Adalah Thomas
Hobbes (Leviatan) menyebut: “homo homini lupus”. Manusia menjadi srigala bagi
manusia lainnya. Antar kelompok, berkelindan mengumbar cakar politik. Itulah kesan yang tertangkap dari dinamika
politik menuju pilkada DKI Jakarta 2017.
Kegaduhan yang
tercipta ibarat hooliganisme sepakbola. Sebelum wasit meniup peluit pertandingan,
pemainnya (cagub) terpancing melontarkan sindiran ke arah lawan. Simpatisan ikut
berkobar, lalu ucapan cagub idolanya didaur ulang dengan fakta dan data yang sumir
(pseudo information). Kemudian
dibumbui kebencian, merusak kesantunan politik.
Anehnya, tidak ada
prinsip utama yang dipertahankan, kecuali masing-masing pendukung saling menjatuhkan.
Inilah banalitas politik yang tidak boleh terjadi. “The roots of violence: politics without principles” kata Mahatma
Gandhi.
Padahal lebih 15
tahun pasca reformasi. Selama itu pula republik kita telah mengajarkan
demokrasi pilkada. Semestinya rakyat Jakarta lebih cerdas berdemokrasi. Tetapi sebaliknya,
akhir-akhir ini yang ditampilkan horor
politik.
Banyak tokoh partai, akademisi, bahkan masyarakat awam angkat
bicara pilkada Jakarta. Pelakunya tak jarang
menganut pola primitif -- menyampingkan
etika dan moral – dengan melebihkan porsi teknis strategi dan intrik, bahkan sesekali
umbar fitnah.
Jakarta sebagai barometer politik, destruksi dari orientasi panutan. Kami orang
daerah melihatnya seumpama myopia politik. Di kejauhan tampak bayangan suram cermin
buruk demokrasi. Coba pikirkan, di luar DKI Jakarta, masih ada 100 daerah lainnya
yang berproses sama pilkada serentak. Dikhawatirkan politik “caci maki” Jakarta
itu mengimbas ke daerah.
Dari daerah, kami menyaksikan -- lewat
televisi, media massa dan media sosial -- suasana politik Jakarta sungguh “panas”. Padahal di musim penghujan
ini, seharusnya lebih adem. Rupanya makna curah hujan tidak berkolerasi
sejuknya hati. Kearifan alam tampaknya tak mempan menurunkan tensi politik.
Cukup jenuh kami menyaksikan debat politik
bermetafosa menjadi kalimat memaki. Kritik tak lagi berubah menjadi
auto-kritik. Ketersinggungan frasa kata, berpindah ke arah sarkasme. Diskursus
politik menjelma dalam kemarahan politik. Akibatnya body language politisi dicerminkan oleh emosional perilaku, bukan
dari kecerdasannya berbicara.
Fenomena komunikasi politik menyakiti
bagaikan suatu kelaziman. Kekerasan politik ditunjukkan secara vertikal menghujat penguasa mau pun
horisontal kepada lawan politik. Seakan-akan hasrat kekuasaan menyimpan ketidakadilan
pada dirinya. Dalam istilah Dom Helder Camara, (Spiral of Violenc,1971), ketidakadilan personal atau komunal
menyebabkan aksi kekerasan institusi di dalam negara yang dilahap warganya
sendiri. Kekerasan politik akan berbalas satu sama lain (violence attracts violence).
Media sosial
Salah satu fenomena yang merebak adalah
penggunaan SARA (Suku, Ras, Agama, Antar Golongan). Betapa mudahnya SARA digunakan sebagai senjata
politik. Pesan SARA ini diunggah lewat media sosial, meminjam otoritas
kebenaran, akhirnya saling menjelekkan atau membunuh karakter (character assacination). Seakan-akan
Pancasila tersimpan di bingkai emas, diikat mulutnya dan ditumpulkan cakarnya.
Setidaknya
kini kita mulai sukar membedakan disparitas kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign). Padahal kampanye
negatif itu sesuai fakta, sedangkan kampanye hitam jauh dari realita. Keduanya berbaur menjadi kesatuan informasi
semrawut.
Media
sosial diperankan salah satu pilihan ampuh untuk mendoktrin masyarakat. Akibat
peran media sosial yang over dosis, ia akan masuk pada kondisi budaya manusia
hiper realitas multi makna, tak sesuai dengan kenyataan sehari-hari (Yasraf Piliang:
1998).
Tak
terbayangkan, pengguna telepon seluler (ponsel) di Indonesia 280 juta (US Cencus Burea:,2015). Sekitar 82 juta
orang pemakai ponsel pintar (smartphone)
berbasis android dominan bermain sosial media seperti instagram, facebook, twitter, line, weblog, sms, bbm, whatsapp dan
lainnya (Kominfo: 2016). Ponsel dimainkan layaknya pedang demokles, satu sisi
untuk kebaikan, namun sisi lainnya acapkali digunakan untuk memberangus lawan
politik. Informasi sesat itu yang banyak kami peroleh dari proses pilkada
Jakarta.
Patut disayangkan, penggunaan sosial media di
Tanah Air kita nyaris kebablasan. Akibat pola demokrasi pilkada yang sesat
tercipta dehumanisasi politik. Pada titik kritis, puritanisme kekekuasan semata
menetaskan disorientasi pendidikan politik rakyat. Terus terang, itu limpasan kecemasan
yang saat ini sedang kami alami di daerah
Pada
rentang pilkada serentak yang relatif masih lama, 15 Februari 2017 nanti, hendaknya
para pendukung pilkada DKI Jakarta menahan diri. Semua pihak harus ditegaskan kembali,
Pasal 69 huruf UU Pilkada Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pilkada berbunyi: “Dalam
kampanye dilarang, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon
gubernur, calon bupati, calon walikota, dan atau partai politik”.
Bila
kecenderungan kampanye hitam dan negatif dibiarkan merebak, maka potensi
kekerasan politik berbanding lurus dengan ancaman stabilitas. Sebenarnya solusi besar yang kita harapkan
adalah masing-masing pendukung cagub pilkada DKI Jakarta menjaga kondusifitas.
Keniscayaan semua pihak membawa seluruh proses pilkada dengan bahagia.
MBM Tempo, 22 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar