Minggu, 27 November 2016

Hati-Hati Obat Palsu



          BELUM lama ini, Bareskrim Polri bersama BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) menggrebek 5 gudang obat palsu berikut alat produksinya di Balaraja Banten. Pengawasan selanjutnya, ditemukan sejumlah obat kadaluarsa, tidak layak edar serta obat palsu diperdagangkan di Pasar Pramuka Jakarta. Tidak hanya di Jakarta, di beberapa daerah lainnya di Indonesia seperti di Sulawesi, juga ditemukan peredararan bermacam jenis obat palsu.
            Kejadian tersebut tentu saja membuat kita cemas. Ada rasa takut terpedaya mengonsumsi obat palsu.  Dapat dimaklumi, teknologi pemalsuan obat-obatan tampaknya mulai canggih. Kini kemasan dan pengaman hologram bisa ditiru. Secara kasat mata,  cukup sulit membedakan mana yang asli dan palsu. Sedangkan isi kandungan obat hanya bisa dideteksi di laboratorium.
            Tiap tahun, kasus pemalsuan obat melonjak drastis. BPOM mengakui, terjadi peningkatan 10 kali lipat. Dari data mereka, pada tahun 2011 sekitar 50 item (jenis), tahun 2013 lebih 800 item obat palsu. Tahun 2016 ditaksir sudah lebih 1000 item. Tidak hanya obat kimiawi, termasuk obat herbal, obat kuat, kosmetik kecantikan juga dipalsukan. Bahkan obat khusus penyakit jantung, diabetes, ginjal, kanker dan lainnya tak luput jadi sasaran. Umumnya obat yang sering dipalsukan adalah jenis obat paling laku di pasaran. Dilaporkan, lebih 50 persen obat palsu dijual lewat media daring (online), selebihnya beredar di apotek dan toko-toko obat.
            Jika dicermati sebenarnya peredaran obat palsu memang sejak lama terjadi di negeri kita. Ibarat fenomena gunung es (ice phenomena), kasus yang tampak di permukaan hanya sedikit, padahal jauh di dalamnya masih banyak bersembunyi mafia obat palsu. Mungkin yang diberantas baru terbatas sektor hilir, sedangkan sektor hulu masih “kucing-kucingan” bermain obat ilegal.
            Ada beberapa alasan mengapa obat palsu marak terjadi di Indonesia. Pertama, Indonesia termasuk pangsa pasar obat terbesar di Asia Tenggara. Hal ini bisa dilihat dari angka kesakitan yang tinggi seimbang dengan jumlah penduduk yang besar. Kebutuhan obat kita tergolong besar di ASEAN.
Kedua, terjadi perkembangan positif, masyarakat mulai menyadari pentingnya kesehatan. Sejak diluncurkannya jaminan kesehatan nasional lewat BPJS, kebutuhan obat di Tanah Air melesat tinggi. Rakyat miskin kini bisa menikmati berobat gratis ke Puskesmas atau dirawat di rumah sakit. Berangsur dengan sendirinya masyarakat belajar jenis obat dan manfaat yang dibutuhkannya.
Ketiga, distribusi obat relatif bebas. Pelbagai obat mudah dibeli melalui apotek, toko obat dan toko online. Bahkan tak jarang, entah karena alasan ekonomi atau pun sebab lainnya, banyak orang terpaksa mengobati penyakitnya sendiri (self therapy). Sudah rahasia umum obat golongan G (Gevaarlijk, berbahaya) yang seharusnya melalui resep dokter -- contohnya antibiotika -- ternyata gampang ditebus masyarakat tanpa resep dokter.  Karena  mencari obat lebih murah, malah bisa tertipu obat palsu.

Bahan baku
            Mengapa harga obat relatif mahal? Karena sejak puluhan tahun silam bahan baku obat kita 94 persen tergantung luar negeri. Sekitar 60 persen dari Cina, sisanya dari India dan kawasan Eropah. Menurut data Kementerian Perindustrian, arus import bahan baku obat  kita mendekati Rp 15 triliun pertahun. Fuktuasi nilai mata uang asing terhadap rupiah menjadi perancu (confounding factor) harga bahan baku. Kapan saja saat harga obat bisa  naik drastis, tetapi anehnya harga obat sulit turun kembali. Tak jarang produsen menerapkan lebih 40 persen biaya promosi dibebankan pada harga obat.
            Menurut data Kemenkes (2015), pelaku industri farmasi di Indonesia terdiri 4 BUMN, 24 multinasional dan lebih 18000 swasta nasional. Tetapi sampai sekarang kita belum mampu menghasilkan kebutuhan bahan baku obat dalam negeri.  Alasan klise ering diungkap, produksi bahan baku obat itu sangat padat modal. Perlu tenaga ahli mumpuni, penelitian, uji coba klinis, hak paten, hingga teknologi pabrikasi. Pelaku industri farmasi kita enggan terjun di industri farmasi dasar.  
WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) pernah mencatat,  biaya kesehatan di negara Dunia Ketiga banyak dihabiskan 40 persen biaya obat, rumah sakit 30 persen dan jasa dokter 30 persen. Tahun 2016, belanja obat kita diperkirakan 80 milyar USD. Tapi sayangnya, kuantitas penyerapan obat ini acapkali dimanfaatkan orang tidak bertanggungjawab untuk mengeruk keuntungan ekonomi jalan pintas, ya itu tadi, mengedarkan obat palsu.

Pengawasan
Selama ini BPOM belum memiliki wewenang langsung untuk menangkap atau menggeledah pelaku kasus obat palsu. Sehingga pengawasan terhadap obat palsu kurang optimal. Dengan demikian, selayaknya BPOM diberi wewenang mengembangkan fungsinya melalui regulasi hukum.  Kasus beredarnya vaksin palsu yang menggegerkan tempo hari menunjukkan betapa tugas BPOM “teramputasi”  Permenkes No.35 Tahun 2014.  Aturan tersebut menyiratkan BPOM tidak berhak mengawasi vaksin, atau pengawasan di apotek  pusat pelayanan kesehatan milik pemerintah. Akibatnya berbagai pihak saling debat lempar kesalahan. Di masa depan, diharapkan tugas BPOM sebagai titik tumpu pengawas obat-obatan lebih pro aktif.
Untuk memperketat pengawasan obat palsu, alangkah baiknya wewenang BPOM ditambah supaya punya taring penyelidikan di jalur hulu dan hilir, baik obat-obatan ilegal mau legal. Tujuannya utamanya adalah untuk melindungi masyarakat terhindar dari kejahatan kemanusiaan mafia obat palsu. ***

PIKIRAN RAKYAT,  13 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar