TERNYATA tidak hanya partai politik saja yang perlu konvensi
untuk memilih calom presiden. Tetapi kali ini pihak Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) pun terjangkit menggelar
konvensi. Belum lama ini (26-27 September 2013), Kemendikbud menggelar
Konvensi UN (Ujian Nasional), intinya untuk meng-goal-kan terus
berlangsungnya penyelenggaraan UN.
Bila ditelusuri, berkaitan dengan UN sekurangnya ada tiga faktor yang mendorong Konvensi UN menjadi sorotasn.
Pertama, berkembang sikap kontra pelaksaan UN yang berwujud gugatan
elemen masyarakat terhadap Kemendikbud. Dalam gugatan Citizen Lowsuit
yang terdiri para siswa, orangtua murid, aktifis pendidikan dan para
guru anggota Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) atas nama Tim
Abdovokasi Korban UN beberapa bulan lalu, pihak Mahkamah Agung (MA)
memutuskan gugatan masyarakat atas UN. Artinya, UN mesti dihapus atas
nama hukum.
Kedua, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kerugian
negara miliaran rupiah dalam pengadaan UN. Tidak hanya UN tahun 2012,
juga UN tahun 2013. Pendistribusian dan mutu lembar jawaban UN
amburadul. Ketika diselidiki, beberapa orang terlibat kasus korupsi
pengadaan bahan UN.
Ketiga, timbulnya polemik sekaligus ketakutan di masyarakat bahwa UN
selama ini sebagai fungsi kelulusan. Seharusnya UN sebagai pemetaan
kualitas pendidikan. Akibatnya UN dimaknai sebagai hidup-mati bagi
jenjang pendidikan siswa. Gejolak ini terjadi setiap tahun dan
Kemendikbud dibalik kekuasaan pemerintah seakan-akan menggunakan
"kacamata kuda" dan menganggap polemik UN tersebut sebagaii "anjing
menggonggong kafilah tetap berlalu".
Konvensi sebagai legitimasi
Karut-marut masalah UN tampaknya terus mencuat, apalagi saat ini
ditengah gencarnya pemerintah menerapkan Kurikulumm 2013. Di satu pihak,
masalah pro-kontra UN belum tuntas, malah Kurikulum 2013 juga menuai
badai pro-kontra. Sementara Kemendikbud tak bergeming atas otoritasnya
terus menyelenggarakan UN.
Timbul pandangan miring, penyelenggaraan UN tersebut menelan puluhan
triliun rupiah. Di dalamnya terdapat proyek maha raksasa diselenggarakan
Kemendikbud. Pada sisi negatifnya, pada proyek UN telah ditemukan
kebocoran anggaran menjururs tindakan koruptif. Secara tidak langsung
kian menguatkan opini masyarakat bahwa UN lebih diliputi aroma proyek
ketimbang tujuan peningkatan kualitas pendidikan.
Di tengah bermacam silang pendapat soal UN tersebut, Kemendikbud kembali
melontarkan gagasan Konvensi UN. Hasilnya nanti dapat diduga, kegiatan
tersebut direspon datar dan dianggap (legitimasi) .
Prediksi tersebut mungkin bisa dibenarkan lantaran pesertta Konvensi UN
adalah guru, kepala sekolah, kepala dinas, akademisi, dewan pendidikan
dan lain-lain – yang notabene dalam satu garis pro Kemendikbud. Di pihak
kontra, diikutsertakan segelintir peserta yang dianggap mewakili
kelompok atau lapisan masyarakat yang selama ini dikenal menolak UN.
Tema besar Konvensi UN menjurus pada pola mencari masukan. Secara tegas
tidak pada itikad merujuk dari menyamakan pandangan pro dan kontra.
Dengan demikian, muncul prasangka disinyalir Kemendikbud terjebak pada
politik pencitraan untuk memaksakan kehendaknya program (proyek) UN.
Dapat dibayangkan, Konvensi UN bakal bertemu dalam ruang hampa.
Keseteraan pandangan pro dan kontra UN belum berakhir dalam titik temu
harmonis. Di tengah kompleksitas dan kontroversi yang berkembang,
seyogyanya tidak semata-mata pertimbangan kebijakan politis sentralistik
lebih mendominasi makna konvensi.
Cara istimewa dalam isitilah "batu turun keusik naik" merupakan jelan
terbaik agar pemerintah tidak kehilangkan muka untuk mengubah UN dalam
format yang berbeda dari sebelumnhya.
Patut disadari, kebijakan UN yang sifatnya "top-down" di alam demokrasi
menunjukkan aparat pendidikan di tingkat Pusat lebih menggunakan
kekuasaan politik pendidikannya ketimbang masukan dari Daerah
(botton-up). Dalih apa pun, bila nantinya Kemendikbud akan memaksakan
kehendaknya, penyelenggaraan UN terus diwarnai penolakan.
Ada beberapa rekomendasi yang dibutuhkan untuk mengurai benang kusut
penyelenggaraan UN. Pertama, Konvensi UN hendaknya bukan sebagai alat
legitimasi kebijakan sebagai support yang lebih menjurus menguatkan
politisasi peneyelenggaraan UN.
Kedua, sebaiknya UN bukan alat penentu kelulusan, melainkan sebagai
program meningkatkan kualitas pendidikan. Prasyaratnya ini tentu tidak
mesti pula UN dilakukan setiap tahun menimbang bahwa fungsi UN sebagai
media tera kualitas pendidikan.
Ketiga, proses penyelenggaraan UN yang diketahui rawan kebocoran
anggaran dan sulit menekan kecurangan di lapangan, ada baiknya dana
triliunan rupiah yang dihabiskan untuk UN tersebut lebih dimanfaatkan
kepada pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di daerah.
Sesungguhnya geografi pendidikan di Indonesia memang penuh disparitas.
Terjadi kesenjangan sarana dan prasarana pendidikan antara di kota dan
di desa. Dengan, tingkat sosial ekonomi orangtua murid di kota dan di
desa yang berbeda, setidaknya pemerintah harus lebih tanggap terhadap
pemerataan pendidikan.
Sejak dikeluarkannya UU Pendidikan No.20 Tahun 2002b tentang
penyelenggaraan UN, apa pun cara yang ditempuh pemerintah cenderung
bertemu jalan buntu. Banyak ahli, pengamat, kritisi atau praktisi
pendidikan menyumbangkan pemikirannya, namun kebijakan UN terus jalan
meski prosesnya acap kali amburadul. Diharapkan Konvensi UN sebagai
siraman penyejuk agar pro-kontra UN terhenti.
Sumber: GALAMEDIA, Senin 30 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar