Tampaknya dunia politik di Indonesia
tergolong barbar. Dikatakan barbar karena suka kurang beradab, kasar,
dan kejam dalam menjatuhkan lawan politik.
Para pelakunya sering
menganut pola primitif—menyampingkan etika dan moral—dengan
melebihkan porsi teknis strategi dan intrik politik.
Rasanya cukup jenuh menyaksikan debat
politik yang bermetamorfosis menjadi kalimat memaki. Kritik tidak
lagi berubah menjadi autokritik.
Ketersinggungan frasa kata, bergeser
ke sarkasme.. Diskusi politik menjelma menjadi kemarahan politik.
Akibatnya, gerak tubuh politikus dicerminkan rusaknya perilaku, bukan
dari kecerdasannya berbicara.
Saling menyakiti dalam komunikasi
politik sangat lazim terjadi di negeri ini. Kekerasan politik
ditunjukkan secara vertikal dengan menghujat penguasa atau horizontal
kepada lawan politik. Seolah politikus mengalami ketidakadilan dalam
dirinya. Dalam istilah Dom Helder Camara, (Spiral of Violence, 1971)
ketidakadilan (personal/komunal) menyebabkan kekerasan (institusi).
Di layar televisi, politikus kerap
mengumbar amarah. Sayangnya, perilaku kurang menyedapkan itu
disaksikan jutaan pasang mata rakyat. Jadi, kekerasan politik
(political violence) berkembang menjadi kultur dalam kehidupan
sehari-hari.
Contoh nyata, saat ini calon anggota legislatif (caleg)
sibuk bersosialisasi di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Persaingan tak sehat sering terjadi. Banyak ditemukan antartim sukses
saling menjatuhkan. Untuk memberangus lawannya, mereka melontarkan
isu negatif, termasuk SARA, juga saling merobek atribut antarcaleg.
Kekerasan ini tidak hanya dijumpai di
sekitar kader politik. Belakangan ini bahkan timbul kekhawatiran
antarcalon presiden (capres) kurang menjaga estetika atau kesantunan
politik. Akhir-akhir ini, beberapa capres saling meledek dan perang
opini. Mereka saling menjerumuskan dengan menjatuhkan karakter
individu capres lain (character assassination).
Beberapa hasil survei capres
menyebutkan, tokoh A lebih baik elektabilitasnya dari B, dan C lebih
popular dari D, begitu seterusnya. Tumbuhnya lembaga survei politik
bagaikan jamur di musim hujan. Konon, ada lembaga survei yang
“dimainkan” untuk tujuan politik tertentu.
Jadi, penyangkalan
hasil survei yang satu, dibantah lembaga survei lain. Herannya,
kerangka ilmiah penelitian survei berubah dengan “perang ludah dan
lidah”, lewat pernyataan-pernyataan yang membingungkan masyarakat.
Dengan kata lain, kekerasan politik memancing lawan saling membalas
(violence attracts violence).
Sebenarnya, ibu kandung politikus
adalah partai politik (parpol). Politikus dilahirkan, tumbuh
berkembang, dan dibesarkan parpol. Jika ibu kandungnya mengajarkan
strategi jelek, maka jelek pula politikus yang dihasilkannya. Semua ini
tergantung lingkungan politik dari tempat politikus tersebut
berkecimpung.
Sayangnya, sistem kaderisasi di
sejumlah parpol relatif kurang baik. Bukan rahasia umum, banyak
parpol merekrut kadernya secara pragmatis. Banyak kader direkrut
karena kemampuan finansial juga popularitas. Lebih banyak lagi kader
yang dipilih bukan karena faktor ideologi.
Celakanya, semangat era Reformasi yang
menolak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) seolah terlupakan. Banyak
contoh perilaku KKN tumbuh subur di internal parpol. Seorang kader
parpol bisa terdongkrak karier politiknya karena kedekatan, bahkan
terkait hubungan kekeluargaan dengan ketua parpol.
Jangan heran jika kita kerap dikagetkan
munculnya tokoh politik karbitan yang rekam jejaknya diragukan. Mereka
mudah meraih jabatan politik, tetapi lebih menonjolkan semangat
kelompok, fraksi, patronklien, serta maruk kekuasaan atas segala
cara.
Barangkali lewat cara instan pula
demokrasi Indonesia bisa berkembang. Makna kedaulatan dalam demokrasi
dikhianati rendahnya kesantunan dari politikus karbitan. Dengan
pandangan sinis, parpol berubah menjadi legitimasi gerombolan besar
yang disahkan negera.
Terjadinya dehumanisasi, nihilisme,
serta anarkisme dalam kehidupan politik semestinya diredam dengan
peningkatan edukasi politik rakyat. Apalagi, menjelang Pemilihan Umum
(Pemilu) 2014. Oleh karena itu, sudah saatnya para pemimpin atau
elite parpol memberi keteladanan kepada rakyat dengan menunjukkan
proses demokrasi sebagai estetika politik, tanpa saling mencerca satu
sama lain.
Sumber: SINAR HARAPAN, 31 Desember 2013