AKHIR-akhir ini masyarakat
kita -- khususnya pemangku kesehatan di Indonesia – agak dikagetkan oleh jenis
atau strain virus baru yang dikenal
sebagai virus Zika. Informasi ini disampaikan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia)
tentang status waspada khususnya bagi orang yang bepergian ke 22 negara yang
dianggap rawan virus Zika, umumnya di kawasan Amerika Latin dan Karibia.
Dilaporkan virus Zika menyebabkan mikrocefali (mengecilnya
lingkar kepala) dan merusak sistem saraf (sindrom Gullain-Barre) pada bayi. Bahkan virus ini dapat menular lewat hubungan
sexual dan darah. Rantai penghubungnya melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti
yang cukup potensial di Indonesia.
Beberapa hari yang lalu, negara
tetangga Singapura dan Thailand juga resah. Di Singapura ditemukan 41 kasus
terserang virus Zika. Di Thailand, sejak Januari 2016, ditemukan 97 kasus. Paling
menyedihkan adalah Brazil, lebih 1,5 juta orang sudah terjangkit, dan tercatat 4000
bayi yang telah dilahirkan mengalami mikrocefali. Pemerintah Brazil langsung menganjurkan
agar wanita di negara itu menunda kehamilannya sampai epidemik virus ini reda.
Meski tercatat baru 2 kasus di
Indonesia, kabarnya dialami seorang suku anak dalam di Sumatera dan seorang turis,
namun hingga kini belum kelihatan tanda-tanda kasus virus Zika menyeruak. Belum
lama ini Ibu Menkes Nila Moeloek mengimbau agar perempuan hamil menunda dulu
kepergiannya ke Singapura. Lalu
diupayakan pemantauan arus pendatang dari luar negeri.
Salah
satu tindaakan, di bandara mulai dipasang alat pemindai suhu tubuh (thermoscanner) khususnya di terminal
kedatangan bandara internasional. Kejadian ini sama seperti pada beberapa tahun
sebelumnya kita sempat waspada terhadap masuknya virus SARS. MERS. H5N1, Ebola
dan sebagainya.
Sebenarnya serangan virus Zika ini
mirip dengan virus demam berdarah (Dengue), karena masih satu garis, yakni
strain flavivirus yang ditularkan melalui
perantara nyamuk Aedes Aegypti. Karakteristik gejalanya juga hampir sama, seperti
demam, nyeri otot, sakit kepala dan mata merah, dengan masa inkubasi 2-7
hari. Tapi yang berbeda dengan demam
berdarah, virus Zika sanggup membikin mikrocefali dan penciutan otak bayi yang
dikandung bila ibunya terserang. Selain itu dimungkinkan menyebar dari hubungan
sexual.
Sayangnya informasi virus Zika ini tampaknya
kurang begitu gencar. Seakan-akan ada sesuatu yang timpang dalam informasi
kesehatan. Saat ini publikasi penyakit menular lebih banyak dilakukan media
massa. Dalam hal ini, media massa cukup jeli dan cepat menyajikan informasi
kesehatan untuk kemudioan dimengerti oleh masyarakat awam. Tampaknya pers lebih
gesit ketimbang kalangan kesehatan/kedokteran sendiri.
Alasannya
mungkin benar menurut Gary L Kreps, dokter selalu terpagari pertimbangan hokum
dan etika kedokteran serta pertimbangan budaya masyarakat (Health Communication, Longman, 190-207). Dengan kata lain, orang
akan heboh bila korban virus Zika mulai berjatuhan.
Bagi Indonesia virus Zika suatu
ancaman. Apalagi nyamuk Aedes Agypti
merupakan “sahabat sehari-hari” di kehidupan kita. Dalam peeriode tertentu –
umumnya akhir musim penghujan dan awal kemarau – dimana banyak genangan air
pada lingkungan yang jelek, pada saat itu pula nyamuk Aedes Agypti berkembang
biak dengan pesat. Tak jarang kita mendengar kematian akibat demam berdarah.
Film “Outbreak” (1995), Pandemic
(2007), Contagion (2011), The Flu (2013) serta drama medical
thriller lainnya cukup membuat kita bergidik bila ditonton. Kita menyaksikan
wabah virus begitu tragis menyerang manusia. Contoh konkritnya secara nyata
sempat dialami Brazil.
Beberapa tahun silam kita pernah
disibukkan virus flu burung mematikan. Ribuan hingga jutaan ungas (ayam)
sengaja dimatikan karena menginap virus flu burung. .Dampaknya cukup hebat, sebagian peternakan
ayam rakyat bangkrut. Ratusan milyar bahkan triliun rupiah anggaran
dikeluarkan, baik dari dalam negeri mau pun bantuan luar negeri untuk membasmi
flu burung.
Tetapi bagaimana bila virus Zika
menjadi wabah lewat nyamuk Aedes Agypty?
Inilah kemungkinan terjelek yang tidak kita inginkan. Sejarah
perkembangan wabah penyakit menular di Indonesia memang bukan hal baru, meski
tidak seburuk yang saat ini sedang terjangkit di beberapa negara di Afrika.
Ketika
dahulu – pada akhir abad 18 – Eropah terbelakang dan miskin, jenis penyakit
infeksi yang kita kenal sekarang sebagai penyakit “milik” negara Dunia Ketiga
yang dianggap miskin seperti cacar lepra, pes, TBC dan lainnnya, cukup
merajalela di Eropah.
Tetapi setelah Eropah kaya dan makmur
serta kebersihan dan kecerdasan masyarakatnya meningkat, ternyata beberapa jenis
penyakit menular tersebut “mengundurkan diri”. Pada awal abad 19 zaman Hindia
Belanda, penyakit menular . masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak Surabaya,
Tanjung Periuk Batavia, Teluk Bayur Padang dan pelabuhan lainnya. Seolah-olah penyakit infeksi dan menular bergeser
ke negara tropis. Sayangnya, hingga .abad modern sekarang ini, jenis penyakit
kuno tersebut masih “betah” tinggal di negeri kita. Rupanya sulit dibasmi.
Dalam menghadapi ancaman virus
Zika – khususnya di Jawa Barat – tentu
saja kita tidak ingin terjadi “outbreak” seperti di Brazil, Sudan dan negara
lainnya di Afrika. . Oleh sebab itu, mari kita bersama-sama menciptakan
lingkungan hidup yang sehat dan bersih agar nyamuk Aedes Aegypti tidak
berkembang biak. Salah satu langkah pratis yang kita kenal adalah Gerakan 3 M: menutup,
menguras dan menimbun. Cara klasik seperti ini cukup ampuh dan terkenal di
dunia yang pernah dilakukan Panama dan Cuba untuk mengendalikan nyamuk Aedes
Aegypti. Tujuan utamanya: semoga tidak ada korban akibat virus Zika di Jabar.
TRIBUN JABAR, 5 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar