Kamis, 10 Oktober 2013

Hebohnya Politik Dinasti di Banten



PEKAN lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muhtar. Berita ini tentu saja mengejutkan publik. Bersama Akil, dicokok juga seorang anggota DPR dan beberapa orang lainnya. Termasuk seorang pengusaha, Tubagus Chaery Wardana (suami Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan), adik dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Mereka diduga terlibat kasus suap perseteruan pilkada Kabupaten Lebak, propinsi Banten.
             
Beberapa saat setelah OTT, berita tersebut merebak di media cetak, visual,  dan televisi serta sosial media.  Tak kalah menarik, Ratu Atut Chosiyah dicekal bepergian ke luar negeri oleh KPK.
             
Kemudian terjadi rentetan aksi unjuk rasa aktivis anti korupsi Banten. Selain mengecam soal kasus korupsi, hal lain yang cukup mencengangkan adalah  politik dinasti. Dikabarkan 12 orang dari keluarga besar Ratu Atut tercatat sebagai  penggede Banten, seperti Walikota, Wakil Bupati dan calon legislatif. Seluruhnya tersangkut hubungan keluarga dekat, terkait hubungan adik kandung, suami, kakak kandung, ipar, menantu, hingga ibu tiri. Boleh dibilang,  dinasti politik Ratu Atut tergolong  paling sukses di Indonesia.
           
 Cerita kasus korupsi di Banten, ternyata tidak hanya terjadi di zaman modern ini. Banten di masa lalu juga pernah terjadi. Sejarah Banten di masa silam  memang sempat menorehkan cerita kemasyhuran dan kehanncuran.
             
Masa kejayaan Banten, pertengahan abad 16 dan 17,  pernah dirintis  Sultan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf dan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (kesultanan Banten pertama) dapat dikatakan sebagai masa  pemerintahan yang bersih (good government), sehingga luput dari tindakan-tindakan pribadi yang akan merugikan pemerintahan. Banten menjadi satu kesultanan yang berdaulat (1568).
             
Setelah memerintah 18 tahun, Maulana Hasanuddin Wafat (1570), digantikan puteranya Sultan Banten kedua, Maulana Yusuf. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,, perkembangan dan pembangunan Banten terus berlanjut. Ia membangun jaringan irigasi yang berguna bagi pengembangan pertanian. Sehingga Banten memiliki tiga sumber dana pembangunan dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyatnya, yaitu pelayaran, perdagangan, dan pertanian. (Bernard HM Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, terj 2008)
            
 Melompati beberapa keturunan berikutnya, tahta kesultanan Banten diduduki Pangeran Surya atau Pangeran Dipati, yang dalam Sejarah Banten lebih dikenal dengan nama Sultan Agung Tirtayasa, setelah beliau mendirikan istananya yang baru di Tirtayasa. Pada pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Bahkan para nakhoda orang-orang Eropa itu pulalah yang pada mulanya memimpin kapal-kapal Banten dalam pelayarannya ke Philippina, Macao, Benggala dan Persia.
             
Tetapi sangat disayangkan, pewaris utama Sultan Ageng yang dikenal sebagai Sultan Haji (Abdulkahar) terhasut politik devide et impera (adu domba) oleh VOC (Belanda). Sultan Haji termakan intrik VOC yang meniupkan berita bohong bahwa adik kandungnya Pangeran Purbaya yang bakal menerima tahta.

Dibakar mabuk kekuasaan, akhirnya Sultan Haji yang menerima gratifikasi bantuan logistik dan bala tentera VOC. Tidak disangka malah  menghancurkan ayahnya sendiri Sultan Ageng Tirtayasa.  Konspirasi VOC bersama Sultan Haji melakukan perebutan kekuasaan menurunkan ayahnya dari tahta, digantikan dirinya (1681).
Setelah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa runtuh, pengaruh VOC pun stidak dapat dibendung. Masa kejayaan Banten pudar, tinggal kenangan. Cahaya kebesaran Banten sirna sudah. Sultan Haji hanya berperan sebagai boneka yang tunduk kepada kekuasaan asing VOC (Hansiswany Kamarga, UPI).
Di masa pemerintahan Sultan Haji (Abdulkahar) kasus korupsi merajalela di Banten.  Sultan Haji diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, demi memperkaya diri. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan Suktan Haji tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsinya. Inilah salah satu sejarah Banten yang sungguh mengenaskan.
 
Rupanya lain dulu, lain pula cerita korupsi di zaman sekarang. Di era reformasi dengan demokrasi kebebasan ini kita diingatkan kembali dengan politik dinasti. Tidak ada satu pasal hokum pun yang mengatur atau pelimpahan mau pun gurita kekuasaan dalam hubungan keluarga. Contoh sukses itu ditampilkan Gubernur Ratu Atut Chosiyah melibatkan belasan keluarganya menjadi orang penting di propinsi Banten. 

Namun Ratu Atut sekarang tersandung. Adiknya kandungnya, Tubagus Chaery Wardana (Wawan), dijadikan tersangka kasus korupsi. Bahkan belasan mobil mewah milik Wawan terpaksa kena police-line. Setidaknya kini Banten menjadi sorotan masyarakat, khususnya soal kasus korupsi yang melibatkan politik dinasti.

Sumber : TRIBUN  JABAR,  13 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar