Minggu, 27 November 2016

Awas Virus Zika !



         AKHIR-akhir ini masyarakat kita -- khususnya pemangku kesehatan di Indonesia – agak dikagetkan oleh jenis atau strain virus baru yang dikenal sebagai virus Zika. Informasi ini disampaikan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) tentang status waspada khususnya bagi orang yang bepergian ke 22 negara yang dianggap rawan virus Zika, umumnya di kawasan Amerika Latin dan Karibia.
 Dilaporkan virus Zika menyebabkan mikrocefali (mengecilnya lingkar kepala) dan merusak sistem saraf (sindrom Gullain-Barre) pada bayi. Bahkan virus ini dapat menular lewat hubungan sexual dan darah. Rantai penghubungnya melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti yang cukup potensial di Indonesia.
            Beberapa hari yang lalu, negara tetangga Singapura dan Thailand juga resah. Di Singapura ditemukan 41 kasus terserang virus Zika. Di Thailand, sejak Januari 2016, ditemukan 97 kasus. Paling menyedihkan adalah Brazil, lebih 1,5 juta orang sudah terjangkit, dan tercatat 4000 bayi yang telah dilahirkan mengalami mikrocefali. Pemerintah Brazil langsung menganjurkan agar wanita di negara itu menunda kehamilannya sampai epidemik virus ini reda.
            Meski tercatat baru 2 kasus di Indonesia, kabarnya dialami seorang suku anak dalam di Sumatera dan seorang turis, namun hingga kini belum kelihatan tanda-tanda kasus virus Zika menyeruak. Belum lama ini Ibu Menkes Nila Moeloek mengimbau agar perempuan hamil menunda dulu kepergiannya ke Singapura.  Lalu diupayakan pemantauan arus pendatang dari luar negeri.
Salah satu tindaakan, di bandara mulai dipasang alat pemindai suhu tubuh (thermoscanner) khususnya di terminal kedatangan bandara internasional. Kejadian ini sama seperti pada beberapa tahun sebelumnya kita sempat waspada terhadap masuknya virus SARS. MERS. H5N1, Ebola dan sebagainya.
            Sebenarnya serangan virus Zika ini mirip dengan virus demam berdarah (Dengue), karena masih satu garis, yakni strain flavivirus yang ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes Aegypti. Karakteristik gejalanya juga hampir sama, seperti demam, nyeri otot, sakit kepala dan mata merah, dengan masa inkubasi 2-7 hari.  Tapi yang berbeda dengan demam berdarah, virus Zika sanggup membikin mikrocefali dan penciutan otak bayi yang dikandung bila ibunya terserang. Selain itu dimungkinkan menyebar dari hubungan sexual.
            Sayangnya informasi virus Zika ini tampaknya kurang begitu gencar. Seakan-akan ada sesuatu yang timpang dalam informasi kesehatan. Saat ini publikasi penyakit menular lebih banyak dilakukan media massa. Dalam hal ini, media massa cukup jeli dan cepat menyajikan informasi kesehatan untuk kemudioan dimengerti oleh masyarakat awam. Tampaknya pers lebih gesit ketimbang kalangan kesehatan/kedokteran sendiri.
Alasannya mungkin benar menurut Gary L Kreps, dokter selalu terpagari pertimbangan hokum dan etika kedokteran serta pertimbangan budaya masyarakat (Health Communication, Longman, 190-207). Dengan kata lain, orang akan heboh bila korban virus Zika mulai berjatuhan.
            Bagi Indonesia virus Zika suatu ancaman.  Apalagi nyamuk Aedes Agypti merupakan “sahabat sehari-hari” di kehidupan kita. Dalam peeriode tertentu – umumnya akhir musim penghujan dan awal kemarau – dimana banyak genangan air pada lingkungan yang jelek, pada saat itu pula nyamuk Aedes Agypti berkembang biak dengan pesat. Tak jarang kita mendengar kematian akibat demam berdarah.
            Film “Outbreak” (1995), Pandemic (2007), Contagion (2011), The Flu (2013) serta drama  medical thriller lainnya cukup membuat kita bergidik bila ditonton. Kita menyaksikan wabah virus begitu tragis menyerang manusia. Contoh konkritnya secara nyata sempat dialami Brazil.
            Beberapa tahun silam kita pernah disibukkan virus flu burung mematikan. Ribuan hingga jutaan ungas (ayam) sengaja dimatikan karena menginap virus flu burung.  .Dampaknya cukup hebat, sebagian peternakan ayam rakyat bangkrut. Ratusan milyar bahkan triliun rupiah anggaran dikeluarkan, baik dari dalam negeri mau pun bantuan luar negeri untuk membasmi flu burung.
            Tetapi bagaimana bila virus Zika menjadi wabah lewat nyamuk Aedes Agypty?  Inilah kemungkinan terjelek yang tidak kita inginkan. Sejarah perkembangan wabah penyakit menular di Indonesia memang bukan hal baru, meski tidak seburuk yang saat ini sedang terjangkit di beberapa negara di Afrika.
Ketika dahulu – pada akhir abad 18 – Eropah terbelakang dan miskin, jenis penyakit infeksi yang kita kenal sekarang sebagai penyakit “milik” negara Dunia Ketiga yang dianggap miskin seperti cacar lepra, pes, TBC dan lainnnya, cukup merajalela di Eropah.
            Tetapi setelah Eropah kaya dan makmur serta kebersihan dan kecerdasan masyarakatnya meningkat, ternyata beberapa jenis penyakit menular tersebut “mengundurkan diri”. Pada awal abad 19 zaman Hindia Belanda, penyakit menular . masuk melalui pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Tanjung Periuk Batavia, Teluk Bayur Padang dan pelabuhan lainnya.  Seolah-olah penyakit infeksi dan menular bergeser ke negara tropis. Sayangnya, hingga .abad modern sekarang ini, jenis penyakit kuno tersebut masih “betah” tinggal di negeri kita. Rupanya sulit dibasmi.
            Dalam menghadapi ancaman virus Zika  – khususnya di Jawa Barat – tentu saja kita tidak ingin terjadi “outbreak” seperti di Brazil, Sudan dan negara lainnya di Afrika. . Oleh sebab itu, mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan hidup yang sehat dan bersih agar nyamuk Aedes Aegypti tidak berkembang biak. Salah satu langkah pratis yang kita kenal adalah Gerakan 3 M: menutup, menguras dan menimbun. Cara klasik seperti ini cukup ampuh dan terkenal di dunia yang pernah dilakukan Panama dan Cuba untuk mengendalikan nyamuk Aedes Aegypti. Tujuan utamanya: semoga tidak ada korban akibat virus Zika di Jabar.

TRIBUN JABAR, 5 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar