Selasa, 27 Agustus 2013

Tsunami Tahun Ajaran Baru

           TAHUN ajaran baru 2013 kali ini memang spesial. Datangnya pas “jatuh tempo” bersamaan melonjaknya harga kebutuhan sehari-hari imbas penaikan harga BBM, dan menjelang lebaran. Rasanya cobaan di bulan ramadan ini bukan hanya sekadar menahan haus dan lapar saja.  Saat ini orangtua dibikin sesak napas dan jantung berdebar memikirkan buah hatinya ingin melanjutkan pendidikan, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Inilah periode diperhitungkan banyak mengeluarkan biaya.
            Bagi kelas atas “the haves  mungkin tidak masalah. Tetapi bagi golongan kelas menengah ke bawah, pegawai rendah, pedagang kecil, petani, buruh, dan pekerja lain yang penghasilannya pas-pasan, tentu  biaya pendidikan menjadi beban maha berat.
            Kita paham bahwa SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) untuk tingkat SD dan SMP tidak dikutip pungutan. Sejak lama UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mengisyaratkan anak usia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (wajardikdas). Pemerintah Pusat dan Daerah atas nama negara menjamin terselenggaranya wajardikdas, tanpa dipungut biaya.
            Tetapi di luar SPP gratis, rupanya orangtua terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk perlengkapan sekolah seperti seragam, tas dan seperangkat buku pelajaran. Mafhum. biasanya dibeli lewat belanja paket. Seolah siswa diarahkan ke sebuah toko atau orang tertentu untuk memperolehnya.
            Berbeda dengan tingkat SMA sederajat. Seluruh biaya dibebankan kepada siswa, termasuk SPP, perlengkapan sekolah dan DSP (Dana Sumbangan Pendidikan). Soal DSP atau uang pangkal ini suka buat puyeng. Besarannya berbeda-beda tergantung Komite Sekolah masing-masing.  Untuk Kota Bandung misalnya, DSP untuk SMA atau SMK Negeri berkisar Rp 1 Juta sampai Rp 5 juta. Selain urusan biaya sekolah, orangtua tak jarang menyisakan ongkos transportasi sehari-hari dan uang jajan anak tersayang.
            Begitu pula ingin masuk kampus. Untuk diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), calon mahasiswa harus melewati jalur undangan SNMPTN dan seleksi tulis SBMPTN. Selain itu,  ada pula jalur Mandiri.
Mulai tahun 2013 ini  seluruh PTN tidak lagi memungut uang pangkal. Melainkan diberlakukan sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) per semester. Besarnya disesuaikan kemampuan ekonomi orangtua mahasiswa.
            Jadi tidak ada lagi alasan mahasiswa PTN gagal kuliah karena faktor biaya. Pihak kampus lewat subsidi pemerintah menyiapkan beasiswa dan biaya kehidupan (cost of living) selama studi. Kemudahan ini diberikan khusus bagi mahasiswa yang mengalami hambatan finansial.  Sayangnya untuk lolos diterima PTN bukan cerita gampang, karena saingannya ketat.
            Padahal tahun sebelumnya biaya PTN cukup mahal. Untuk uang pangkal, relative mahal. Tergantung fakultas dan universitas yang dituju. Sedihnya jika gagal masuk PTN, pilihan lain ke PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Lantas berapa biayanya? Uangdisebutkan,   pangkalnya bisa puluhan sampai ratusan juta rupiah  karena PTS tidak disubsidi pemerintah.
Para orangtua menyadari bahwa pendidikan bisa membebaskan kebodohan dan kemiskinan untuk keturunannya. Tetapi semua itu harus dibayar mahal. Pendidikan kerap ditebus barang berharga, mengeruk tabungan, petani menjual sawah atau ternak, bahkan hutang sana-sini yang malah dapat berbalik membuatnya jatuh miskin. Kondisi demikian oleh Paulo Freire (Pedagogy of the Opressed, 1970) disebut akibat terjadinya proses dehumanisasi pendidikan.
            “Orang Miskin Dilarang Sekolah” kata Eko Prasetyo (2009). Menurutnya, kini wajah pendidikan kian dicemari oleh mahalnya biaya dan kekerasan yang terjadi di dalamnya. Para korban, lagi-lagi adalah orang miskin yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini. Kepercayaan atas pendidikan kian luntur, apalagi jaminan masa depannya juga kabur.
            Celakanya, pendidikan murah apalagi gratis seakan hanya retorika belaka dan janji politik yang acapkali membius rakyat. Realitanya sering kita saksikan siswa miskin tersandera raport atau ijazahnya lantaran belum melunasi tunggakan iuran di sekolah. Betapa mirisnya tatkala siswa miskin berprestasi, punya kemampuan akademik baik, meratapi nasibnya ingin sekolah atau kuliah. 
Sumber: TRIBUN JABAR, 17 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar