BELUM lama ini, Bareskrim Polri bersama
BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) menggrebek 5 gudang obat palsu berikut
alat produksinya di Balaraja Banten. Pengawasan selanjutnya, ditemukan sejumlah
obat kadaluarsa, tidak layak edar serta obat palsu diperdagangkan di Pasar
Pramuka Jakarta. Tidak hanya di Jakarta, di beberapa daerah lainnya di
Indonesia seperti di Sulawesi, juga ditemukan peredararan bermacam jenis obat
palsu.
Kejadian
tersebut tentu saja membuat kita cemas. Ada rasa takut terpedaya mengonsumsi
obat palsu. Dapat dimaklumi, teknologi
pemalsuan obat-obatan tampaknya mulai canggih. Kini kemasan dan pengaman hologram
bisa ditiru. Secara kasat mata, cukup sulit
membedakan mana yang asli dan palsu. Sedangkan isi kandungan obat hanya bisa
dideteksi di laboratorium.
Tiap
tahun, kasus pemalsuan obat melonjak drastis. BPOM mengakui, terjadi peningkatan
10 kali lipat. Dari data mereka, pada tahun 2011 sekitar 50 item (jenis), tahun 2013 lebih 800 item obat palsu. Tahun 2016 ditaksir sudah
lebih 1000 item. Tidak hanya obat
kimiawi, termasuk obat herbal, obat kuat, kosmetik kecantikan juga dipalsukan.
Bahkan obat khusus penyakit jantung, diabetes, ginjal, kanker dan lainnya tak
luput jadi sasaran. Umumnya obat yang sering dipalsukan adalah jenis obat paling
laku di pasaran. Dilaporkan, lebih 50 persen obat palsu dijual lewat media
daring (online), selebihnya beredar
di apotek dan toko-toko obat.
Jika
dicermati sebenarnya peredaran obat palsu memang sejak lama terjadi di negeri
kita. Ibarat fenomena gunung es (ice
phenomena), kasus yang tampak di permukaan hanya sedikit, padahal jauh di
dalamnya masih banyak bersembunyi mafia obat palsu. Mungkin yang diberantas
baru terbatas sektor hilir, sedangkan sektor hulu masih “kucing-kucingan”
bermain obat ilegal.
Ada
beberapa alasan mengapa obat palsu marak terjadi di Indonesia. Pertama,
Indonesia termasuk pangsa pasar obat terbesar di Asia Tenggara. Hal ini bisa
dilihat dari angka kesakitan yang tinggi seimbang dengan jumlah penduduk yang
besar. Kebutuhan obat kita tergolong besar di ASEAN.
Kedua, terjadi
perkembangan positif, masyarakat mulai menyadari pentingnya kesehatan. Sejak
diluncurkannya jaminan kesehatan nasional lewat BPJS, kebutuhan obat di Tanah
Air melesat tinggi. Rakyat miskin kini bisa menikmati berobat gratis ke
Puskesmas atau dirawat di rumah sakit. Berangsur dengan sendirinya masyarakat belajar
jenis obat dan manfaat yang dibutuhkannya.
Ketiga, distribusi obat
relatif bebas. Pelbagai obat mudah dibeli melalui apotek, toko obat dan toko online. Bahkan tak jarang, entah karena
alasan ekonomi atau pun sebab lainnya, banyak orang terpaksa mengobati
penyakitnya sendiri (self therapy).
Sudah rahasia umum obat golongan G (Gevaarlijk, berbahaya)
yang seharusnya melalui resep dokter -- contohnya antibiotika -- ternyata gampang
ditebus masyarakat tanpa resep dokter. Karena
mencari obat lebih murah, malah bisa tertipu
obat palsu.
Bahan
baku
Mengapa
harga obat relatif mahal? Karena sejak puluhan tahun silam bahan baku obat kita
94 persen tergantung luar negeri. Sekitar 60 persen dari Cina, sisanya dari
India dan kawasan Eropah. Menurut data Kementerian Perindustrian, arus import
bahan baku obat kita mendekati Rp 15
triliun pertahun. Fuktuasi nilai mata uang asing terhadap rupiah menjadi
perancu (confounding factor) harga
bahan baku. Kapan saja saat harga obat bisa
naik drastis, tetapi anehnya harga obat sulit turun kembali. Tak jarang
produsen menerapkan lebih 40 persen biaya promosi dibebankan pada harga obat.
Menurut
data Kemenkes (2015), pelaku industri farmasi di Indonesia terdiri 4 BUMN, 24
multinasional dan lebih 18000 swasta nasional. Tetapi sampai sekarang kita
belum mampu menghasilkan kebutuhan bahan baku obat dalam negeri. Alasan klise ering diungkap, produksi bahan
baku obat itu sangat padat modal. Perlu tenaga ahli mumpuni, penelitian, uji
coba klinis, hak paten, hingga teknologi pabrikasi. Pelaku industri farmasi
kita enggan terjun di industri farmasi dasar.
WHO (Organisasi
Kesehatan Dunia) pernah mencatat, biaya
kesehatan di negara Dunia Ketiga banyak dihabiskan 40 persen biaya obat, rumah
sakit 30 persen dan jasa dokter 30 persen. Tahun 2016, belanja obat kita
diperkirakan 80 milyar USD. Tapi sayangnya, kuantitas penyerapan obat ini acapkali
dimanfaatkan orang tidak bertanggungjawab untuk mengeruk keuntungan ekonomi jalan
pintas, ya itu tadi, mengedarkan obat palsu.
Pengawasan
Selama ini BPOM belum memiliki wewenang langsung untuk
menangkap atau menggeledah pelaku kasus obat palsu. Sehingga pengawasan terhadap
obat palsu kurang optimal. Dengan demikian, selayaknya BPOM diberi wewenang mengembangkan
fungsinya melalui regulasi hukum. Kasus
beredarnya vaksin palsu yang menggegerkan tempo hari menunjukkan betapa tugas BPOM
“teramputasi” Permenkes No.35 Tahun 2014. Aturan tersebut menyiratkan BPOM tidak berhak
mengawasi vaksin, atau pengawasan di apotek
pusat pelayanan kesehatan milik pemerintah. Akibatnya berbagai pihak
saling debat lempar kesalahan. Di masa depan, diharapkan tugas BPOM sebagai
titik tumpu pengawas obat-obatan lebih pro aktif.
Untuk memperketat pengawasan obat palsu, alangkah baiknya wewenang
BPOM ditambah supaya punya taring penyelidikan di jalur hulu dan hilir, baik obat-obatan
ilegal mau legal. Tujuannya utamanya adalah untuk melindungi masyarakat terhindar
dari kejahatan kemanusiaan mafia obat palsu. ***
PIKIRAN RAKYAT, 13 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar