Salah satu hal yang luput dari
perhatian pemerintah di tengah resesi ekonomi saat ini adalah sektor
kesehatan, khusunya soal gizi rakyat. Hal ini penting diungkap karena
menyangkut tanggung jawab kita terhadap nasib generasi masa depan.
Jika banyak ibu hamil (bumil) dan balita kita kurang asupan gizi
(malnutrisi), bisa dibayangkan akan melahirkan generasi kurang cerdas
alias bodoh.
Kalau mau belajar dari krisis ekonomi
1997-1998, mungkin penting untuk dilakukan di masa kini. Menjelang
gejolak reformasi itu, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika begitu hebatnya menghantam rakyat Indonesia. Perekonomian
Indonesia limbung. Orang kaya mendadak miskin dan orang miskin jauh
lebih melarat lagi.
Pada waktu itu,
tepatnya 17 Juni 1998, rupiah menukik hingga Rp 17.000.
Akibatnya, angka kemiskinan yang semula 10,1 persen beringsut menjadi
14,1 persen. Ini data versi Bank Dunia yang dilansir Indonesia
in Crisis, A Macroeconomic Update, 1998.
Meski keuangan negara
kolaps, tetapi pemerintah sigap melakukan mitigasi bencana ekonomi.
Maka diluncurkan suatu program yang disebut Jaring Pengaman Sosial
(JPS) atau social networking bidang kesehatan.
Program ini ditujukan kepada masyarakat miskin, khususnya bantuan
gizi rakyat.
Kemudian dikerjakan juga kebijakan
keterjangkauan dan kesediaan pangan, menjaga daya beli rakyat miskin,
serta mengupayakan tindakan kesejahteraan ibu dan anak. Semuanya
dilakukan serentak dan berkesinambungan.
Peristiwa malaise
ekonomi tersebut mengingatkan kembali ketika saya menjadi dokter muda
memimpin puskesmas di daerah pertanian Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Akibat dolar menguat, banyak petani menganggur. Harga bibit dan pupuk
mahal karena keduanya bersumber dari impor.
Akibat tidak punya duit, sebagian ibu
rumah tangga mengganti isi botol susu anak balitanya dengan air tajin
(cucian beras). Mereka tak sanggup membeli susu bubuk. Celakanya,
setiap hari puskesmas dikunjungi satu-dua pasien balita diare.
Bayi-bayi menceret karena reaksi minum susu campur air tajin.
Beruntung kejadian tersebut hanya
berlangsung beberapa bulan. Tak lama Menkes datang dengan program JPS
kesehatan. Akhirnya, para bumil dan balita tertolong, disuplai
gizinya lewat bantuan susu dan makanan bergizi secara gratis.
Meski bantuan tidak
bisa meng-cover seluruh keluarga miskin,
setidaknya masyarakat bersama petugas kesehatan bergotong-royong
membuat formula makanan bergizi lainnya, seperti formula modesco yang
pernah dilakukan di Uganda. Tetapi sayangnya sekarang pemerintah
tampak adem-ayem, belum merespons penurunan daya beli menyangkut gizi
buruk.
Bumil dan balita
Sekarang dipastikan
angka kemiskinan ikut merosot. Sudah hampir sebulan nilai tukar
rupiah masih bertengger lebih dari Rp 11.000 per dolar Amerika.
Dampaknya, imported content (barang-barang
impor) melonjak mahal, termasuk kebutuhan pokok pangan, seperti
kedelai, beras, bawang, cabai, beras, bahkan garam. Artinya, inflasi
ekonomi diam-diam mulai mengganggu asap dapur keluarga.
Korban utama inflasi ekonomi tentu saja
rakyat miskin. Sehari-hari mereka susah menghidupi dirinya, terutama
keluarga miskin yang di dalamnya terdapat bumil dan balita. Mereka
agak kerepotan memenuhi asupan gizi.
Sesungguhnya bumil dan balita memang
rentan gangguan penyakit. Tidak ada toleransi bagi bumil dan balita
terkena kekurangan energi protein (KEP). Bila terjadi KEP, akan
berdampak pada gangguan fisik, mental, dan daya tangkap (kecerdasan)
anak. Ini bersifat permanen. Bisa terbawa hingga dewasa.
Fenomena loss
generation seolah menjadi ancaman. Derajat kecacatan dan daya tangkap
otak “tulalit”, menetaskan kekhawatiran tatkala kemiskinan
berbanding lurus dengan merosotnya daya beli. Badan PBB Unicef (2013)
melansir, masalah inflasi dan kekurangan gizi mengancam 7,8 juta anak
kekurangan gizi di Indonesia.
Sehingga ada baiknya kita
mempertimbangkan kembali terhadap solusi JPS kesehatan. Apalagi 90
persen bahan baku obatan-obatan Indonesia berasal impor. Sementara
nilai tukar rupiah merosot berimbas harga obat dan alat kesehatan
terjungkit sangat mahal.
JPS kesehatan bermakna untuk merawat
dan menjaga bumil dan balita, konsentrasi utama memberi bantuan
nutrisi mencegah KEP. Tentunya dilengkapi dengan memperbesar subsidi
obat-obatan untuk puskesmas.
Sampai saat ini, kita
belum bisa memastikan kapan nilai kurs rupiah stabil. Di tengah
situasi yang tidak pasti ini (intangible), tolok ukur derajat
kesehatan seperti Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) dan Angka
Kematian Bayi (AKB) perlu diwaspadai. Dapat dimaklumi, AKI dan AKB di
Indonesia tergolong peringkat terburuk se-Asia.
Jika inflasi memanjang,
jangan sampai derajat kesehatan kita terjun bebas sepuluh besar
terjelek di dunia. Karena ada asumsi, derajat kesehatan suatu negara
buruk menggambarkan kemiskinan negara itu buruk juga.
Jika itu
terjadi, mungkin benar kata nobelis Gunnar Myrdal “People are sick
because they are poor. They become poorer because they are sick. And
they become sicker because they are poorer.” (Orang sakit karena
mereka miskin. Mereka miskin karena mereka sakit. Dan mereka menjadi
sakit karena mereka miskin).
Sumber, SINAR HARAPAN, Senin 16 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar