Selasa, 31 Desember 2013

Dehumanisasi Politik

Tampaknya dunia politik di Indonesia tergolong barbar. Dikatakan barbar karena suka kurang beradab, kasar, dan kejam dalam menjatuhkan lawan politik.

Para pelakunya sering menganut pola primitif—menyampingkan etika dan moral—dengan melebihkan porsi teknis strategi dan intrik politik.

Rasanya cukup jenuh menyaksikan debat politik yang bermetamorfosis menjadi kalimat memaki. Kritik tidak lagi berubah menjadi autokritik.

Ketersinggungan frasa kata, bergeser ke sarkasme.. Diskusi politik menjelma menjadi kemarahan politik. Akibatnya, gerak tubuh politikus dicerminkan rusaknya perilaku, bukan dari kecerdasannya berbicara.

Saling menyakiti dalam komunikasi politik sangat lazim terjadi di negeri ini. Kekerasan politik ditunjukkan secara vertikal dengan menghujat penguasa atau horizontal kepada lawan politik. Seolah politikus mengalami ketidakadilan dalam dirinya. Dalam istilah Dom Helder Camara, (Spiral of Violence, 1971) ketidakadilan (personal/komunal) menyebabkan kekerasan (institusi).

Di layar televisi, politikus kerap mengumbar amarah. Sayangnya, perilaku kurang menyedapkan itu disaksikan jutaan pasang mata rakyat. Jadi, kekerasan politik (political violence) berkembang menjadi kultur dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh nyata, saat ini calon anggota legislatif (caleg) sibuk bersosialisasi di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Persaingan tak sehat sering terjadi. Banyak ditemukan antartim sukses saling menjatuhkan. Untuk memberangus lawannya, mereka melontarkan isu negatif, termasuk SARA, juga saling merobek atribut antarcaleg.

Kekerasan ini tidak hanya dijumpai di sekitar kader politik. Belakangan ini bahkan timbul kekhawatiran antarcalon presiden (capres) kurang menjaga estetika atau kesantunan politik. Akhir-akhir ini, beberapa capres saling meledek dan perang opini. Mereka saling menjerumuskan dengan menjatuhkan karakter individu capres lain (character assassination).

Beberapa hasil survei capres menyebutkan, tokoh A lebih baik elektabilitasnya dari B, dan C lebih popular dari D, begitu seterusnya. Tumbuhnya lembaga survei politik bagaikan jamur di musim hujan. Konon, ada lembaga survei yang “dimainkan” untuk tujuan politik tertentu.

Jadi, penyangkalan hasil survei yang satu, dibantah lembaga survei lain. Herannya, kerangka ilmiah penelitian survei berubah dengan “perang ludah dan lidah”, lewat pernyataan-pernyataan yang membingungkan masyarakat. Dengan kata lain, kekerasan politik memancing lawan saling membalas (violence attracts violence).

Sebenarnya, ibu kandung politikus adalah partai politik (parpol). Politikus dilahirkan, tumbuh berkembang, dan dibesarkan parpol. Jika ibu kandungnya mengajarkan strategi jelek, maka jelek pula politikus yang dihasilkannya. Semua ini tergantung lingkungan politik dari tempat politikus tersebut berkecimpung.

Sayangnya, sistem kaderisasi di sejumlah parpol relatif kurang baik. Bukan rahasia umum, banyak parpol merekrut kadernya secara pragmatis. Banyak kader direkrut karena kemampuan finansial juga popularitas. Lebih banyak lagi kader yang dipilih bukan karena faktor ideologi.

Celakanya, semangat era Reformasi yang menolak KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) seolah terlupakan. Banyak contoh perilaku KKN tumbuh subur di internal parpol. Seorang kader parpol bisa terdongkrak karier politiknya karena kedekatan, bahkan terkait hubungan kekeluargaan dengan ketua parpol.

Jangan heran jika kita kerap dikagetkan munculnya tokoh politik karbitan yang rekam jejaknya diragukan. Mereka mudah meraih jabatan politik, tetapi lebih menonjolkan semangat kelompok, fraksi, patronklien, serta maruk kekuasaan atas segala cara.

Barangkali lewat cara instan pula demokrasi Indonesia bisa berkembang. Makna kedaulatan dalam demokrasi dikhianati rendahnya kesantunan dari politikus karbitan. Dengan pandangan sinis, parpol berubah menjadi legitimasi gerombolan besar yang disahkan negera.

Terjadinya dehumanisasi, nihilisme, serta anarkisme dalam kehidupan politik semestinya diredam dengan peningkatan edukasi politik rakyat. Apalagi, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Oleh karena itu, sudah saatnya para pemimpin atau elite parpol memberi keteladanan kepada rakyat dengan menunjukkan proses demokrasi sebagai estetika politik, tanpa saling mencerca satu sama lain. 

Sumber: SINAR HARAPAN, 31 Desember 2013

Selasa, 17 Desember 2013

Pilkada DPRD Sarat Transaksi

Belakangan, Kemendagri begitu bersemangat menyuarakan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) lewat DPRD di berbagai media. Dapat dimaklumi, hasrat besar pilkada lewat DPRD sebelumnya memang telah berulang kali dilontarkan "bos besar" pengurus birokrasi pemerintahan, Mendagri Gamawan Fauzi. 

Secara tidak langsung, "bawahan" Mendagri terpanggil ikut mendorong gagasan tersebut benar-benar terealisasi. 

Agar nalar gagasan tersebut diterima, dikampanyekan beberapa data dan asumsi argumentatif guna melemahkan pilkada langsung selama satu dasawarsa ini. Dari tahun 2005, terjadi lebih dari 850 kasus sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitus (MK). Selain itu, pilkada langsung dianggap mahal, banyak menelan korban jiwa, politik uang, dan sebagainya. 

Jika menggunakan analisis strengths, weaknesses, opportunities, dan threats model Albert Humphrey (1926 -2005) dari Stanford Research Institute, sudut pandang Kemendagri terlalu sempit karena menilai dari segi weaknesses (kelemahan) belaka. Artinya, Kemendagri ingin meruntuhkan proses demokrasi pilkada yang diterapkan dengan advokasi yang lazim digunakan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Timbul kesan pilkada langsung "tidak menguntungkan" Kemendagri, dan seolah-olah Mendagri hanya tukang lantik kepala daerah. Agar Kemendagri punya daya cengkeram kekuasaan di daerah (provinsi/kabupaten/kota), jalan mulus harus lewat pilkada DPRD. Iktikad tersembunyi Kemendagri tampaknya mulai mencuat.

Jika diingat masa lalu, betapa hebatnya kekuasaan desentralisasi pemerintah daerah dengan perangkat Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999. Ketika UU tersebut dilaksanakan, terdengar banyak pejabat di Kemendagri guncang karena kehilangan kekuasaan untuk mengontrol daerah, terutama soal APBD. Karena "kering-"nya kekuasaan pusat, bukan rahasia umum, banyak pejabat Kemendagri di Jakarta ingin mutasi ke daerah. 

Tak berlangsung lama, rupanya desentralisasi melahirkan banyak dinamika korupsi APBD. Akhirnya UU Otonomi Daerah bermetamorforsis dengan variabel peraturan pemerintah (PP) menjurus pengikisan desentralisasi yang kini perlahan menjadi resentralisasi. Salah satu contoh birokrasi sentralistik ialah APBD provinsi yang digodok DPRD selanjutnya mesti diotorisasi Kemendagri. Itulah sebabnya, tatkala APBD/APBD perubahan provinsi akan disahkan, banyak pejabat daerah mondar-mandir ke Kemendagri di Jakarta. 

Transaksi

Sebelum tahun 2005, memang pilkada dilakukan lewat DPRD. Dengan kata lain, calon kepala/wakil kepala daerah hanya boleh dicalonkan partai politik (parpol) dengan tangannya di fraksi DPRD. Selanjutnya, hanya DPRD yang memunyai hak pilih untuk menjagokan kandidat kepala daerah.
Dari pengalaman yang saya alami sebagai pemimpin salah satu fraksi, ternyata pilkada DPRD sarat transaksi. 

Secara kasat mata, sekurangnya terdapat dua jenis transaksi yang mencolok. Pertama, terjadi politik uang (money politics) mahahebat. Memang betul biaya pilkada lewat DPRD relatif murah. Calon kepala daerah hanya memerlukan beberapa kali biaya lobi politik dengan pemimpin parpol dan anggota DPRD. Jika parpol yang mengusungnya memiliki lebih dari setengah jumlah anggota DPRD, otomatis terpilih sebagai kepala daerah.

Selain itu, seorang kandidat kepala daerah berkantong tebal, meski diusung parpol kecil, bisa saja berpeluang besar menjadi kepala daerah asal mampu membeli suara. Tak jarang seorang anggota DPRD dihargai puluhan juta hingga miliaran rupiah. Berseliweran juga investor politik membawa fresh money. Bahkan kerap terjadi keretakan politik internal parpol karena anggota fraksinya missing in action, nyeleweng dari instruksi parpolnya lantaran tergiur uang suap. 

Kedua, terjadi transaksi jabatan. Hal ini melibatkan aparat birokrasi dan nonbirokrasi. Aparat pemda sering tergoda dengan jabatan-jabatan strategis, misalnya sekretaris daerah, kepala dinas, kepala biro, dan kepala badan lainnya. Selain itu, ada jabatan nonbirokrasi setingkat kepala BUMD yang kini berubah menjadi perseroan. Lalu tentu saja semua jabatan itu tidak gratis. Mereka bisa dibeli dalam proses pilkada DPRD. 

Keinginan Kemendagri mengembalikan sistem pilkada ke DPRD merupakan langkah mundur. Padahal pilkada langsung merupakan edukasi dan partisipasi politik yang relatif sukar diintervensi atau dipengaruhi pihak lain. Artinya, semangat reformasi diwujudkan tanpa pengkhianatan demokrasi rakyat.

Lantas, apakah pilkada DPRD dapat berkonstribusi bagi perkembangan pemda lebih baik dari pilkada langsung yang dipilih rakyat? Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjamin prediksi salah satu di antara kedua sistem pilkada tersebut lebih baik.

Kejahatan politik harus diminimalkan lewat sistem. Penyuapan sengketa pilkada di MK, misalnya, terjadi bukan karena sistem pilkada yang salah, melainkan aparat penegak hukum yang korup. Begitu pula rentetan peristiwa kecurangan dalam proses pilkada langsung, umumnya karena petugas pemilu tidak mampu menjaga kredibilitas.

Indonesia harus terus mendidik demokrasi kepada rakyat lewat implementasi pemilihan langsung. Ini sebagai edukasi politik rakyat. Sistem demokrasi pemilihan langsung mulai dari kepala desa, wali kota/bupati, gubernur, hingga presiden telah membuat rakyat melek politik. Mereka telah belajar berdemokrasi dengan baik. Wajar bila masih banyak kekurangan. Ini yang harus terus-menerus diperbaiki dari hari ke hari agar mendekati sempurna. 
 
Sumber: KORAN JAKARTA, 7 Desember 2013

Selasa, 10 Desember 2013

Kedekatan Batin Mandela dengan Indonesia

Seluruh dunia berduka. Seorang pejuang antirasialis, Nelson Mandela, wafat, Kamis (5/12) lalu. Hari itu juga Presiden Afrika Selatan (Afsel) Jacob Zuma mengabarkan kematian Mandela melalui siaran televisi nasional setempat. Ini dilansir media massa sedunia.

Beberapa bulan terakhir, Mandela memang sakit parah. Berulang kali ia keluar masuk rumah sakit untuk perawatan. Nasib berkata lain, di ujung usia tuanya, penyakit paru-paru kronis merenggut nyawanya.

Jika kita ingat kembali, kedekatan Madiba–panggilan akrab Nelson Mandela–dengan Indonesia memang panjang. Sekian puluh tahun silam, Madiba pernah hadir dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Waktu itu ia sebagai Ketua ANC (Kongres Nasional Afrika), sebuah organisasi yang memotori perjuangan Apartheid Afsel.

Madiba kagum pada Presiden Soekarno. KAA dianggap awal kebangkitan kutub dunia ketiga yang terdiri atas negara-negara miskin Asia-Afrika atau negara lain yang masih tertindas kolonialisme. Soekarno sebagai “juru bicara” dengan lantang berteriak “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis”.

Sepulang dari KAA 1955 di Bandung, darah muda Madiba bergolak. Melalui organisasi ANC ia melancarkan unjuk rasa, boikot, mogok kerja, dan pembakaran puluhan ribu paspor Afrikaner. Perlawanan Madiba membuat pemerintah kolonial Inggris di Afesel berang.

Segregasi di Afsel dikenal sebagai Apartheid. Dalam Apartheid, warga kulit hitam tidak bisa memilih atau memiliki pekerjaan tertentu. Terjadi diskrimatif ketat antara warga berkulit hitam dan berkulit putih. Warga kulit putih sebagai penguasa mengatur permukiman kulit hitam di kawasan terpisah. Kawasan itu dinamakan Homelands atau Bantustan. Pernikahan campur antara pasangan kulit hitam dan putih dilarang.

Jika ingin keluar kawasan Homelands, setiap warga kulit hitam harus membawa paspor. Kenyataan rasis ini membuat Nelson Mandela marah. Kisah perjuangan Nelson Mandela memang tragis. Akhirnya, pemerintahan kolonial Inggris menjebloskan Mandela selama 18 tahun di penjara Robben Island dari vonis penjara 27 tahun.

Setelah menolak pembebasan bersyarat dengan menghentikan perjuangan bersenjata pada Februari 1985, akhirnya ia dibebaskan pada 11 Februari 1990 atas perintah Presiden Frederik Willem de Klerk. Saat itu ia berusia 74 tahun. Saat itu, Presiden Afsel mendapat tekanan dunia internasional. Inilah masa punahnya Apartheid sebagai sistem diskriminasi dan pemisahan rasis yang berkuasa di Afsel dari 1948 hingga akhirnya dihapuskan awal 1990-an.

Mandela langsung melakukan kunjungan politik ke beberapa negara. Tak lupa ia ke Indonesia. Itu sekaligus mengunjungi gedung bersejarah KAA 1955 di Bandung, tempat yang dulu pernah didatanginya.

Foto Soekarno
Seperti dikisahkan Sidarto Danusubroto (sekarang Ketua MPR RI) yang waktu itu Kapolda Jawa Barat (1988-1991), ia menemani Mandela ke Museum Asia Afrika. Mandela sempat bertanya, “Where is the picture of Soekarno. Every leaders from Asia Africa came to Bandung because of Soekarno. Where is his picture?

Itulah pertanyaan yang sulit terjawab ketika Mandela melihat tidak adanya foto Soekarno tergantung di dinding museum. Maklum saja, tahun 1990 adalah masa Orde Baru berkuasa. Segala sesuatu yang “berbau” Soekarno turut disingkirkan.

Keterkaitan Mandela dengan Indonesia cukup kental. Selain pengagum Soekarno, hampir tiap kesempatan ia sering mengenakan batik Indonesia. Salah satu sumber di Departemen Luar Negeri (Deplu) mengatakan, batik yang digunakannya umumnya hasil perancang Iwan Tirta. Mandela dapat dimasukkan sebagai duta batik dunia yang mempromosikan hasil karya Indonesia. Batik buatan Indonesia menjadi busana kesehariannya.

Satu keunikan lain, entah disengaja atau tidak, lambang Afsel hampir mirip lambang negara Indonesia, yaitu burung garuda. Semua itu mungkin karena kedekatan batin Mandela dengan Indonesia.

Presiden Satu Periode
Tahun 1993, Mandela mendapat Nobel Perdamaian. Pada tahun yang sama dikeluarkan undang-undang baru Afsel yang mengakui persamaan hak warga kulit putih dan kulit hitam disahkan.

Tahun 1994, diadakan pemilihan umum (pemilu) kepresidenan. Untuk pertama kalinya, warga kulit hitam berhasil menang. Nelson Mandela diangkat sebagai presiden. Menyadari keterbatasan usia, ia hanya menjabat satu periode, meski rakyat Afsel menginginkannya kembali menjadi presiden. "Biar yang muda menggantikanku. Itu karena dia lebih paham politik dan ekonomi saat ini," ujar Mandela.

Setelah masa jabatannya selesai, Nelson Mandela menjadi advokat untuk berbagai organisasi hak-hak sosial dan kemanusiaan. Kini ia telah pergi. Kisah pahit getir hak asasi yang diperjuangkannya telah menginsipirasi dunia.

Sumber : SINAR HARAPAN,  9 Desember 2013

Jumat, 06 Desember 2013

100 Hari Kinerja Kang Emil



SEJAK Kang Emil (Ridwan Kamil) resmi dilantik pada 16 September 2013 sebagai Walikota Bandung, bila dihitung sudah ebih 100 hari beliau menduduki tampuk tertinggi di gedung Balaikota. Selama itu pula begitu banyak ide atau gagasan beliau terlontar ke publik. 

Beberapa gagasan tersebut, diantaranya bakal dibangun sky walk bagi pejalan kaki, monorel dan di bantaran sungai Cikapundung Babakan Siliwangi akan dibangun ruang publik sebagai amphiteater di river front. Setidaknya warga Bandung bangga bakal memiliki kota yang mirip Sanghai dan Singapura.

Selain melontarkan gagasan, saat ini sedang marak revitalisasi taman kota dan perbaikan pedestarian.  Namun kendala kerap terjadi, seolah rapinya trotoar kembali menjadi tempat nyaman bagi PKL (Pedagang Kaki Lima) berjualan.  Soal PKL ini lah yang menjadi kemelut sulit terpecahkan, walau pun telah diatur dalam Perda No 11 tahun 2005 tentang K3.

Salah satu ide kontroversial, Kang Emil menganjurkan kaum gepeng (gelandangan pengemis) dilibatkan sebagai pekerja musiman untuk pembersihan saluran air (gorong-gorong) guna mencegah banjir cileuncang. Untuk gepeng pula aparat ketertiban sengaja menebar ratusan spanduk anjuran agar masyarakat tidak “menyumbang” pengemis dan pengamen yang selama ini dianggap  “mengotori” wajah kota. 

Bila kita renungkan, impian bersama mengembalikan Bandung sebagai Parijs van Java atau Mooi Bandoeng  memang perlu kerja keras. Tetapi perkembangan modernisasi kota menuntut lain, cenderung tercipta penyimpangan restorasi. Seharusnya pula pembangunan tidak mengalahkan identitas kota tua (old city) yang mengandung warisan  sejarah penghuni di dalamnya (Maxwell cs, Spotlight on the Citiers, 1989).

Satu dasawarsa terakhir, sebagai orang awam kita hanya bisa menyaksikan di Kota Bandung betapa merebak rimba beton pembangunan hotel, restoran, kantor, lokasi perbelanjaan megah (mall) yang dengan kemudahan perizinan. Sering pula mekarnya rimba beton itu  berbenturan dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Kemaruk ekonomi kapitalisme cenderung melahirkan wujud kota tanda karakter tak berjiwa. Dalam piramid pembangunan, kata Peter L Berger, selalu saja ada rakyat yang menjadi korban (Pyramids of Sacrifice: Political Ethics and Social Change Peter L Berger, 1974).  Tentu saja korbannya adalah warga Bandung yang seakan-akan menjadi penonton di kotanya sendiri akibat imported capital

Sejak zaman Hindia Belanda Kota Bandung memang diciptakan sebagai kota yang memiliki identitas. Konon sang pendiri Bandung, Herman Willem Daendels, sengaja mendatangkan penyuka keindahan supaya mau menetap di Kota Bandung. Daendels memasarkan deretan rumah villa yang iklannya muncul di Surabaya (Haryoto Kunto, Wajah Bandong Tempoe Doeloe,1984

Bandung di lingkung gunung mungkin kini cuma tinggal kenangan. Derasnya arus pembangunan dan pengembangan kota telah banyak menelan banyak korban, berupa perobohan bangunan-bangunan tua (Sudarsono Katam, Album Bandung Tempo Doeloe, 2005). 

Zaman telah berganti. Sekarang Bandung tampaknya kehilangan identitas, centang prenang, amburadul dan tak jelas lagi wilayah peruntukannya. Ratusan bangunan bersejarah yang pernah dibanggakan kini bertumpuk dengan bangunan modern, Kawasan di Bandung Utara misalnya, sekarang  menjadi kawasan padat dengan kegiatan ekonomi. Pembangunannya tidak terkendali, menjadikan ciri khas yang menjadikan identitas Kota Bandung makin pudar (Her Suganda, Jendela Bandung, 2008).  

Bandung O, wonderstad. Dat zaegt toch indereen. Eeen stad voi pracht en praal. Altijd even schoon en rein. Kortom, een plaats bij uitnemendheid. Bandung, heerlijke stad…” (nyanyian Rara Sulastri, 1933). Dalam terjemahan sunda Neng Ijos “Dayeuh Bandung, pohara teh teuing. Dipuji teh towong. Hurung herang sadaya araheng. Estu matak narik kana ati. Kubawaning resmi. Euleuh..euleuh..Bandung (Haryoto Kunto)

Nyanyian pujian tentang kota Bandung tersebut telah lama menghilang. Sekarang gemericik air dan desah angin tergantikan deru elekton kiboard. Adem kesejukan Kota Bandug tergantikan mesin pendingin udara (air condition). Suara kecapi almarhum Mang Supeno “Braga Stone” digeser hingar bingar music hardrock tanpa bumbu lokal.

Di tengah rasa ‘waas’ melankolik mengenang keindahan masa lalu Kota Bandung itu, barangkali terselip secercah harapan kita kepada Kang Emil. Supaya gagasan Kang Emil lungsur ka handap atau down to earth  (menjejak ke bumi), salah satu hal penting dalam jangka pendek adalah reformasi pelayanan publik. Pelayanan publik tidak hanya perbaikan pelayanan birokrasi semata, melainkan keamanan dan kenyamanan warga kota dalam mencari nafkah sehari-hari. Itu saja dulu.  Dan  satu lagi, jangan biarkan ide-gagasan besar itu terbang sia-sia..!

Sumber : TRIBUN JABAR, Jumat 6 Desember 2013

Jumat, 15 November 2013

Menyikapi Peraga Pemilu

Menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014, tampaknya baik partai politik (parpol) maupun calon legislatif (caleg) bingung menjalankan peraturan pemasangan alat peraga (atribut) karena peraturan yang dikeluarkan KPU/KPU-D tidak jelas.

Di sisi lain, parpol dan caleg tidak mau mencari informasi secara proaktif. Ada yang berpendapat atribut spanduk tidak boleh dipasang melintang jalan. Pendapat lain, baliho tidak boleh dipasang di papan reklame resmi. Informasi lainnya, poster (banner) seorang caleg tidak boleh mendominasi suatu wilayah. Selain itu, gambar tempel (stiker) tidak diperbolehkan dan kuantitas kaus caleg dibatasi.

Banyak terjadi miskomunikasi karena informasi berseliweran dari mulut ke mulut tanpa dilandasi peraturan tertulis legal formal. Seharusnya parpol dan caleg mencari informasi yang benar jangan mengartikan ketentuan sesuai selera masing-masing.

Sementara itu, Pasal 17 Peraturan KPU (PKPU) No 15 Tahun 2013, yang ditetapkan tanggal 22 Agustus, mengisyaratkan bahwa alat peraga tidak boleh ditempatkan di tempat ibadah, rumah sakit, gedung pemerintah, lembaga pendidikan, jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana publik, taman, dan pepohonan. Ukuran maksimal spanduk yang boleh dipasang 1,5x7 meter pada satu atau wilayah yang ditetapkan KPU daerah bersama pemda.

Hanya saja, PKPU No 15 Tahun 2013 tidak dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) sehingga merepotkan KPU-D dan pengawas pemilu. Maka sering muncul ketegangan parpol dan caleg dengan Panwaslu soal atribut.

Memang, jauh-jauh hari, para caleg DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta DPD mulai melakukan sosialisasi diri dengan memasang atribut di jalan-jalan. Sebelum daftar calon tetap (DCT) diumumkan, atribut caleg bertebaran di banyak tempat. Apalagi setelah DCT ditetapkan KPU (29 Agustus 2013), atribut caleg kian menghiasi tiang listrik, pohon, serta ruang-ruang terbuka kota/desa.

Seiring bertambahnya waktu, perlombaan pemasangan atribut makin tak terkendali dan semerawut, tidak lagi mengindahkan estetika. Kota menjadi penuh dengan wajah-wajah caleg. Jelas upaya memperkenalkan diri dan pencitraan tersebut kontraproduktif karena memperburuk wajah kota.

Iklannya kelebihan dosis sehingga politik pencitraan menimbulkan polusi pemandangan mata
.

Philips Vermonte dkk dari Center for Strategic & International Studies (CSIS), pada bulan Januari 2013, melakukan penelitian di Jawa Barat. Hasilnya, komunikasi politik dengan atribut lewat baliho, stiker, dan poster hanya 30 persen memengaruhi massa. Selebihnya (70 persen) sangat ditentukan komunikasi lisan (tatap muka) dan visual (televisi).

Jadi, jelas bahwa sikap para caleg menebar atribut merupakan strategi yang tidak signifikan untuk memengaruhi massa. Secara tidak langsung, kompetisi eksternal (caleg di luar parpol) maupun internal dengan rekan satu parpol dan satu daerah pemilihan telah memboroskan biaya.

Memang sistem Pemilu 2014 (sama dengan 2009) secara tidak langsung memaksa caleg bersaing ekstraketat agar memperoleh suara terbanyak dalam satu dapil dengan pemilihan langsung personal (direct vote). Ini bak lomba memancing di kolam kecil, bukan di kolam besar (eksternal), meraih simpati masyarakat dengan mengalahkan parpol lainnya. Situasi demikan berdampak negatif dengan melahirkan sikap saling menjatuhkan.

Maka, saling memperbanyak dan memperbesar atribut setidaknya bentuk mental force yang relatif kurang diminati masyarakat. Karena selain efek buruknya membuat masyarakat bosan dan jengah, juga nilai edukasi politiknya pun kecil.

Zonasi

Akhir-akhir ini terjadi multipersepsi terhadap PKPU No 15 Tahun 2013 (Pasal 17). Pengertian jalan protokol, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah jalan utama di kota-kota besar, jalan yang menjadi pusat keramaian lalu lintas. Sementara itu jalan, menurut Kementerian PU Bina Marga, dibagi atas fungsi dan administrasi pemerintahan (nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan desa).

Sejak Peraturan KPU ditetapkan 22 September 2013, Panwaslu membersihkan atribut caleg di kota. Pencopotan atribut tidak hanya terjadi di jalan-jalan protokol, tetapi juga jalan lintas antar kelurahan/desa serta perkampungan. Langkah Panwaslu tersebut menuai kecaman dari sebagaian parpol maupun caleg. Alasannya, dalam adendum menimbang (a) peraturan KPU 05/2013 dimulai dengan asas fairness dan keadilan.

Sampai kini masih banyak atribut caleg berukuran besar terpajang di papan reklame/billboard yang menghiasi jalan-jalan protokol. Mereka umumnya berasal dari para caleg berkantung tebal, terutama petahana (incumbent). Ini yang membuat modal kampanye membesar. Namun, rupanya kantong mereka memang tebal.

Padahal, bila ditelisik lebih jauh, boleh dibilang sekitar 70 persen caleg daerah bermodal pas-pasan sehingga hanya mampu memasang atribut di gang-gang di pelosok dalam bentuk stiker.

Bila dihitung, dalam satu kali pertemuan sosialisasi di tingkat RT/RW dibutuhkan 100-200 ribu rupiah pengganti biaya penganan/minuman, sementara dalam satu dapil, bisa terdiri dari ratusan bahkan ribuan RT/RW. Belum lagi tuntutan dana dari simpul-simpul massa yang dikunjungi. Jadi, memang tidak murah untuk menjadi legislator!

Itulah sebabnya caleg yang berkantong tipis lebih memilih sosialisasi lewat atribut dan pertemuan-pertemuan sederhana lapisan masyarakat bawah. Mereka terpaksa membiarkan bila atribut yang dipajang di jalan lintas desa/kelurahan dicopot panwaslu.

Jadi untuk menghindari konflik antara panwaslu dan parpol serta mungkin juga ditambah tim sukses, sebaiknya KPU/KPUD segera menyusun dan mengedarkan juklak atau juknis soal atribut kepada parpol, caleg, dan masyarakat agar suasana menjelang Pemilu 2014 tetap damai.

Sumber : KORAN JAKARTA, Sabtu 16 Nopember 2013

Selasa, 22 Oktober 2013

Percepat UU Pilpres

Kendati hampir setahun lamanya Badan Legislatif (baleg) DPR membahas Rencana Undang-undang (RUU) Pemilihan Presiden 2014, hingga kini belum juga tuntas. Ini menjadi salah satu pertanda potret kinerja wakil rakyat rendah. Dapat dibayangkan DPR menunda sesuatu yang vital bagi perhelatan demokrasi tahun depan. Bisa dibayangkan bakal terjadi saling lempar tanggung jawab ketika tenggat waktunya sudah dekat.

Terluntanya RUU Pilpres 2014 tersebut mungkin ada faktor kesengajaan. Boleh dibilang sebagian besar wakil rakyat sibuk menyosialisasikan diri menjelang Pemilu 2014. Tercatat sekitar sekitar 90 persen anggota DPR periode 2019-2014 kembali mencalonkan diri sebagai legislator. Jadi, kesannya mereka sibuk mengurus diri sendiri dan egois.

Padahal di masa silam, para bapak bangsa (founding fathers) yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) cukup gesit menyusun Pancasila dan UUD 1945. Hanya dalam beberapa kali sidang, bulan Mei-Juli 1945, BPUKI langsung menetapkan risalah penting yang dikenal sebagai tonggak sejarah Indonesia merdeka itu.

Tetapi sekarang kondisinya terbalik. Meski DPR telah bergaji menggiurkan dan memperoleh segala macam fasilitas yang berlebih, kinerjanya justru makin tidak memuaskan. Akibatnya pembahasan RUU Pilpres 2014 seolah dibiarkan tersendat.

Jika ditelisik, telantarnya pokok pembahasan RUU Pilpres sebenarnya menyangkut materi yang diperdebatkan. Dalam Pasal 9 RUU Pilpres 2014 tercantum tentang ambang batas presidential threshold (PT) 20 persen kursi di parlemen dan 25 persen perolehan suara. Bagian ini yang dianggap krusial.
Bagi parpol kecil, PT dimaknai sangat menghambat calon presiden yang bakal mereka usung. Tanpa disadari timbul sikap pro kontra terhadap revisi UU No 42 tahun 2008 sebagai kerangka acuan RUU Pilpres 2014.

Mereka yang pro revisi, dimotori parpol Gerindra, Hanura, PPP dan PKS. Intinya mereka ingin mengubah besaran angka PT. Bila perlu PT ditekan ke angka nol atau dihapus. Dengan begitu, otomatis semua parpol peserta pemilu boleh mencalonkan presiden.

Sementara, kelompok kontra revisi yang didukung parpol besar seperti Partai Demokrat (PD), PDI-P, Golkar, PAN dan PKB berada dalam satu kubu "brotherhood" dengan PD, menolak revisi.
Hingga saat ini dua kubu belum bertemu untuk mencari kompromi. Akibatnya berulang kali pembahasan RUU Pilpres 2014 mengalami penundaan dan deadlock. Maklum, anggota baleg yang nota bene hanyalah "bidak-bidak" politik dari parpol masing-masing. Mereka harus tunduk pada parpol, bukan rakyat.

Sementara parpol besar akan mendominasi peta kekuatan di baleg DPR dan rapat paripurna, dengan asumsi koalisi strategis parpol besar akan mengadang revisi. Rupanya sejumlah parpol kecil tidak kehilangan akal. Mereka berusaha mempengaruhi opini publik seperti kebijakan pembatasan dana kampanye, pengaturan iklan kampanye, pelarangan presiden rangkap jabatan, dan berujung mengubah syarat capres.


Manuver parpol

Di tengah menghangatnya suhu politik suksesi nasional, beberapa parpol telah transparan menjagokan ketua partainya menjadi capres, seperti Aburizal Bakrie dari Golkar, Prabowo Subianto dari Gerindra serta pasangan Wiranto dan Hary Tanusudibyo sebagai capres-cawapres Hanura. Menghangatnya manuver parpol tersebut dapat dipahami dengan berbagai alasan.

Tahun depan masa jabatan presiden berakhir dan harus diganti sesuai dengan Pasal 7 UUD 1945 (amendemen) di mana seorang presiden hanya diperbolehkan menjabat dua kali. Ini menjadi peluang parpol untuk mengajukan calon presiden. PD bukan lagi dianggap the leading party atau partai dominan seperti pada Pilpres 2009 dan belum memberi sinyal capres yang akan diusung.

Pertarungan dalam revisi UU Pilpres dapat dijadikan indikator lawan dan kawan berkoalisi untuk mengusung capres. Penjajakan aura kebersamaan sekurangnya akan jelas ketika usai pemilihan legislatif (pileg) 2014 yang menggambarkan persentase perolehan suara nasional.

Capres diusung sendiri atau koalisi dengan parpol lainnya, tergantung pada hasil pemilihan legislatif. Parpol harus mampu merebut simpati pemilih. Menurut Andrew Reynolds (2005), eksistensi partai dalam pemilu digambarkan sebagai "in the most basic level, electoral systems translate the votes cast in a general election into seats won by parties and candidates (Dalam level paling dasariah, sistem-sistem pemilihan mengubah suara-suara di dalam sebuah pemilihan umum ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan partai-partai dan para kandidat)."

Konsekuensi sekarang, parpol harus bekerja keras dan sebaik-baiknya guna meraih simpati rakyat dalam pileg agar kekuatan politiknya diperhitungkan. Sesungguhnya, tujuan mencari pemimpin di negeri tercinta ini bukan sekadar mengedepankan semangat kelompok, golongan atau kepentingan parpol semata. Bangsa harus mencari pemimpin tegas yang mencintai rakyat dan mampu membawa Indonesia lebih baik.
DPR tak boleh menunda-nunda. Mereka harus segera merampungkan RUU tersebut karena waktu semakin mepet. Hentikan tarik-ulur kepentingan partai. Utamakan UU yang berkualitas dengan orientasi keperpihakan pada masyarakat.

Sumber : KORAN JAKARTA, Selasa 22 Oktober 2013

Kamis, 17 Oktober 2013

Kinerja DPR Menjelang Pemilu 2014

Kinerja DPR terutama di bidang legislasi dinilai buruk. Pasalnya, sekitar 90,5 persen anggota DPR periode 2019-2014 kembali mencalonkan dirinya pada Pemilu 2014. Target yang mereka susun tidak mencapai target sesuai Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Selain itu, tingkat kehadiran DPR rendah saat membahas RUU.

Artinya, wakil rakyat mulai diam-diam sibuk menyosialisasikan dirinya di masyarakat menjelang Pemilu 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi dan sering meninggalkan tugas pentingnya di gedung parlemen.
 
Tampaknya masyarakat tidak begitu kaget tatkala mendengar kabar wakil rakyat menjadi topik hangat soal kemalasan kerja. Maklum saja, wakil rakyat sering menimbulkan stigma buruk. Perilaku mereka suka menyimpang dari norma tanggung jawab sebagai pejabat publik. Tingkah mereka selalu menjadi sorotan, bahkan cenderung mengecewakan, baik di dalam maupun di luar gedung parlemen.

Sebagai contoh, pembahasan RUU Pilpres 2014 berbulan-bulan tak kunjung tuntas akibat kepentingan politik, sehingga kesan yang ditunjukkan lebih mementingkan diri dan golongan mereka sendiri ketimbang kepentingan publik.
Bahkan bila ditelusuri, tak jarang kebijakan yang mereka buat acap kali mencengangkan, bahkan ada yang bertentangan dengan keinginan rakyat. Selain itu, DPR akrab dengan kasus korupsi, sejumlah lainnya terlibat skandal seks, perceraian, kunjungan kerja tak jelas, dan bolos kerja.

Sebenarnya, wakil rakyat suka bolos bukan cerita baru. Masyarakat yang merasa dirinya “diwakilkan” kecewa bila melihat wakil rakyatnya bolos kerja. Akibat banyak yang bolos, kinerja akan amburadul maka dampaknya masyarakat luas juga yang dirugikan.
Memang menjadi wakil rakyat adalah impian banyak orang. Di samping gaji yang cukup menggiurkan, ia juga mendapat duit tunjangan, dan fasilitas lainnya. Wakil rakyat merupakan pejabat negara, suka diberi privilege yang tidak tersurat mendapat kemudahan VIP (very important person).

Jangan heran para birokrat juga sungkan berselisih paham dengan DPR. Jangan-jangan kedekatan wakil rakyat dengan atasan bisa berimbas sang birokrat dapat “ganjaran”. Bahkan, tak jarang Pak Polisi pun sungkan menilang!
Namun sebaliknya, keistimewaan yang diperoleh itu sungguh tidak sebanding dengan kinerja wakil rakyat. Padahal UU No 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan, bertugas fungsi legislasi (membuat peraturan/UU), anggaran, dan pengawasan.

Ketiga fungsi tersebut memiliki implikasi serius. Di dalamnya terdapat kepentingan masyarakat luas, misalnya tidak pantas tatkala membahas RUU hanya dihadiri sebagian kecil wakil rakyat. Dikhawatirkan, individu atau kelompok tertentu yang berinisiatif memainkan RUU tersebut sesuai kepentingannya.

Selayaknya pula RUU dibahas lintas fraksi serta mengundang pakar dan pemangku kepentingan (stakeholder). Jadi agak aneh bila penuhnya kehadiran wakil rakyat “Yang Terhormat” semata-mata urusan kunjungan kerja, sehingga kesan pelesir lebih mencuat dan ketika perdebatan pembahasan RUU banyak yang bolos.

Perilaku yang sama juga ditunjukkan waktu penyusunan anggaran (APBN). Uniknya, gedung dewan mendadak ramai. Kontradiktif dengan kehadiran dewan seperti biasanya.
Selain stakeholder, beberapa orang “tak dikenal” tiba-tiba muncul memegang map dan beberapa wakil rakyat yang tidak terlibat dalam urusan anggaran juga hadir di luar ruang. Entahlah, mungkin maksudnya “mengawal aspirasi” atau iktikad lainnya. Yang jelas, bicara anggaran berarti urusan duit!

Jika dicermati, ada beberapa penyebab bolosnya wakil rakyat, di antaranya tidak siapnya seorang wakil rakyat dengan iklim kerja yang terjadi di gedung dewan. Di samping itu, mesti tanggap dengan perkembangan masyarakat yang terjadi, ia juga harus mau belajar, tidak boleh malas membaca perubahan peraturan dan/atau undang-undang.

Kepintaran dalam politik praktis tidak selalu berbanding lurus dengan piawai menyalurkan aspirasi rakyat dan meregulasi peraturan atau undang-undang. Rangkap jabatan sebagai pengurus partai juga faktor perancu (confounding factor). Menjadi pengurus partai juga repot, apalagi ditambah beban legislatif. Bila keduanya sekaligus dijalankan, memang perlu pengaturan waktu ekstra agar tidak bolos kerja.

Sayangnya, acap kali kita memergoki wakil rakyat ongkang-ongkang kaki di kafe atau mal ketika jam kerja sibuk dengan urusan pribadinya, sehingga keadaan yang sulit dimaafkan adalah soal malas.

Kalau sudah begini, memang perlu diterapkan mesin absen dan secara periodik Badan Kehormatan mengumumkan tingkat kehadiran wakil rakyat ke publik. Tujuannya agar masyarakat tidak lagi memilih wakilnya yang pemalas dalam Pemilu 2014 mendatang. 

Sumber: SINAR HARAPAN, 17 Oktober 2013

Kamis, 10 Oktober 2013

Hebohnya Politik Dinasti di Banten



PEKAN lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muhtar. Berita ini tentu saja mengejutkan publik. Bersama Akil, dicokok juga seorang anggota DPR dan beberapa orang lainnya. Termasuk seorang pengusaha, Tubagus Chaery Wardana (suami Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan), adik dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Mereka diduga terlibat kasus suap perseteruan pilkada Kabupaten Lebak, propinsi Banten.
             
Beberapa saat setelah OTT, berita tersebut merebak di media cetak, visual,  dan televisi serta sosial media.  Tak kalah menarik, Ratu Atut Chosiyah dicekal bepergian ke luar negeri oleh KPK.
             
Kemudian terjadi rentetan aksi unjuk rasa aktivis anti korupsi Banten. Selain mengecam soal kasus korupsi, hal lain yang cukup mencengangkan adalah  politik dinasti. Dikabarkan 12 orang dari keluarga besar Ratu Atut tercatat sebagai  penggede Banten, seperti Walikota, Wakil Bupati dan calon legislatif. Seluruhnya tersangkut hubungan keluarga dekat, terkait hubungan adik kandung, suami, kakak kandung, ipar, menantu, hingga ibu tiri. Boleh dibilang,  dinasti politik Ratu Atut tergolong  paling sukses di Indonesia.
           
 Cerita kasus korupsi di Banten, ternyata tidak hanya terjadi di zaman modern ini. Banten di masa lalu juga pernah terjadi. Sejarah Banten di masa silam  memang sempat menorehkan cerita kemasyhuran dan kehanncuran.
             
Masa kejayaan Banten, pertengahan abad 16 dan 17,  pernah dirintis  Sultan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf dan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (kesultanan Banten pertama) dapat dikatakan sebagai masa  pemerintahan yang bersih (good government), sehingga luput dari tindakan-tindakan pribadi yang akan merugikan pemerintahan. Banten menjadi satu kesultanan yang berdaulat (1568).
             
Setelah memerintah 18 tahun, Maulana Hasanuddin Wafat (1570), digantikan puteranya Sultan Banten kedua, Maulana Yusuf. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,, perkembangan dan pembangunan Banten terus berlanjut. Ia membangun jaringan irigasi yang berguna bagi pengembangan pertanian. Sehingga Banten memiliki tiga sumber dana pembangunan dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyatnya, yaitu pelayaran, perdagangan, dan pertanian. (Bernard HM Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, terj 2008)
            
 Melompati beberapa keturunan berikutnya, tahta kesultanan Banten diduduki Pangeran Surya atau Pangeran Dipati, yang dalam Sejarah Banten lebih dikenal dengan nama Sultan Agung Tirtayasa, setelah beliau mendirikan istananya yang baru di Tirtayasa. Pada pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Bahkan para nakhoda orang-orang Eropa itu pulalah yang pada mulanya memimpin kapal-kapal Banten dalam pelayarannya ke Philippina, Macao, Benggala dan Persia.
             
Tetapi sangat disayangkan, pewaris utama Sultan Ageng yang dikenal sebagai Sultan Haji (Abdulkahar) terhasut politik devide et impera (adu domba) oleh VOC (Belanda). Sultan Haji termakan intrik VOC yang meniupkan berita bohong bahwa adik kandungnya Pangeran Purbaya yang bakal menerima tahta.

Dibakar mabuk kekuasaan, akhirnya Sultan Haji yang menerima gratifikasi bantuan logistik dan bala tentera VOC. Tidak disangka malah  menghancurkan ayahnya sendiri Sultan Ageng Tirtayasa.  Konspirasi VOC bersama Sultan Haji melakukan perebutan kekuasaan menurunkan ayahnya dari tahta, digantikan dirinya (1681).
Setelah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa runtuh, pengaruh VOC pun stidak dapat dibendung. Masa kejayaan Banten pudar, tinggal kenangan. Cahaya kebesaran Banten sirna sudah. Sultan Haji hanya berperan sebagai boneka yang tunduk kepada kekuasaan asing VOC (Hansiswany Kamarga, UPI).
Di masa pemerintahan Sultan Haji (Abdulkahar) kasus korupsi merajalela di Banten.  Sultan Haji diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, demi memperkaya diri. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan Suktan Haji tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsinya. Inilah salah satu sejarah Banten yang sungguh mengenaskan.
 
Rupanya lain dulu, lain pula cerita korupsi di zaman sekarang. Di era reformasi dengan demokrasi kebebasan ini kita diingatkan kembali dengan politik dinasti. Tidak ada satu pasal hokum pun yang mengatur atau pelimpahan mau pun gurita kekuasaan dalam hubungan keluarga. Contoh sukses itu ditampilkan Gubernur Ratu Atut Chosiyah melibatkan belasan keluarganya menjadi orang penting di propinsi Banten. 

Namun Ratu Atut sekarang tersandung. Adiknya kandungnya, Tubagus Chaery Wardana (Wawan), dijadikan tersangka kasus korupsi. Bahkan belasan mobil mewah milik Wawan terpaksa kena police-line. Setidaknya kini Banten menjadi sorotan masyarakat, khususnya soal kasus korupsi yang melibatkan politik dinasti.

Sumber : TRIBUN  JABAR,  13 Oktober 2013

Senin, 30 September 2013

Mencermati Konvensi Ujian Nasional

TERNYATA tidak hanya partai politik saja yang perlu konvensi untuk memilih calom presiden. Tetapi kali ini pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) pun terjangkit menggelar konvensi. Belum lama ini (26-27 September 2013), Kemendikbud menggelar Konvensi UN (Ujian Nasional), intinya untuk meng-goal-kan terus berlangsungnya penyelenggaraan UN.

Bila ditelusuri, berkaitan dengan UN sekurangnya ada tiga faktor yang mendorong Konvensi UN menjadi sorotasn.

Pertama, berkembang sikap kontra pelaksaan UN yang berwujud gugatan elemen masyarakat terhadap Kemendikbud. Dalam gugatan Citizen Lowsuit yang terdiri para siswa, orangtua murid, aktifis pendidikan dan para guru anggota Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) atas nama Tim Abdovokasi Korban UN beberapa bulan lalu, pihak Mahkamah Agung (MA) memutuskan gugatan masyarakat atas UN. Artinya, UN mesti dihapus atas nama hukum.

Kedua, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kerugian negara miliaran rupiah dalam pengadaan UN. Tidak hanya UN tahun 2012, juga UN tahun 2013. Pendistribusian dan mutu lembar jawaban UN amburadul. Ketika diselidiki, beberapa orang terlibat kasus korupsi pengadaan bahan UN.

Ketiga, timbulnya polemik sekaligus ketakutan di masyarakat bahwa UN selama ini sebagai fungsi kelulusan. Seharusnya UN sebagai pemetaan kualitas pendidikan. Akibatnya UN dimaknai sebagai hidup-mati bagi jenjang pendidikan siswa. Gejolak ini terjadi setiap tahun dan Kemendikbud dibalik kekuasaan pemerintah seakan-akan menggunakan "kacamata kuda" dan menganggap polemik UN tersebut sebagaii "anjing menggonggong kafilah tetap berlalu".

Konvensi sebagai legitimasi

Karut-marut masalah UN tampaknya terus mencuat, apalagi saat ini ditengah gencarnya pemerintah menerapkan Kurikulumm 2013. Di satu pihak, masalah pro-kontra UN belum tuntas, malah Kurikulum 2013 juga menuai badai pro-kontra. Sementara Kemendikbud tak bergeming atas otoritasnya terus menyelenggarakan UN.

Timbul pandangan miring, penyelenggaraan UN tersebut menelan puluhan triliun rupiah. Di dalamnya terdapat proyek maha raksasa diselenggarakan Kemendikbud. Pada sisi negatifnya, pada proyek UN telah ditemukan kebocoran anggaran menjururs tindakan koruptif. Secara tidak langsung kian menguatkan opini masyarakat bahwa UN lebih diliputi aroma proyek ketimbang tujuan peningkatan kualitas pendidikan.

Di tengah bermacam silang pendapat soal UN tersebut, Kemendikbud kembali melontarkan gagasan Konvensi UN. Hasilnya nanti dapat diduga, kegiatan tersebut direspon datar dan dianggap (legitimasi) .

Prediksi tersebut mungkin bisa dibenarkan lantaran pesertta Konvensi UN adalah guru, kepala sekolah, kepala dinas, akademisi, dewan pendidikan dan lain-lain – yang notabene dalam satu garis pro Kemendikbud. Di pihak kontra, diikutsertakan segelintir peserta yang dianggap mewakili kelompok atau lapisan masyarakat yang selama ini dikenal menolak UN.

Tema besar Konvensi UN menjurus pada pola mencari masukan. Secara tegas tidak pada itikad merujuk dari menyamakan pandangan pro dan kontra. Dengan demikian, muncul prasangka disinyalir Kemendikbud terjebak pada politik pencitraan untuk memaksakan kehendaknya program (proyek) UN.

Dapat dibayangkan, Konvensi UN bakal bertemu dalam ruang hampa. Keseteraan pandangan pro dan kontra UN belum berakhir dalam titik temu harmonis. Di tengah kompleksitas dan kontroversi yang berkembang, seyogyanya tidak semata-mata pertimbangan kebijakan politis sentralistik lebih mendominasi makna konvensi.

Cara istimewa dalam isitilah "batu turun keusik naik" merupakan jelan terbaik agar pemerintah tidak kehilangkan muka untuk mengubah UN dalam format yang berbeda dari sebelumnhya.

Patut disadari, kebijakan UN yang sifatnya "top-down" di alam demokrasi menunjukkan aparat pendidikan di tingkat Pusat lebih menggunakan kekuasaan politik pendidikannya ketimbang masukan dari Daerah (botton-up). Dalih apa pun, bila nantinya Kemendikbud akan memaksakan kehendaknya, penyelenggaraan UN terus diwarnai penolakan.

Ada beberapa rekomendasi yang dibutuhkan untuk mengurai benang kusut penyelenggaraan UN. Pertama, Konvensi UN hendaknya bukan sebagai alat legitimasi kebijakan sebagai support yang lebih menjurus menguatkan politisasi peneyelenggaraan UN.

Kedua, sebaiknya UN bukan alat penentu kelulusan, melainkan sebagai program meningkatkan kualitas pendidikan. Prasyaratnya ini tentu tidak mesti pula UN dilakukan setiap tahun menimbang bahwa fungsi UN sebagai media tera kualitas pendidikan.

Ketiga, proses penyelenggaraan UN yang diketahui rawan kebocoran anggaran dan sulit menekan kecurangan di lapangan, ada baiknya dana triliunan rupiah yang dihabiskan untuk UN tersebut lebih dimanfaatkan kepada pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di daerah.

Sesungguhnya geografi pendidikan di Indonesia memang penuh disparitas. Terjadi kesenjangan sarana dan prasarana pendidikan antara di kota dan di desa. Dengan, tingkat sosial ekonomi orangtua murid di kota dan di desa yang berbeda, setidaknya pemerintah harus lebih tanggap terhadap pemerataan pendidikan.

Sejak dikeluarkannya UU Pendidikan No.20 Tahun 2002b tentang penyelenggaraan UN, apa pun cara yang ditempuh pemerintah cenderung bertemu jalan buntu. Banyak ahli, pengamat, kritisi atau praktisi pendidikan menyumbangkan pemikirannya, namun kebijakan UN terus jalan meski prosesnya acap kali amburadul. Diharapkan Konvensi UN sebagai siraman penyejuk agar pro-kontra UN terhenti.

Sumber: GALAMEDIA, Senin 30 September 2013

Caleg Gentong Babi

Politik gentong babi (pork barrel politics) merupakan penggunaan anggaran belanja pemerintah untuk proyek pembangunan dengan tujuan politik (Michael W Drudge, 2010). Di Indonesia dikenal sebagai politik anggaran (budgeting politics). Biasanya dilakukan kepala daerah atau wakil rakyat terkait langsung kucuran dana APBD atau APBN kepada masyarakat.

Dengan adanya proyek, terdapat dua keuntungan. Pertama, diharapkan simpati masyarakat akan meningkat terhadap sang kandidat. Kedua, dari proyek itu pula sang kandidat akan mendapatkan kickback atau komisi dari pengusaha.

Di Amerika Serikat, perilaku politik gentong babi sudah lama terjadi. Awal abad 19, Wakil Presiden AS, John C Calhoun, membuat jembatan dan jalan. Namun, proyek tersebut dianggap tidak bermanfaat (bridge nowhere) dan terjadi penggelembungan dana (mark-up). Malah lebih menguntungkan pribadi sang Wapres AS. Akhirnya rakyat Amerika mengecam perilaku John C Calhoun sebagai pelaku pork barrel spending.

Tidak hanya di Amerika, ternyata perilaku politik gentong babi juga menular ke beberapa negara lainnya, termasuk Filipina.
Masa pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos ketika mempertahankan kursi presidennya, ia dituding melakukan politik gentong babi oleh lawan politiknya, Benigno Aquino Jr. Begitu pula di Indonesia, Presiden SBY sempat dikritik soal program Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang ditengarai mendongkrak suara SBY pada Pilpres 2009.

Sudah mafhum adanya, politik gentong babi terjadi di Indonesia. Setelah pemilihan kepala daerah (pilkada) usai dimenangkan petahana, puluhan kasus gugatan masuk ke mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu gugatan utama, tentu saja permainan politik anggaran.

Dari sekian puluh kasus yang masuk ke MK, ternyata hanya segelintir yang terbukti. Bahkan, belum satu pun kasus masuk ke ranah korupsi. Ini artinya, permainan politik anggaran layaknya fatamorgana, tampak di depan mata tetapi sulit terbukti di depan hakim.
 
Caleg petahana

Pengalaman Pileg 2009 menyiratkan pemilihan langsung (direct vote) sangat tergantung kemahiran caleg secara individu beserta timnya menggaet suara. Hal yang sama juga bakal terjadi dalam Pileg 2014 nanti. 

Pileg 2014 mengacu pada UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012. Dalam Pasal 5 disebutkan, pemilu legislatif (DPR dan DPRD) dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
 Pasal 205 juga menjelaskan suara partai dan individu caleg diakumulasi, kemudian menjadi kuota kursi. Artinya, seorang caleg dinyatakan lolos menjadi wakil rakyat berdasarkan perolehan suara terbanyak di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.

Untuk calon DPRD Kabupeten/Kota dapil meliputi tiga hingga 12 kecamatan. Begitu pula caleg DPR dan DPRD Provinsi, ruang lingkupnya dua hingga lima kabupaten/kota. Luasnya wilayah garapan, mau tak mau mengorbankan biaya besar.

Jadi, bisa dibayangkan betapa banyaknya dana yang dikeluarkan seorang caleg untuk sosialisasi dan alat peraga berdialog di depan sejumlah massa. Apalagi saat ini penggunaan alat peraga baliho dan spanduk bukan lagi jurus ampuh mendulang suara.

Selain itu, akhir-akhir ini berkembang tren sosial, rakyat ingin langsung bertatap muka dengan calon yang akan diusungnya. Rakyat tidak mau “beli kucing dalam karung” lewat sihir alat peraga. Akibatnya sekarang terpaksa caleg blusukan menemui konstituennya.
Bisa dibayangkan betapa menggelembungnya dana yang dikeluarkan seorang caleg untuk sosialisasi. Bagi caleg memiliki dana pas-pasan tentu agak kerepotan. Tetapi bagi caleg petahana mungkin bisa diakali.

Salah satu kekhawatiran adalah penggunaan politik gentong babi. Dalam prasangka, ketika trimester terakhir anggaran pemerintah, sering dimunculkan proyek-proyek “aneh” berbasis bantuan sosial. Bahkan, dari proyek itu pula timbul komisi uang segar (fresh money) menujurus tindakan koruptif yang selanjutnya digunakan biaya sosialisai.

Mengusung proyek pembangunan di mata masyarakat merupakan nilai tambah. Namun, tindakan jargon memperdaya rakyat dengan proyek dadakan tanpa konsep jelas cenderung pemborosan anggaran pemerintah. Itu sebabnya perilaku politik gentong babi mesti diwaspadai. Alih-alih penggelontoran anggaran hanya sekadar politik pencitraan (imagology politics), ujungnya rakyat juga yang kena tipu. 

Sumber : SINAR HARAPAN, Sabtu 28 September 2013