BELUM lama ini (12/10), DPR mengesahkan
Rancangan UU Penetapan Perppu No.1/2016 perubahan kedua atas UU No.22/2002 tentang
Perlindungan Anak. Hal yang kontoversial dari Perppu tersebut, selain dihukum
fisik (bui); penjahat seksual terhadap
anak (pedofilia) juga akan diberi “bonus” kebiri lewat suntikan kimiawi.
Sebenarnya bulan Mei
yang lalu, Perppu No.1/2016 sudah ditandatangani Presiden Jokowi. Kala itu
memang hangat-hangatnya mencuat kasus pemerkosaan/pembunuhan gadis cilik di
Bengkulu. Beruntun kasus pedofilia lainnya merebak Tanah Air. Itu sebabnya
pemerintah menyeru siaga terhadap pemerkosaan anak. Presiden spontan
mengeluarkan Perppu.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak)
juga menimpali, selama tahun 2015, ada 2898 kasus kekerasan terhadap anak, 59,3
persen diantaranya adalah kejahatan seksual. Diam-diam predator pedofilia
mengkhawatirkan para orangtua.
Meski Perppu sudah
disahkan DPR, sampai sekarang pemerintah belum memutuskan bagaimana teknis
pengibirian kimiawi dimaksud. Pasalnya, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menolak
menjadi eksekutor. Artinya, para dokter enggan dilibatkan sebagai penyuntik
pada penjahat pedofilia. Alasannya,
eksekusi kebiri bertentangan dengan kode
etik kedokteran. Selain itu, tindakan hukuman kebiri bukan termasuk pelayanan
medis.
UU No.23/1992 tentang
Kesehatan juga memberikan hak pasien untuk menolak atau setuju atas tindakan
medis terhadap dirinya. Hak ini kemudian diuraikan dalam Permenkes tentang
persetujuan tindakan medis (Informed
Concern). Karena tindakan medis tanpa persetujuan pasien, dapat dianggap
sebagai penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melawan hukum.
Ditambah lagi World
Medical Association (Organisasi Dokter Sedunia) sebagai panutan IDI, dalam
suatu deklarasi pernah mengimbau, agar dokter tidak terlibat penyiksaan
terhadap tahanan karena melanggar hak asasi manusia. Inilah persoalan mendasar mengapa
IDI berkelit menjadi eksekutor. Akibatnya, pemerintah galau, bingung menetapkan
eksekutor.
Kebiri
kimiawi
Sejak zaman
dulu, kebiri (kastrasi) memang sering dilakukan. Sejarah pengebirian terjadi lebih
dari 4.000 tahun silam. Mereka yang
dikebiri umumnya budak lelaki yang disebut kasim (eunuch), kesuburannya dihilangkan (castrated), dengan memotong alat kelamin lelaki dewasa .
Pada era Tiongkok kuno,
selain pengebirian sebagai bentuk hukuman tradisional (hingga Dinasti Sui),
juga sarana untuk mendapatkan pekerjaan di kalangan istana kaisar. Ketika
Dinasti Ming berakhir (tahun 1644), tercatat 70 ribu kasim di istana kaisar.
Konon, Laksamana Cheng Ho yang terkenal sempat singgah ke Indonesia itu, juga
tak luput dari pengebirian.
Dahulu di Eropa, Timur
Tengah, Asia Selatan, Afrika, dan Asia Timur, setelah peperangan, pemenangnya mengebiri prajurit yang dikalahkan sebagai
simbol "merampas" kekuatan dan keperkasaan. Lelaki yang dikebiri
kemudian dipekerjakan sebagai pegawai birokrasi atau pengurus rumahtangga
istana. Tak kalah penting, lelaki pelayan istana dilemahkan libidonya atau
dihilangkan organ kelaminnya supaya jangan selingkuh dengan selir raja.
Tetapi, di abad
modern ini , fungsi kebiri jauh berbeda. Selain fungsi normatif mencegah
kehamilan (Keluarga Berencana), kebiri dilakukan pada penjahat seksual. tambahan
hukuman Sekarang ada belasan negara menerapkan hukuman kebiri terhadap tahanan
kejahatan seksual. Diantaranya Ceko, Jerman, Moldova, Estonia, Argentina,
Australia, Israel, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, serta beberapa negara
bagian di Amerika Serikat.
Sebenarnya cara hukuman
kebiri ada dua macam, yaitu melalui operasi atau suntikan kimiawi (chemical castration). Di Amerika
Serikat, kebiri melalui operasi pengangkatan testis masih dilakukan, khususnya
bagi penjahat seksual. Tetapi sebagian warganya ada yang mengecam. Association
for the Treatment of Sexual Abuses (The ATSA) – Asosiasi untuk Pengobatan
Korban Penyalahgunaan Seksual dan pejuang hak sipil (American Civil Liberties Union)
protes bahwa operasi pengangkatan testis terhadap tahanan dianggap
perbuatan barbar dan kejam.
Tetapi sebagian besar
negara menggunakan kastrasi kimiawi, yaitu lewat suntikan anti andogen sintetik
untuk menekan fungsi libido. Metoda kebiri suntikan kimiawi yang dipakai ada
dua jenis. Pertama, bersifat nekrotikan atau menyuntik zat kimia agar sel
testis mengerut kemudian mati.
Kedua, penggunaan hormonal
anti-androgen (biasanya depo provera sintetik) ke tubuh seseorang agar produksi
hormon testosteron berkurang. Hormon testosterone dianggap biangkeladi
pendorong “syur”nya syahwat lelaki. Metode penyuntikan kimiawi jenis ini yang
akan diterapkan di Indonesia.
Kurang
efektif
Jika
Indonesia menggunakan suntikan kimiawi terhadap tahanan penjahat pedofilia,
bisa dikatakan kurang efektif. Ada
beberapa hal yang perlu dipikirkan. Pertama,
jika suntikan anti-androgen dihentikan,dalam kurun waktu
tertentu efeknya juga akan berhenti, dan pemerkosa akan kembali lagi
mendapatkan fungsi seksualnya. Jadi mirip suntikan KB pada umumnya. Selain itu,
literatur kedokteran menyebutkan,
efek negatif anti-androgen meningkatkan risiko tulang keropos atau osteoporosis, feminin
dan penyakit jantung.
Kedua,
pelaku fedofilia berpotensi melakukan aksi kejahatan berulang selama kondisi
mentalnya tidak diobati. Karena penjahat
pedofilia termasuk jenis penyimpangan perilaku seksual. Maka dibutuhkan peran dokter mengintervensi
tahanan untuk terapi kejiwaan.
Ketiga,
data kasus menerangkan pelaku kejahatan seksual terhadap anak hampir sering
dilakukan orang terdekat. Oleh sebab itu para orangtua harus waspada terhadap
lelaki dewasa di sekitar anak kesayangannya.
Terakhir, pemerintah
harus segera memutuskan eksekutor suntikan kebiri agar UU No.23/2002 tentang
Perlindungan Anak dan Perppu No.1/2016 tidak mangkrak. Setidaknya kebiri
menjadi efek jera untuk menekan angka
kejahatan pedofilia di Indonesia.
GALAMEDIA, 1 November 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar