Senin, 16 September 2013

Inflasi dan Malnutrisi

Salah satu hal yang luput dari perhatian pemerintah di tengah resesi ekonomi saat ini adalah sektor kesehatan, khusunya soal gizi rakyat. Hal ini penting diungkap karena menyangkut tanggung jawab kita terhadap nasib generasi masa depan. Jika banyak ibu hamil (bumil) dan balita kita kurang asupan gizi (malnutrisi), bisa dibayangkan akan melahirkan generasi kurang cerdas alias bodoh.

Kalau mau belajar dari krisis ekonomi 1997-1998, mungkin penting untuk dilakukan di masa kini. Menjelang gejolak reformasi itu, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika begitu hebatnya menghantam rakyat Indonesia. Perekonomian Indonesia limbung. Orang kaya mendadak miskin dan orang miskin jauh lebih melarat lagi.
Pada waktu itu, tepatnya 17 Juni 1998, rupiah menukik hingga Rp 17.000. Akibatnya, angka kemiskinan yang semula 10,1 persen beringsut menjadi 14,1 persen. Ini data versi Bank Dunia yang dilansir Indonesia in Crisis, A Macroeconomic Update, 1998.
Meski keuangan negara kolaps, tetapi pemerintah sigap melakukan mitigasi bencana ekonomi. Maka diluncurkan suatu program yang disebut Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau social networking bidang kesehatan. Program ini ditujukan kepada masyarakat miskin, khususnya bantuan gizi rakyat.
Kemudian dikerjakan juga kebijakan keterjangkauan dan kesediaan pangan, menjaga daya beli rakyat miskin, serta mengupayakan tindakan kesejahteraan ibu dan anak. Semuanya dilakukan serentak dan berkesinambungan.
Peristiwa malaise ekonomi tersebut mengingatkan kembali ketika saya menjadi dokter muda memimpin puskesmas di daerah pertanian Ciwidey, Kabupaten Bandung. Akibat dolar menguat, banyak petani menganggur. Harga bibit dan pupuk mahal karena keduanya bersumber dari impor.
Akibat tidak punya duit, sebagian ibu rumah tangga mengganti isi botol susu anak balitanya dengan air tajin (cucian beras). Mereka tak sanggup membeli susu bubuk. Celakanya, setiap hari puskesmas dikunjungi satu-dua pasien balita diare. Bayi-bayi menceret karena reaksi minum susu campur air tajin.

Beruntung kejadian tersebut hanya berlangsung beberapa bulan. Tak lama Menkes datang dengan program JPS kesehatan. Akhirnya, para bumil dan balita tertolong, disuplai gizinya lewat bantuan susu dan makanan bergizi secara gratis.
Meski bantuan tidak bisa meng-cover seluruh keluarga miskin, setidaknya masyarakat bersama petugas kesehatan bergotong-royong membuat formula makanan bergizi lainnya, seperti formula modesco yang pernah dilakukan di Uganda. Tetapi sayangnya sekarang pemerintah tampak adem-ayem, belum merespons penurunan daya beli menyangkut gizi buruk.
Bumil dan balita
Sekarang dipastikan angka kemiskinan ikut merosot. Sudah hampir sebulan nilai tukar rupiah masih bertengger lebih dari Rp 11.000 per dolar Amerika. Dampaknya, imported content (barang-barang impor) melonjak mahal, termasuk kebutuhan pokok pangan, seperti kedelai, beras, bawang, cabai, beras, bahkan garam. Artinya, inflasi ekonomi diam-diam mulai mengganggu asap dapur keluarga.
Korban utama inflasi ekonomi tentu saja rakyat miskin. Sehari-hari mereka susah menghidupi dirinya, terutama keluarga miskin yang di dalamnya terdapat bumil dan balita. Mereka agak kerepotan memenuhi asupan gizi.

Sesungguhnya bumil dan balita memang rentan gangguan penyakit. Tidak ada toleransi bagi bumil dan balita terkena kekurangan energi protein (KEP). Bila terjadi KEP, akan berdampak pada gangguan fisik, mental, dan daya tangkap (kecerdasan) anak. Ini bersifat permanen. Bisa terbawa hingga dewasa.
Fenomena loss generation seolah menjadi ancaman. Derajat kecacatan dan daya tangkap otak “tulalit”, menetaskan kekhawatiran tatkala kemiskinan berbanding lurus dengan merosotnya daya beli. Badan PBB Unicef (2013) melansir, masalah inflasi dan kekurangan gizi mengancam 7,8 juta anak kekurangan gizi di Indonesia.

Sehingga ada baiknya kita mempertimbangkan kembali terhadap solusi JPS kesehatan. Apalagi 90 persen bahan baku obatan-obatan Indonesia berasal impor. Sementara nilai tukar rupiah merosot berimbas harga obat dan alat kesehatan terjungkit sangat mahal.
JPS kesehatan bermakna untuk merawat dan menjaga bumil dan balita, konsentrasi utama memberi bantuan nutrisi mencegah KEP. Tentunya dilengkapi dengan memperbesar subsidi obat-obatan untuk puskesmas.
Sampai saat ini, kita belum bisa memastikan kapan nilai kurs rupiah stabil. Di tengah situasi yang tidak pasti ini (intangible), tolok ukur derajat kesehatan seperti Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) perlu diwaspadai. Dapat dimaklumi, AKI dan AKB di Indonesia tergolong peringkat terburuk se-Asia.
Jika inflasi memanjang, jangan sampai derajat kesehatan kita terjun bebas sepuluh besar terjelek di dunia. Karena ada asumsi, derajat kesehatan suatu negara buruk menggambarkan kemiskinan negara itu buruk juga.
Jika itu terjadi, mungkin benar kata nobelis Gunnar Myrdal “People are sick because they are poor. They become poorer because they are sick. And they become sicker because they are poorer.” (Orang sakit karena mereka miskin. Mereka miskin karena mereka sakit. Dan mereka menjadi sakit karena mereka miskin).

Sumber, SINAR HARAPAN, Senin 16 September 2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar