Minggu, 27 November 2016

Menyoal Hukuman Kebiri



           BELUM lama ini (12/10), DPR mengesahkan Rancangan UU Penetapan Perppu No.1/2016 perubahan kedua atas UU No.22/2002 tentang Perlindungan Anak. Hal yang kontoversial dari Perppu tersebut, selain dihukum fisik (bui);  penjahat seksual terhadap anak (pedofilia) juga akan diberi “bonus” kebiri lewat suntikan kimiawi.
Sebenarnya bulan Mei yang lalu, Perppu No.1/2016 sudah ditandatangani Presiden Jokowi. Kala itu memang hangat-hangatnya mencuat kasus pemerkosaan/pembunuhan gadis cilik di Bengkulu. Beruntun kasus pedofilia lainnya merebak Tanah Air. Itu sebabnya pemerintah menyeru siaga terhadap pemerkosaan anak. Presiden spontan mengeluarkan Perppu.
 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) juga menimpali, selama tahun 2015, ada 2898 kasus kekerasan terhadap anak, 59,3 persen diantaranya adalah kejahatan seksual. Diam-diam predator pedofilia mengkhawatirkan para orangtua.
Meski Perppu sudah disahkan DPR, sampai sekarang pemerintah belum memutuskan bagaimana teknis pengibirian kimiawi dimaksud. Pasalnya, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menolak menjadi eksekutor. Artinya, para dokter enggan dilibatkan sebagai penyuntik pada penjahat pedofilia.  Alasannya, eksekusi kebiri  bertentangan dengan kode etik kedokteran. Selain itu, tindakan hukuman kebiri bukan termasuk pelayanan medis.
UU No.23/1992 tentang Kesehatan juga memberikan hak pasien untuk menolak atau setuju atas tindakan medis terhadap dirinya. Hak ini kemudian diuraikan dalam Permenkes tentang persetujuan tindakan medis (Informed Concern). Karena tindakan medis tanpa persetujuan pasien, dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melawan hukum.
Ditambah lagi World Medical Association (Organisasi Dokter Sedunia) sebagai panutan IDI, dalam suatu deklarasi pernah mengimbau, agar dokter tidak terlibat penyiksaan terhadap tahanan karena melanggar hak asasi manusia. Inilah persoalan mendasar mengapa IDI berkelit menjadi eksekutor. Akibatnya, pemerintah galau, bingung menetapkan eksekutor.



Kebiri kimiawi
            Sejak zaman dulu, kebiri (kastrasi) memang sering dilakukan. Sejarah pengebirian terjadi lebih dari 4.000 tahun silam.  Mereka yang dikebiri umumnya budak lelaki yang disebut kasim (eunuch), kesuburannya dihilangkan (castrated), dengan memotong alat kelamin lelaki dewasa .
Pada era Tiongkok kuno, selain pengebirian sebagai bentuk hukuman tradisional (hingga Dinasti Sui), juga sarana untuk mendapatkan pekerjaan di kalangan istana kaisar. Ketika Dinasti Ming berakhir (tahun 1644), tercatat 70 ribu kasim di istana kaisar. Konon, Laksamana Cheng Ho yang terkenal sempat singgah ke Indonesia itu, juga tak luput dari pengebirian.
Dahulu di Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika, dan Asia Timur, setelah peperangan, pemenangnya  mengebiri prajurit yang dikalahkan sebagai simbol "merampas" kekuatan dan keperkasaan. Lelaki yang dikebiri  kemudian dipekerjakan sebagai pegawai birokrasi atau pengurus rumahtangga istana. Tak kalah penting, lelaki pelayan istana dilemahkan libidonya atau dihilangkan organ kelaminnya supaya jangan selingkuh dengan selir raja.
Tetapi,   di abad modern ini , fungsi kebiri jauh berbeda. Selain fungsi normatif mencegah kehamilan (Keluarga Berencana), kebiri dilakukan pada penjahat seksual. tambahan hukuman Sekarang ada belasan negara menerapkan hukuman kebiri terhadap tahanan kejahatan seksual. Diantaranya Ceko, Jerman, Moldova, Estonia, Argentina, Australia, Israel, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, serta beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Sebenarnya cara hukuman kebiri ada dua macam, yaitu melalui operasi atau suntikan kimiawi (chemical castration). Di Amerika Serikat, kebiri melalui operasi pengangkatan testis masih dilakukan, khususnya bagi penjahat seksual. Tetapi sebagian warganya ada yang mengecam.  Association for the Treatment of Sexual Abuses (The ATSA) – Asosiasi untuk Pengobatan Korban Penyalahgunaan Seksual dan pejuang hak sipil  (American Civil Liberties Union)  protes bahwa operasi pengangkatan testis terhadap tahanan dianggap perbuatan barbar dan kejam.
Tetapi sebagian besar negara menggunakan kastrasi kimiawi, yaitu lewat suntikan anti andogen sintetik untuk menekan fungsi libido. Metoda kebiri suntikan kimiawi yang dipakai ada dua jenis. Pertama, bersifat nekrotikan atau menyuntik zat kimia agar sel testis mengerut kemudian mati.
Kedua, penggunaan hormonal anti-androgen (biasanya depo provera sintetik) ke tubuh seseorang agar produksi hormon testosteron berkurang. Hormon testosterone dianggap biangkeladi pendorong “syur”nya syahwat lelaki. Metode penyuntikan kimiawi jenis ini yang akan diterapkan di Indonesia.

Kurang efektif
Jika Indonesia menggunakan suntikan kimiawi terhadap tahanan penjahat pedofilia, bisa dikatakan kurang efektif.  Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan. Pertama, jika suntikan anti-androgen dihentikan,dalam kurun waktu tertentu efeknya juga akan berhenti, dan pemerkosa akan kembali lagi mendapatkan fungsi seksualnya. Jadi mirip suntikan KB pada umumnya. Selain itu, literatur kedokteran menyebutkan, efek negatif anti-androgen meningkatkan  risiko tulang keropos atau osteoporosis, feminin dan penyakit jantung.
Kedua, pelaku fedofilia berpotensi melakukan aksi kejahatan berulang selama kondisi mentalnya tidak diobati.  Karena penjahat pedofilia termasuk jenis penyimpangan perilaku seksual.  Maka dibutuhkan peran dokter mengintervensi tahanan untuk terapi kejiwaan.
Ketiga, data kasus menerangkan pelaku kejahatan seksual terhadap anak hampir sering dilakukan orang terdekat. Oleh sebab itu para orangtua harus waspada terhadap lelaki dewasa di sekitar anak kesayangannya.
Terakhir, pemerintah harus segera memutuskan eksekutor suntikan kebiri agar UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak dan Perppu No.1/2016 tidak mangkrak. Setidaknya kebiri menjadi efek jera  untuk menekan angka kejahatan pedofilia di Indonesia. 

GALAMEDIA,  1 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar