Minggu, 27 November 2016

Horor Pilkada Jakarta



              Adalah Thomas Hobbes (Leviatan) menyebut: “homo homini lupus”. Manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya. Antar kelompok, berkelindan mengumbar cakar politik.  Itulah kesan yang tertangkap dari dinamika politik menuju pilkada DKI Jakarta 2017.
            Kegaduhan yang tercipta ibarat hooliganisme sepakbola. Sebelum wasit meniup peluit pertandingan, pemainnya (cagub) terpancing melontarkan sindiran ke arah lawan. Simpatisan ikut berkobar, lalu ucapan cagub idolanya didaur ulang dengan fakta dan data yang sumir (pseudo information). Kemudian dibumbui kebencian, merusak kesantunan politik.
            Anehnya, tidak ada prinsip utama yang dipertahankan, kecuali masing-masing pendukung saling menjatuhkan. Inilah banalitas politik yang tidak boleh terjadi. “The roots of violence: politics without principles” kata Mahatma Gandhi.
            Padahal lebih 15 tahun pasca reformasi. Selama itu pula republik kita telah mengajarkan demokrasi pilkada. Semestinya rakyat Jakarta lebih cerdas berdemokrasi. Tetapi sebaliknya, akhir-akhir ini yang ditampilkan  horor politik.
Banyak tokoh partai, akademisi, bahkan masyarakat awam angkat bicara pilkada Jakarta. Pelakunya  tak jarang menganut pola primitif  -- menyampingkan etika dan moral – dengan melebihkan porsi teknis strategi dan intrik, bahkan sesekali umbar fitnah.
            Jakarta sebagai barometer politik,  destruksi dari orientasi panutan. Kami orang daerah melihatnya seumpama myopia politik. Di kejauhan tampak bayangan suram cermin buruk demokrasi.  Coba pikirkan,  di luar DKI Jakarta, masih ada 100 daerah lainnya yang berproses sama pilkada serentak. Dikhawatirkan politik “caci maki” Jakarta itu mengimbas ke daerah.
            Dari daerah, kami menyaksikan -- lewat televisi, media massa dan media sosial -- suasana politik Jakarta  sungguh “panas”. Padahal di musim penghujan ini, seharusnya lebih adem. Rupanya makna curah hujan tidak berkolerasi sejuknya hati. Kearifan alam tampaknya tak mempan menurunkan tensi politik.
 Cukup jenuh kami menyaksikan debat politik bermetafosa menjadi kalimat memaki. Kritik tak lagi berubah menjadi auto-kritik. Ketersinggungan frasa kata, berpindah ke arah sarkasme. Diskursus politik menjelma dalam kemarahan politik. Akibatnya body language politisi dicerminkan oleh emosional perilaku, bukan dari kecerdasannya berbicara.
            Fenomena komunikasi politik menyakiti bagaikan suatu kelaziman. Kekerasan politik ditunjukkan secara  vertikal menghujat penguasa mau pun horisontal kepada lawan politik. Seakan-akan hasrat kekuasaan menyimpan ketidakadilan pada dirinya. Dalam istilah Dom Helder Camara, (Spiral of Violenc,1971), ketidakadilan personal atau komunal menyebabkan aksi kekerasan institusi di dalam negara yang dilahap warganya sendiri. Kekerasan politik akan berbalas satu sama lain (violence attracts violence).

Media sosial
            Salah satu fenomena yang merebak adalah penggunaan SARA (Suku, Ras, Agama, Antar Golongan).  Betapa mudahnya SARA digunakan sebagai senjata politik. Pesan SARA ini diunggah lewat media sosial, meminjam otoritas kebenaran, akhirnya saling menjelekkan atau membunuh karakter (character assacination). Seakan-akan Pancasila tersimpan di bingkai emas, diikat mulutnya dan ditumpulkan cakarnya.
Setidaknya kini kita mulai sukar membedakan disparitas kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign). Padahal kampanye negatif itu sesuai fakta, sedangkan kampanye hitam jauh dari realita.  Keduanya berbaur menjadi kesatuan informasi semrawut.
Media sosial diperankan salah satu pilihan ampuh untuk mendoktrin masyarakat. Akibat peran media sosial yang over dosis, ia akan masuk pada kondisi budaya manusia hiper realitas multi makna, tak sesuai dengan kenyataan sehari-hari (Yasraf Piliang: 1998).
Tak terbayangkan, pengguna telepon seluler (ponsel) di Indonesia 280 juta (US Cencus Burea:,2015). Sekitar 82 juta orang pemakai ponsel pintar (smartphone) berbasis android dominan bermain sosial media seperti instagram, facebook, twitter, line, weblog, sms, bbm, whatsapp dan lainnya (Kominfo: 2016). Ponsel dimainkan layaknya pedang demokles, satu sisi untuk kebaikan, namun sisi lainnya acapkali digunakan untuk memberangus lawan politik. Informasi sesat itu yang banyak kami peroleh dari proses pilkada Jakarta.
 Patut disayangkan, penggunaan sosial media di Tanah Air kita nyaris kebablasan. Akibat pola demokrasi pilkada yang sesat tercipta dehumanisasi politik. Pada titik kritis, puritanisme kekekuasan semata menetaskan disorientasi pendidikan politik rakyat. Terus terang, itu limpasan kecemasan yang saat ini sedang kami alami di daerah
Pada rentang pilkada serentak yang relatif masih lama, 15 Februari 2017 nanti, hendaknya para pendukung pilkada DKI Jakarta menahan diri. Semua pihak harus ditegaskan kembali,  Pasal 69 huruf UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada berbunyi: “Dalam kampanye dilarang, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon bupati, calon walikota, dan atau partai politik”.
Bila kecenderungan kampanye hitam dan negatif dibiarkan merebak, maka potensi kekerasan politik berbanding lurus dengan ancaman stabilitas.  Sebenarnya solusi besar yang kita harapkan adalah masing-masing pendukung cagub pilkada DKI Jakarta menjaga kondusifitas. Keniscayaan semua pihak membawa seluruh proses pilkada dengan bahagia. 

MBM Tempo,  22 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar