Jumat, 02 Desember 2016

Defisit BPJS dan Solusi DLP



            Sejak awal diluncurkan (Januari 2014) sudah diprediksi bahwa program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)  melalui BPJS bakal mengalami defisit berkelanjutan (sustainability).  Itu karena BPJS bukan badan profit atau mencari keuntungan seperti perusahaan asuransi lainnya. Sebenarnya BPJS merupakan mandatory amanat UUD 1945, yang menjamin hak pelayanan kesehatan bagi setiap warga.
            Diketahui, tahun 2014 pemasukan BPJS sekitar RP 47,3 triliun. Sedangkan pengeluarannya Rp 49,1 triliun. Maka terjadi defisit Rp 1,8 triliun.  Begitu pula tahun 2015,  pendapatan iuran Rp 52,8 triliun, beban sekitar Rp 57,1 triliun, sehingga defisit sekitar Rp 4-5 triliun.
            Prediksi BPJS, hingga akhir Desember 2016 nanti, diperkirakan akan mengalami defisit sekitar Rp 6,7 triliun. Artinya BPJS harus berakrobat lagi menutup tidak seimbangnya rasio pemasukan dan biaya pengeluaran yang eufemisme-nya disebut sebagai mitch match rasio klaim.
            Padahal pemerintah lewat Peraturan Presiden No.19/2016 terhitung 1 April telah menaikkan iuran BPJS.  Untuk pasien kelas 1, dari yang semula Rp 59.500 naik menjadi Rp 80.000. Kelas 2 naik dari Rp 42.500 menjadi Rp 51.000. Namun untuk kelas 3 tetap pada iuran sebelumnya yaitu Rp 25.500 (tidak naik).
            Itu berarti sistem gotong royong (cross subsidy) yang diterapkan ternyata belum mampu menutupi tekornya klaim biaya kesehatan. Jika ditelisik, sekurangnya ada dua faktor yang menyebabkan mitch match rasio klaim yang sedang dialami BPJS.
            Pertama, masih kurangnya peserta mandiri dan  Pekerja Penerima Upah (PPU). Hingga Maret 2016, dilaporkan sekitar 163 juta peserta BPJS di Indonesia. Terdiri 63 persen yang seluruh biaya kesehatannya disubsidi pemerintah. Sementara peserta mandiri 13 persen, sedangkan PPU 24 persen.
            Kedua, membengkaknya klaim pasien rujukan. Sejak BPJS diluncurkan memang terjadi fenomena eforia masyarakat berobat. Selama ini cakupan BPJS adalah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Indonesia Case Based Groups (INA-CBG’s)  bagi Fasilitas Tingkat Lanjutan (FKTL).
            Untuk FKTP terdiri dari puskesmas, klinik dan dokter keluarga yang melayani 155 jenis diagnosa penyakit. Ini yang disebut pelayanan primer. Patut disayangkan, pelayanan primer sebagai penapis (barrier), tampaknya longgar.  Terbukti dokter di puskesmas cukup besar merujuk pasien ke rumah sakit (FKTL).  Atau malah, pasiennya sendiri meminta atau mendesak dokter untuk dirujuk ke FKTL.
            Adalah suatu realita, sebelum BPJS berjalan, memang selama ini masyarakat gemar menikmati obat-obatan dari warung atau toko obat untuk mengobati penyakitnya sendiri (self therapy). Hadirnya kartu BPJS dianggap “kartu sakti” yang mampu menebus biaya seluruh penyakit.  Sehingga rumah sakit membludak kunjungan pasien BPJS.
Di sisi lain, jenis penyakit katastropik seperti penyakit jantung, kanker, stroke, gagal ginjal atau non infeksi lainnya cenderung menelan biaya tinggi. Setiap tahun,  ada sekitar 1 juta pasien cuci darah. Nilainya 1 pasien cuci darah, biayanya kira-kira setara 500 biaya pasien berobat ke layanan primer. Itu sebabnya mulai tahun ini pemerintah mulai menerapkan Dokter Layanan Primer (DPL). Rangkaian kerjanya berkaitan dengan program BPJS di FKTP.

Dokter Layanan Primer
            Sebenarnya Dokter Layanan Primer (DPL) merupakan istilah baru dalam sejarah spesialisasi kedokteran di Indonesia.   Melalui UU 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (DikDok) pemerintah akan memproduksi dokter spesialisasi DPL, yakni dokter yang dibekali ilmu dan penyuluhan dan pencegahan penyakit.  
Diharapkan DPL proaktif mendatangi rumah-rumah pasien, mengobati dan memberi wejangan kesehatan..  Ini salah satu solusi pemerintah untuk menapis pasien di FKTP agar pasien tidak serta merta dirujuk ke FKTL.
            Pasal 8 UU DikDok menyebutkan:  Dalam hal mempercepat terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer..”.  Ditambah penegasan khusus DPL:  Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis.
            Layaknya isyarat crash program, ada keperluan mendesak. Tindak lanjutnya, Kemenkes dan Kemenristekdikti turun ke kampus. Bulan September 2016 yang lalu, beberapa FK (Fakultas kedokteran) Klasifikasi A di Indonesia mulai membuka program profesi spesialisai DLP.  Dengan tawaran, seluruh biaya spesialis ditanggung pemerintah.
            Sebaliknya, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) sebagai lembaga sertifikasi dokter menolak program DPL.  Termasuk PDUI (Persatuan Dokter Umum Indonesia) sempat mengajukan uji materiil UU tersebut di MK (Mahkamah Konstitusi). Tapi  permohohan PDUI ditolak (7/12/2015). Itu sebabnya beberapa waktu yang lalu para dokter unjuk rasa.  PDUI khawatir akan terjadi kriminalisasi dokter umum oleh DPL karena lahan praktiknya sama di layanan primer.
            Tatkala 3 tahun terakhir ini BPJS mengalami mitch match rasio klaim, alangkah elok bila pemerintah menunda sejenak program DPL yang notabene menyedot anggaran,  menunggu sampai  cross subsidy JKN stabil.

Koran KONTAN,  14 November 2016