TAHUN ajaran baru 2013 kali ini memang spesial.
Datangnya pas “jatuh tempo” bersamaan melonjaknya harga kebutuhan sehari-hari
imbas penaikan harga BBM, dan menjelang lebaran. Rasanya cobaan di bulan
ramadan ini bukan hanya sekadar menahan haus dan lapar saja. Saat ini orangtua dibikin sesak napas dan
jantung berdebar memikirkan buah hatinya ingin melanjutkan pendidikan, mulai
dari SD hingga perguruan tinggi. Inilah periode diperhitungkan banyak
mengeluarkan biaya.
Bagi kelas atas “the haves” mungkin tidak masalah. Tetapi bagi golongan
kelas menengah ke bawah, pegawai rendah, pedagang kecil, petani, buruh, dan
pekerja lain yang penghasilannya pas-pasan, tentu biaya pendidikan menjadi beban maha berat.
Kita
paham bahwa SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) untuk tingkat SD dan SMP
tidak dikutip pungutan. Sejak lama UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mengisyaratkan
anak usia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (wajardikdas). Pemerintah
Pusat dan Daerah atas nama negara menjamin terselenggaranya wajardikdas, tanpa
dipungut biaya.
Tetapi
di luar SPP gratis, rupanya orangtua terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk
perlengkapan sekolah seperti seragam, tas dan seperangkat buku pelajaran.
Mafhum. biasanya dibeli lewat belanja paket. Seolah siswa diarahkan ke sebuah
toko atau orang tertentu untuk memperolehnya.
Berbeda
dengan tingkat SMA sederajat. Seluruh biaya dibebankan kepada siswa, termasuk SPP,
perlengkapan sekolah dan DSP (Dana Sumbangan Pendidikan). Soal DSP atau uang
pangkal ini suka buat puyeng. Besarannya berbeda-beda tergantung Komite Sekolah
masing-masing. Untuk Kota Bandung
misalnya, DSP untuk SMA atau SMK Negeri berkisar Rp 1 Juta sampai Rp 5 juta. Selain
urusan biaya sekolah, orangtua tak jarang menyisakan ongkos transportasi sehari-hari
dan uang jajan anak tersayang.
Begitu
pula ingin masuk kampus. Untuk diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), calon
mahasiswa harus melewati jalur undangan SNMPTN dan seleksi tulis SBMPTN. Selain
itu, ada pula jalur Mandiri.
Mulai tahun 2013 ini seluruh PTN tidak lagi memungut uang pangkal.
Melainkan diberlakukan sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) per semester. Besarnya
disesuaikan kemampuan ekonomi orangtua mahasiswa.
Jadi
tidak ada lagi alasan mahasiswa PTN gagal kuliah karena faktor biaya. Pihak
kampus lewat subsidi pemerintah menyiapkan beasiswa dan biaya kehidupan (cost of living) selama studi. Kemudahan
ini diberikan khusus bagi mahasiswa yang mengalami hambatan finansial. Sayangnya untuk lolos diterima PTN bukan
cerita gampang, karena saingannya ketat.
Padahal
tahun sebelumnya biaya PTN cukup mahal. Untuk uang pangkal, relative mahal. Tergantung
fakultas dan universitas yang dituju. Sedihnya jika gagal masuk PTN, pilihan
lain ke PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Lantas berapa biayanya? Uangdisebutkan, pangkalnya bisa puluhan sampai ratusan juta
rupiah karena PTS tidak disubsidi pemerintah.
Para orangtua menyadari bahwa pendidikan bisa
membebaskan kebodohan dan kemiskinan untuk keturunannya. Tetapi semua itu harus
dibayar mahal. Pendidikan kerap ditebus barang berharga, mengeruk tabungan,
petani menjual sawah atau ternak, bahkan hutang sana-sini yang malah dapat berbalik
membuatnya jatuh miskin. Kondisi demikian oleh Paulo Freire (Pedagogy of the Opressed, 1970) disebut akibat
terjadinya proses dehumanisasi pendidikan.
“Orang
Miskin Dilarang Sekolah” kata Eko Prasetyo (2009). Menurutnya, kini wajah
pendidikan kian dicemari oleh mahalnya biaya dan kekerasan yang terjadi di
dalamnya. Para korban, lagi-lagi adalah orang miskin yang menjadi mayoritas
penduduk negeri ini. Kepercayaan atas pendidikan kian luntur, apalagi jaminan
masa depannya juga kabur.
Celakanya,
pendidikan murah apalagi gratis seakan hanya retorika belaka dan janji politik
yang acapkali membius rakyat. Realitanya sering kita saksikan siswa miskin
tersandera raport atau ijazahnya lantaran belum melunasi tunggakan iuran di
sekolah. Betapa mirisnya tatkala siswa miskin berprestasi, punya kemampuan
akademik baik, meratapi nasibnya ingin sekolah atau kuliah.
Sumber: TRIBUN JABAR, 17 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar