Minggu, 27 November 2016

Jauhi Budaya Palsu



Ketika sedang heboh kasus obat palsu, dengan iseng saya menulis status di laman facebook: “hidup ini memang penuh kepalsuan”. Tak lama menunggu, bertubi-tubi hadir balasan komentar pendek: kartu BPJS palsu, kuburan palsu, vaksin palsu, obat palsu, ijazah palsu, janji pilkada palsu, janji caleg palsu, pelumas palsu, beras palsu, uang palsu, cinta palsu, dst..!
            Tampaknya ungkapan palsu mengepung dari segala sisi. Tidak hanya persoalan benda, terkadang perilaku dan gaya hidup juga banyak yang palsu. Seolah-olah orang tak kuasa menghindar kepalsuan, tetapi pada sisi lainnya ikut menikmati. Pribadi palsu disodorkan bagai tontonan menarik. Orang mengenal sebagai tokoh agama panutan, tetapi perilaku haram jadah. Originalitas kehidupan seperti dikalahkan oleh sesuatu bukan yang  asli.
 Beberapa waktu yang lalu, Bareskrim bersama petugas BPOM menggerebek 5 gudang di Balara Banten. Ditemukan jutaan butir obat palsu berikut mesin produksinya. Padahal belum terhapus ingatan, beberapa waktu sebelumnya kita juga diusik . terbongkarnya sindikasi vaksin palsu. Anehnya, vaksin palsu telah berjalan 13 tahun, tetapi baru ketahuan  belakangan. Media massa cetak, elektronik serta media sosial heboh membicarakannya.  Dipastikan sudah ribuan balita jadi korban. Siapa pun jadi sulit mendeteksi, jangan-jangan salah satunya keponakan atau anak kita saudara sendiri.  Mungkin rasa gemas dan marah  sampai ke ubun-ubun, apalagi bila sudah menyangkut balita anak kandung tersayang.
            Sebagai ilustrasi, saya jadi teringat perjalanan backpacker ketika di atas kereta api eutrain dari Barcelona menuju Amsterdam. Di depan saya duduk seorang remaja bule. Tatapannya lekat ke dada, maksudnya ke tulisan yang tercetak di kaus oblong yang saya kenakan. Setelah berkenalan dan berbincang akrab, akhirnya ia merayu untuk mengajak tukar kaus oblong dengan jaket bagusnya. Tanpa pikir panjang, saya langsung bersedia barter dan kami berpisah di stasiun Amsterdam Central.
            Keluar dari toilet dekat stasiun, setelah memakai kaus oblong pengganti, saya eye-shopping  menyusuri pertokoan mewah. Alangkah kaget menemukan jaket mirip pemberian si remaja  bule tergantung di balik etalase. Harganya wow mahal,   Tetapi lebih kaget lagi, kaos oblong yang saya barter tadi rupanya salah satu merek  fashion terkenal di Eropah, dibandrol  Rp 1 juta.  Padahal kaos sablonan tersebut saya peroleh dari pasar obral Gasibu Bandung, harganya Rp 20 ribu !
Ternyata di Eropah atau di negara maju lainnya memang sulit menemukan barang palsu. Hampir semua jenis produk memiliki merek paten. Oleh sebab itu, nyaris tidak ada – apa yang sering kita sebut “barang kawe” – beredar di pasaran sana. Peraturan dijalankan dengan tegas. Sanksi pemalsuan dendanya cukup besar. Sehingga orang takut memalsukan hak cipta  milik orang lain (intellectual property rights).
           
Kejahatan kemanusiaan

Di republik kita,  pemalsuan produk kebutuhan sehari-hari dianggap hal biasa. Soal pemalsuan bukan hanya dilakukan oleh masyarakat awam semata. Bahkan sering ditemukan pada kaum terpelajar atau akademisi kita. Dapat dirasakan, sejak masa sekolah  tanpa disadari mulai belajar kecurangan. Orangtua mendekati guru . agar nilai anaknya bagus,  hingga berbagai cara untuk masuk sekolah favorit. Masuk dunia kampus kehidupan palsu tak berubah.  Secara diam-diam plagiarime (penjiplakan) layaknya keabsahan. Kasus plagiarisme karya ilmiah, skripsi, tesis dan disertasi merupakan moral hazard  mencoreng nama baik institusi pendidikan.  
University of Bristish Columbia menegaskan, plagiarisme adalah tindakan menyerahkan (submitting) atau menyajikan (presenting) ide atau kata/kalimat orang lain tanpa menyebut sumbernya. Akademisi diharamkan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika akademis (Sudigdo Sastroasmoro, 2007).  Ungkapan Mark Twain: lies damn lies, statistics “dipengkolkan” menjadi lies damn lies, science.  Lebih parah lagi, banyak terungkap penggunaan ijazah palsu. Hingga ijazah palsu dieksploitasi demi cara mudah menaikkan jabatan.
Lebih mengerikan bila pemalsuan berdampak merugikan jiwa orang lain. Kasus vaksin palsu dan obat palsu dapat digolongkan kejahatan kemanusiaan. Penyakit  bertambah parah, organ tubuh rusak tatkala zat kimia berbahaya tersebar lewat peredaran darah. Melakukan kecurangan penggunaan bahan pengawet zat kimia beracun pada makanan dan minuman termasuk bagian dari kejahatan kemanusiaan. Hendaknya sanksi berat harus segera ditegakkan sebagai efek jera. Kita kecewa karena telah ditipu ‘mentah-mentah’, pasrah dalam bayangan gelap terpedaya.
Tetapi sering masyarakat sadar bakal dirinya ditipu. Dalam kancah politik calon kepala daerah dan calon legislatif disaat kampanye acapkali mengumbar kebohongan. Ditebar janji-janji palsu. Pada kampanye periode berikutnya terjadi lagi hal serupa -- janji palsu – baik dari pelaku yang sama mau pun tokoh berbeda. Tanpa disadari kita turut “menikmati” jebakan  dan janji palsu tersebut.
Tidak hanya terjerembab abstraksi topeng kepalsuan. Malah penggunaan  barang/benda palsu bergeser jadi kebutuhan.  Pola konsumtif di era modern melahirkan perubahan gaya hidup (life style). Demi gengsi melirik barang branded atau bermerek. Karena barang original biasanya mahal, dipilih aspal (asli tapi palsu) atau kualitas rendah supaya lebih murah. Yang diharapkan penggiringan daya tarik agar orang sekitar percaya itu barang original.
 The fake world we live in conspires to make us all fakes, kata novelis Benyamin Alire Saenz. Kita telah bersekongkol karena membuat semua palsu. Lantas kenapa kita marah dengan kepalsuan?  Semoga dapat dipetik hikmahmya, dari pelbagai kasus pemalsuan yang terjadi tidak menyeret kita menjadi penganut budaya palsu. 

KORAN JAKARTA, 15 September

Tidak ada komentar:

Posting Komentar