melontarkan gagasan, saat ini sedang marak revitalisasi taman kota dan perbaikan pedestarian.  Namun kendala kerap terjadi, seolah rapinya trotoar kembali menjadi tempat nyaman bagi PKL (Pedagang Kaki Lima) berjualan.  Soal PKL ini lah yang menjadi kemelut sulit terpecahkan, walau pun telah diatur dalam Perda No 11 tahun 2005 tentang K3.

Salah satu ide kontroversial, Kang Emil menganjurkan kaum gepeng (gelandangan pengemis) dilibatkan sebagai pekerja musiman untuk pembersihan saluran air (gorong-gorong) guna mencegah banjir cileuncang. Untuk gepeng pula aparat ketertiban sengaja menebar ratusan spanduk anjuran agar masyarakat tidak “menyumbang” pengemis dan pengamen yang selama ini dianggap  “mengotori” wajah kota. 

Bila kita renungkan, impian bersama mengembalikan Bandung sebagai Parijs van Java atau Mooi Bandoeng  memang perlu kerja keras. Tetapi perkembangan modernisasi kota menuntut lain, cenderung tercipta penyimpangan restorasi. Seharusnya pula pembangunan tidak mengalahkan identitas kota tua (old city) yang mengandung warisan  sejarah penghuni di dalamnya (Maxwell cs, Spotlight on the Citiers, 1989).

Satu dasawarsa terakhir, sebagai orang awam kita hanya bisa menyaksikan di Kota Bandung betapa merebak rimba beton pembangunan hotel, restoran, kantor, lokasi perbelanjaan megah (mall) yang dengan kemudahan perizinan. Sering pula mekarnya rimba beton itu  berbenturan dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Kemaruk ekonomi kapitalisme cenderung melahirkan wujud kota tanda karakter tak berjiwa. Dalam piramid pembangunan, kata Peter L Berger, selalu saja ada rakyat yang menjadi korban (Pyramids of Sacrifice: Political Ethics and Social Change Peter L Berger, 1974).  Tentu saja korbannya adalah warga Bandung yang seakan-akan menjadi penonton di kotanya sendiri akibat imported capital

Sejak zaman Hindia Belanda Kota Bandung memang diciptakan sebagai kota yang memiliki identitas. Konon sang pendiri Bandung, Herman Willem Daendels, sengaja mendatangkan penyuka keindahan supaya mau menetap di Kota Bandung. Daendels memasarkan deretan rumah villa yang iklannya muncul di Surabaya (Haryoto Kunto, Wajah Bandong Tempoe Doeloe,1984

Bandung di lingkung gunung mungkin kini cuma tinggal kenangan. Derasnya arus pembangunan dan pengembangan kota telah banyak menelan banyak korban, berupa perobohan bangunan-bangunan tua (Sudarsono Katam, Album Bandung Tempo Doeloe, 2005). 

Zaman telah berganti. Sekarang Bandung tampaknya kehilangan identitas, centang prenang, amburadul dan tak jelas lagi wilayah peruntukannya. Ratusan bangunan bersejarah yang pernah dibanggakan kini bertumpuk dengan bangunan modern, Kawasan di Bandung Utara misalnya, sekarang  menjadi kawasan padat dengan kegiatan ekonomi. Pembangunannya tidak terkendali, menjadikan ciri khas yang menjadikan identitas Kota Bandung makin pudar (Her Suganda, Jendela Bandung, 2008).  

Bandung O, wonderstad. Dat zaegt toch indereen. Eeen stad voi pracht en praal. Altijd even schoon en rein. Kortom, een plaats bij uitnemendheid. Bandung, heerlijke stad…” (nyanyian Rara Sulastri, 1933). Dalam terjemahan sunda Neng Ijos “Dayeuh Bandung, pohara teh teuing. Dipuji teh towong. Hurung herang sadaya araheng. Estu matak narik kana ati. Kubawaning resmi. Euleuh..euleuh..Bandung (Haryoto Kunto)

Nyanyian pujian tentang kota Bandung tersebut telah lama menghilang. Sekarang gemericik air dan desah angin tergantikan deru elekton kiboard. Adem kesejukan Kota Bandug tergantikan mesin pendingin udara (air condition). Suara kecapi almarhum Mang Supeno “Braga Stone” digeser hingar bingar music hardrock tanpa bumbu lokal.

Di tengah rasa ‘waas’ melankolik mengenang keindahan masa lalu Kota Bandung itu, barangkali terselip secercah harapan kita kepada Kang Emil. Supaya gagasan Kang Emil lungsur ka handap atau down to earth  (menjejak ke bumi), salah satu hal penting dalam jangka pendek adalah reformasi pelayanan publik. Pelayanan publik tidak hanya perbaikan pelayanan birokrasi semata, melainkan keamanan dan kenyamanan warga kota dalam mencari nafkah sehari-hari. Itu saja dulu.  Dan  satu lagi, jangan biarkan ide-gagasan besar itu terbang sia-sia..!

Sumber : TRIBUN JABAR, Jumat 6 Desember 2013