Politik gentong babi (pork barrel
politics) merupakan penggunaan anggaran belanja pemerintah untuk
proyek pembangunan dengan tujuan politik (Michael W Drudge, 2010). Di
Indonesia dikenal sebagai politik anggaran (budgeting politics).
Biasanya dilakukan kepala daerah atau wakil rakyat terkait langsung
kucuran dana APBD atau APBN kepada masyarakat.
Dengan adanya proyek, terdapat dua
keuntungan. Pertama, diharapkan simpati masyarakat akan meningkat
terhadap sang kandidat. Kedua, dari proyek itu pula sang kandidat
akan mendapatkan kickback atau komisi dari pengusaha.
Di Amerika Serikat, perilaku politik
gentong babi sudah lama terjadi. Awal abad 19, Wakil Presiden AS,
John C Calhoun, membuat jembatan dan jalan. Namun, proyek tersebut
dianggap tidak bermanfaat (bridge nowhere) dan terjadi
penggelembungan dana (mark-up). Malah lebih menguntungkan pribadi
sang Wapres AS. Akhirnya rakyat Amerika mengecam perilaku John C
Calhoun sebagai pelaku pork barrel spending.
Tidak hanya di Amerika, ternyata
perilaku politik gentong babi juga menular ke beberapa negara
lainnya, termasuk Filipina.
Masa pemerintahan Presiden Ferdinand
Marcos ketika mempertahankan kursi presidennya, ia dituding melakukan
politik gentong babi oleh lawan politiknya, Benigno Aquino Jr. Begitu
pula di Indonesia, Presiden SBY sempat dikritik soal program Bantuan
Tunai Langsung (BLT) yang ditengarai mendongkrak suara SBY pada
Pilpres 2009.
Sudah mafhum adanya, politik gentong
babi terjadi di Indonesia. Setelah pemilihan kepala daerah (pilkada)
usai dimenangkan petahana, puluhan kasus gugatan masuk ke mahkamah
Konstitusi (MK). Salah satu gugatan utama, tentu saja permainan
politik anggaran.
Dari sekian puluh kasus yang masuk ke
MK, ternyata hanya segelintir yang terbukti. Bahkan, belum satu pun
kasus masuk ke ranah korupsi. Ini artinya, permainan politik anggaran
layaknya fatamorgana, tampak di depan mata tetapi sulit terbukti di
depan hakim.
Caleg petahana
Pengalaman Pileg 2009 menyiratkan
pemilihan langsung (direct vote) sangat tergantung kemahiran caleg
secara individu beserta timnya menggaet suara. Hal yang sama juga
bakal terjadi dalam Pileg 2014 nanti.
Pileg 2014 mengacu pada UU Pemilu Nomor
8 Tahun 2012. Dalam Pasal 5 disebutkan, pemilu legislatif (DPR dan
DPRD) dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Pasal 205 juga
menjelaskan suara partai dan individu caleg diakumulasi, kemudian
menjadi kuota kursi. Artinya, seorang caleg dinyatakan lolos menjadi
wakil rakyat berdasarkan perolehan suara terbanyak di daerah
pemilihan (dapil) masing-masing.
Untuk calon DPRD Kabupeten/Kota dapil
meliputi tiga hingga 12 kecamatan. Begitu pula caleg DPR dan DPRD
Provinsi, ruang lingkupnya dua hingga lima kabupaten/kota. Luasnya
wilayah garapan, mau tak mau mengorbankan biaya besar.
Jadi, bisa dibayangkan betapa banyaknya
dana yang dikeluarkan seorang caleg untuk sosialisasi dan alat peraga
berdialog di depan sejumlah massa. Apalagi saat ini penggunaan alat
peraga baliho dan spanduk bukan lagi jurus ampuh mendulang suara.
Selain itu, akhir-akhir ini berkembang
tren sosial, rakyat ingin langsung bertatap muka dengan calon yang
akan diusungnya. Rakyat tidak mau “beli kucing dalam karung”
lewat sihir alat peraga. Akibatnya sekarang terpaksa caleg blusukan
menemui konstituennya.
Bisa dibayangkan betapa
menggelembungnya dana yang dikeluarkan seorang caleg untuk
sosialisasi. Bagi caleg memiliki dana pas-pasan tentu agak kerepotan.
Tetapi bagi caleg petahana mungkin bisa diakali.
Salah satu kekhawatiran adalah
penggunaan politik gentong babi. Dalam prasangka, ketika trimester
terakhir anggaran pemerintah, sering dimunculkan proyek-proyek “aneh”
berbasis bantuan sosial. Bahkan, dari proyek itu pula timbul komisi
uang segar (fresh money) menujurus tindakan koruptif yang selanjutnya
digunakan biaya sosialisai.
Mengusung proyek pembangunan di mata
masyarakat merupakan nilai tambah. Namun, tindakan jargon memperdaya
rakyat dengan proyek dadakan tanpa konsep jelas cenderung pemborosan
anggaran pemerintah. Itu sebabnya perilaku politik gentong
babi mesti diwaspadai. Alih-alih penggelontoran anggaran hanya
sekadar politik pencitraan (imagology politics), ujungnya rakyat juga
yang kena tipu.
Sumber : SINAR HARAPAN, Sabtu 28 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar