Senin, 30 September 2013

Mencermati Konvensi Ujian Nasional

TERNYATA tidak hanya partai politik saja yang perlu konvensi untuk memilih calom presiden. Tetapi kali ini pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) pun terjangkit menggelar konvensi. Belum lama ini (26-27 September 2013), Kemendikbud menggelar Konvensi UN (Ujian Nasional), intinya untuk meng-goal-kan terus berlangsungnya penyelenggaraan UN.

Bila ditelusuri, berkaitan dengan UN sekurangnya ada tiga faktor yang mendorong Konvensi UN menjadi sorotasn.

Pertama, berkembang sikap kontra pelaksaan UN yang berwujud gugatan elemen masyarakat terhadap Kemendikbud. Dalam gugatan Citizen Lowsuit yang terdiri para siswa, orangtua murid, aktifis pendidikan dan para guru anggota Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) atas nama Tim Abdovokasi Korban UN beberapa bulan lalu, pihak Mahkamah Agung (MA) memutuskan gugatan masyarakat atas UN. Artinya, UN mesti dihapus atas nama hukum.

Kedua, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kerugian negara miliaran rupiah dalam pengadaan UN. Tidak hanya UN tahun 2012, juga UN tahun 2013. Pendistribusian dan mutu lembar jawaban UN amburadul. Ketika diselidiki, beberapa orang terlibat kasus korupsi pengadaan bahan UN.

Ketiga, timbulnya polemik sekaligus ketakutan di masyarakat bahwa UN selama ini sebagai fungsi kelulusan. Seharusnya UN sebagai pemetaan kualitas pendidikan. Akibatnya UN dimaknai sebagai hidup-mati bagi jenjang pendidikan siswa. Gejolak ini terjadi setiap tahun dan Kemendikbud dibalik kekuasaan pemerintah seakan-akan menggunakan "kacamata kuda" dan menganggap polemik UN tersebut sebagaii "anjing menggonggong kafilah tetap berlalu".

Konvensi sebagai legitimasi

Karut-marut masalah UN tampaknya terus mencuat, apalagi saat ini ditengah gencarnya pemerintah menerapkan Kurikulumm 2013. Di satu pihak, masalah pro-kontra UN belum tuntas, malah Kurikulum 2013 juga menuai badai pro-kontra. Sementara Kemendikbud tak bergeming atas otoritasnya terus menyelenggarakan UN.

Timbul pandangan miring, penyelenggaraan UN tersebut menelan puluhan triliun rupiah. Di dalamnya terdapat proyek maha raksasa diselenggarakan Kemendikbud. Pada sisi negatifnya, pada proyek UN telah ditemukan kebocoran anggaran menjururs tindakan koruptif. Secara tidak langsung kian menguatkan opini masyarakat bahwa UN lebih diliputi aroma proyek ketimbang tujuan peningkatan kualitas pendidikan.

Di tengah bermacam silang pendapat soal UN tersebut, Kemendikbud kembali melontarkan gagasan Konvensi UN. Hasilnya nanti dapat diduga, kegiatan tersebut direspon datar dan dianggap (legitimasi) .

Prediksi tersebut mungkin bisa dibenarkan lantaran pesertta Konvensi UN adalah guru, kepala sekolah, kepala dinas, akademisi, dewan pendidikan dan lain-lain – yang notabene dalam satu garis pro Kemendikbud. Di pihak kontra, diikutsertakan segelintir peserta yang dianggap mewakili kelompok atau lapisan masyarakat yang selama ini dikenal menolak UN.

Tema besar Konvensi UN menjurus pada pola mencari masukan. Secara tegas tidak pada itikad merujuk dari menyamakan pandangan pro dan kontra. Dengan demikian, muncul prasangka disinyalir Kemendikbud terjebak pada politik pencitraan untuk memaksakan kehendaknya program (proyek) UN.

Dapat dibayangkan, Konvensi UN bakal bertemu dalam ruang hampa. Keseteraan pandangan pro dan kontra UN belum berakhir dalam titik temu harmonis. Di tengah kompleksitas dan kontroversi yang berkembang, seyogyanya tidak semata-mata pertimbangan kebijakan politis sentralistik lebih mendominasi makna konvensi.

Cara istimewa dalam isitilah "batu turun keusik naik" merupakan jelan terbaik agar pemerintah tidak kehilangkan muka untuk mengubah UN dalam format yang berbeda dari sebelumnhya.

Patut disadari, kebijakan UN yang sifatnya "top-down" di alam demokrasi menunjukkan aparat pendidikan di tingkat Pusat lebih menggunakan kekuasaan politik pendidikannya ketimbang masukan dari Daerah (botton-up). Dalih apa pun, bila nantinya Kemendikbud akan memaksakan kehendaknya, penyelenggaraan UN terus diwarnai penolakan.

Ada beberapa rekomendasi yang dibutuhkan untuk mengurai benang kusut penyelenggaraan UN. Pertama, Konvensi UN hendaknya bukan sebagai alat legitimasi kebijakan sebagai support yang lebih menjurus menguatkan politisasi peneyelenggaraan UN.

Kedua, sebaiknya UN bukan alat penentu kelulusan, melainkan sebagai program meningkatkan kualitas pendidikan. Prasyaratnya ini tentu tidak mesti pula UN dilakukan setiap tahun menimbang bahwa fungsi UN sebagai media tera kualitas pendidikan.

Ketiga, proses penyelenggaraan UN yang diketahui rawan kebocoran anggaran dan sulit menekan kecurangan di lapangan, ada baiknya dana triliunan rupiah yang dihabiskan untuk UN tersebut lebih dimanfaatkan kepada pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di daerah.

Sesungguhnya geografi pendidikan di Indonesia memang penuh disparitas. Terjadi kesenjangan sarana dan prasarana pendidikan antara di kota dan di desa. Dengan, tingkat sosial ekonomi orangtua murid di kota dan di desa yang berbeda, setidaknya pemerintah harus lebih tanggap terhadap pemerataan pendidikan.

Sejak dikeluarkannya UU Pendidikan No.20 Tahun 2002b tentang penyelenggaraan UN, apa pun cara yang ditempuh pemerintah cenderung bertemu jalan buntu. Banyak ahli, pengamat, kritisi atau praktisi pendidikan menyumbangkan pemikirannya, namun kebijakan UN terus jalan meski prosesnya acap kali amburadul. Diharapkan Konvensi UN sebagai siraman penyejuk agar pro-kontra UN terhenti.

Sumber: GALAMEDIA, Senin 30 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar