Minggu, 27 November 2016

Mengenyahkan Styrofoam



             ADA kebijakan sangat menarik yang akan dikeluarkan Kang Emil (Ridwan Kamil). Mulai 1 November 2016, sebagai Walikota, ia akan mengeluarkan surat edaran pelarangan pemakaian stryrofoam untuk wadah makanan bagi pedagang makanan dan minuman di Bandung.
            Kebijakan tentu harus kita apresiasi. Menyusul hasil kajian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Kota Bandung yang menyatakan, sampah stryrofoam rata-rata mencapai 27,02 ton perbulan.
            Para ahli lingkungan paham, sampah stryrofoam itu susah hancur secara alami. Konon, bila didiamkan, terurai lebih 130 tahun. Oleh sebab itu, stryrofoam ditengarai banyak tersangkut di got, saluran pembuangan, akhirnya menimbulkan banjir cileuncang.
            Jika 27,02 ton sampah stryrofoam itu di tumpuk, tak terbayangkan, dalam setahun mungkin tingginya melebihi atap kantor Balaikota. Artinya, kali ini Kang Emil tidak main-main, ia akan menindak tegas pedagang yang masih menggunakan styrofoam.
            Boleh dibilang, Bandung merupakan kota pertama di Indonesia yang melarang penggunaan styrofoam. Tanpa disadari, Kang Emil boleh dibilang walikota enviromentalis (pejuang lingkungan) sejati.

Bahaya kesehatan
            Memang cukup lama beredar informasi, stryrofoam itu sangat berbahaya bila digunakan sebagai wadah makanan dan minuman. Cukup banyak literatur toksikologi menyebutkan, stryrofoam menimbulkan banyak penyakit, diantaranya mengganggu kelenjar tyroid, system saraf, anemia dan kanker. Bahaya utama disebabkan butiran styrene yang menggunakan benzene. (Ernest Hodgson et.al, “Modern Toxicology”, 2000)
            Bahan dasar styrofoam adalah polisterin, jenis plastik yang ringan, murah, tetapi cepat rapuh. Karena kerapuhannya, polisterin dicampur seng dan senyawa butadien. Hal ini yang menyebabkan polisterin berubah warna menjadi putih susu. Untuk kekuatannya ditambah zat kimia plasticizer. Plastik busa yang mudah terurai menjadi struktur kecil hasil proses peniupan gas klorofluorokarbon. Hasil seluruh proses ini yang sering kita pergunakan selama ini. (Sulchan 2007, dalam “Bahaya Stryrofoam Terhadap Kesehatan dan Lingkungan”, Ervi Afifah 2013).
            Suatu penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa 100% jaringan lemak warga di Amerika mengandung styrene yang berasal dari styrofoam. Semakin panas makanan berlemak di wadah stryrofoam, maka semakin cepat pula bahan kimia styrofoam migrasi masuk ke makanan atau minuman.
            Pada Juli 2001, Divisi Keamanan Pangan pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa residu stryrofoam sangat berbahaya. Residu tersebut menyebabkan endocrine distrupter (EDC), yaitu suatu penyakit endokrinologi dan reproduksi bahan kimia karsinogen yang tercemar dari makanan.

Bahaya lingkungan
            Sangat jelas bahwa stryrofoam berdampak buruk bagi kesehatan. Selain itu, termasuk kategori tidak ramah lingkungan. Untuk menghancurkannya, biasanya pengusaha mendaur ulang sampah stryrofoam menjadi kemasan baru. Tindakan ini menimbulkan bahaya ganda yang masif .
Bagaimana pun, polystyrene (bahan utama styrofoam) yang berasal dari minyak bumi bukanlah sumber daya terbarukan.  Jika dibakar akan mengeluarkan 54 jenis zat beracun. Bila ditanam ini dapat merusak tanah, serta melepaskan bahan kimia berbahaya tatkala dibuang ke laut (Nick H Proctor et.al, Chemical Hazards, 1978)
            Data EPA (Enviromental Protection Agency) menyebutkan, limbah berbahaya yang dihasilkan dari proses pembuatan styrofoam sangat banyak. Hal itu menyebabkan EPA mengategorikan proses pembuatan styrofoam sebagai penghasil limbah berbahaya ke-5 terbesar di dunia.
            Selain di kota Oxford Inggris, di kota New York dan Washington Amerika Serikat sejak tahun lalu (2015) sudah melarang produk expandable polystyrene foam (EPS) sekali pakai, termasuk gelas, mangkuk, piring, dan boks makan. Itu sebabnya, McDonalds berhenti total menggunakan EPS sejak 2013. Di kota Portland, juga diterapkan aturan yang sama, karena stryrofoam dianggap salah satu jenis sampah yang paling banyak ditemukan di Sungai Anacostia.
Sehari-hari kita sering menyaksikan stryrofoam digunakan sebagai wadah seblak, nasi goreng, mie dan pelbagai wadah makanan dan minuman lainnya oleh pedagang kecil.  Diam-diam wadah stryrofoam menimbulkan ancaman kesehatan, juga lingkungan.
Sekarang sudah saatnya warga Bandung cinta pada lingkungan hidup dan menyayangi dirinya sendiri. Setidaknya surat edaran pelarangan penggunaan stryrofoam yang akan dikeluarkan Kang Emil merupakan bentuk kanyaah Walikota Bandung kepada warganya. Bahkan ada landasan hukumnya, yakni UU No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

TRIBUN JABAR, 19 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar