Ketika sedang heboh kasus obat palsu,
dengan iseng saya menulis status di laman facebook:
“hidup ini memang penuh kepalsuan”. Tak lama menunggu, bertubi-tubi hadir balasan
komentar pendek: kartu BPJS palsu, kuburan palsu, vaksin palsu, obat palsu,
ijazah palsu, janji pilkada palsu, janji caleg palsu, pelumas palsu, beras
palsu, uang palsu, cinta palsu, dst..!
Tampaknya
ungkapan palsu mengepung dari segala sisi. Tidak hanya persoalan benda,
terkadang perilaku dan gaya hidup juga banyak yang palsu. Seolah-olah orang tak
kuasa menghindar kepalsuan, tetapi pada sisi lainnya ikut menikmati. Pribadi
palsu disodorkan bagai tontonan menarik. Orang mengenal sebagai tokoh agama
panutan, tetapi perilaku haram jadah. Originalitas kehidupan seperti dikalahkan
oleh sesuatu bukan yang asli.
Beberapa waktu yang lalu, Bareskrim bersama
petugas BPOM menggerebek 5 gudang di Balara Banten. Ditemukan jutaan butir obat
palsu berikut mesin produksinya. Padahal belum terhapus ingatan, beberapa waktu
sebelumnya kita juga diusik . terbongkarnya sindikasi vaksin palsu. Anehnya,
vaksin palsu telah berjalan 13 tahun, tetapi baru ketahuan belakangan. Media massa cetak, elektronik
serta media sosial heboh membicarakannya. Dipastikan sudah ribuan balita jadi korban. Siapa
pun jadi sulit mendeteksi, jangan-jangan salah satunya keponakan atau anak kita
saudara sendiri. Mungkin rasa gemas dan
marah sampai ke ubun-ubun, apalagi bila
sudah menyangkut balita anak kandung tersayang.
Sebagai
ilustrasi, saya jadi teringat perjalanan backpacker
ketika di atas kereta api eutrain
dari Barcelona menuju Amsterdam. Di depan saya duduk seorang remaja bule.
Tatapannya lekat ke dada, maksudnya ke tulisan yang tercetak di kaus oblong
yang saya kenakan. Setelah berkenalan dan berbincang akrab, akhirnya ia merayu
untuk mengajak tukar kaus oblong dengan jaket bagusnya. Tanpa pikir panjang,
saya langsung bersedia barter dan kami berpisah di stasiun Amsterdam Central.
Keluar
dari toilet dekat stasiun, setelah memakai kaus oblong pengganti, saya eye-shopping menyusuri pertokoan mewah. Alangkah kaget
menemukan jaket mirip pemberian si remaja bule tergantung di balik etalase. Harganya wow
mahal, Tetapi lebih kaget lagi,
kaos oblong yang saya barter tadi rupanya salah satu merek fashion
terkenal di Eropah, dibandrol Rp 1 juta.
Padahal kaos sablonan tersebut saya peroleh
dari pasar obral Gasibu Bandung, harganya Rp 20 ribu !
Ternyata di Eropah atau
di negara maju lainnya memang sulit menemukan barang palsu. Hampir semua jenis
produk memiliki merek paten. Oleh sebab itu, nyaris tidak ada – apa yang sering
kita sebut “barang kawe” – beredar di pasaran sana. Peraturan dijalankan dengan
tegas. Sanksi pemalsuan dendanya cukup besar. Sehingga orang takut memalsukan
hak cipta milik orang lain (intellectual property rights).
Kejahatan
kemanusiaan
Di republik kita, pemalsuan produk kebutuhan sehari-hari
dianggap hal biasa. Soal pemalsuan bukan hanya dilakukan oleh masyarakat awam semata.
Bahkan sering ditemukan pada kaum terpelajar atau akademisi kita. Dapat
dirasakan, sejak masa sekolah tanpa
disadari mulai belajar kecurangan. Orangtua mendekati guru . agar nilai anaknya
bagus, hingga berbagai cara untuk masuk
sekolah favorit. Masuk dunia kampus kehidupan palsu tak berubah. Secara diam-diam plagiarime (penjiplakan)
layaknya keabsahan. Kasus plagiarisme karya ilmiah, skripsi, tesis dan
disertasi merupakan moral hazard mencoreng nama baik institusi pendidikan.
University of Bristish
Columbia menegaskan, plagiarisme adalah tindakan menyerahkan (submitting) atau menyajikan (presenting) ide atau kata/kalimat orang
lain tanpa menyebut sumbernya. Akademisi diharamkan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika akademis (Sudigdo Sastroasmoro, 2007). Ungkapan Mark Twain: lies damn lies, statistics “dipengkolkan” menjadi lies damn lies, science. Lebih parah lagi, banyak terungkap penggunaan ijazah
palsu. Hingga ijazah palsu dieksploitasi demi cara mudah menaikkan jabatan.
Lebih mengerikan bila
pemalsuan berdampak merugikan jiwa orang lain. Kasus vaksin palsu dan obat
palsu dapat digolongkan kejahatan kemanusiaan. Penyakit bertambah parah, organ tubuh rusak tatkala
zat kimia berbahaya tersebar lewat peredaran darah. Melakukan kecurangan
penggunaan bahan pengawet zat kimia beracun pada makanan dan minuman termasuk
bagian dari kejahatan kemanusiaan. Hendaknya sanksi berat harus segera
ditegakkan sebagai efek jera. Kita kecewa karena telah ditipu ‘mentah-mentah’,
pasrah dalam bayangan gelap terpedaya.
Tetapi sering masyarakat
sadar bakal dirinya ditipu. Dalam kancah politik calon kepala daerah dan calon
legislatif disaat kampanye acapkali mengumbar kebohongan. Ditebar janji-janji
palsu. Pada kampanye periode berikutnya terjadi lagi hal serupa -- janji palsu –
baik dari pelaku yang sama mau pun tokoh berbeda. Tanpa disadari kita turut
“menikmati” jebakan dan janji palsu
tersebut.
Tidak hanya terjerembab
abstraksi topeng kepalsuan. Malah penggunaan
barang/benda palsu bergeser jadi kebutuhan. Pola konsumtif di era modern melahirkan
perubahan gaya hidup (life style).
Demi gengsi melirik barang branded
atau bermerek. Karena barang original biasanya mahal, dipilih aspal (asli tapi
palsu) atau kualitas rendah supaya lebih murah. Yang diharapkan penggiringan
daya tarik agar orang sekitar percaya itu barang original.
The fake
world we live in conspires to make us all fakes, kata novelis Benyamin
Alire Saenz. Kita telah bersekongkol karena membuat semua palsu. Lantas kenapa
kita marah dengan kepalsuan? Semoga
dapat dipetik hikmahmya, dari pelbagai kasus pemalsuan yang terjadi tidak
menyeret kita menjadi penganut budaya palsu.
KORAN JAKARTA, 15 September
Tidak ada komentar:
Posting Komentar