PEKAN lalu
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil
Muhtar. Berita ini tentu saja mengejutkan publik. Bersama Akil, dicokok juga
seorang anggota DPR dan beberapa orang lainnya. Termasuk seorang pengusaha,
Tubagus Chaery Wardana (suami Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan),
adik dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Mereka diduga terlibat kasus suap
perseteruan pilkada Kabupaten Lebak, propinsi Banten.
Beberapa saat setelah OTT, berita tersebut
merebak di media cetak, visual, dan
televisi serta sosial media. Tak kalah
menarik, Ratu Atut Chosiyah dicekal bepergian ke luar negeri oleh KPK.
Kemudian terjadi rentetan aksi unjuk
rasa aktivis anti korupsi Banten. Selain mengecam soal kasus korupsi, hal lain
yang cukup mencengangkan adalah politik
dinasti. Dikabarkan 12 orang dari keluarga besar Ratu Atut tercatat sebagai penggede
Banten, seperti Walikota, Wakil Bupati dan calon legislatif. Seluruhnya
tersangkut hubungan keluarga dekat, terkait hubungan adik kandung, suami, kakak
kandung, ipar, menantu, hingga ibu tiri. Boleh dibilang, dinasti politik Ratu Atut tergolong paling sukses di Indonesia.
Cerita kasus korupsi di Banten,
ternyata tidak hanya terjadi di zaman modern ini. Banten di masa lalu juga
pernah terjadi. Sejarah Banten di masa silam
memang sempat menorehkan cerita kemasyhuran dan kehanncuran.
Masa kejayaan Banten, pertengahan
abad 16 dan 17, pernah dirintis Sultan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf dan
Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin
(kesultanan Banten pertama) dapat dikatakan sebagai masa pemerintahan yang bersih (good government), sehingga luput dari
tindakan-tindakan pribadi yang akan merugikan pemerintahan. Banten menjadi satu
kesultanan yang berdaulat (1568).
Setelah memerintah 18 tahun, Maulana
Hasanuddin Wafat (1570), digantikan puteranya Sultan Banten kedua, Maulana
Yusuf. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf,, perkembangan dan pembangunan
Banten terus berlanjut. Ia membangun jaringan irigasi yang berguna bagi
pengembangan pertanian. Sehingga Banten memiliki tiga sumber dana pembangunan
dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyatnya, yaitu pelayaran, perdagangan,
dan pertanian. (Bernard HM Vlekke, Nusantara
Sejarah Indonesia, terj 2008)
Melompati beberapa keturunan
berikutnya, tahta kesultanan Banten diduduki Pangeran Surya atau Pangeran
Dipati, yang dalam Sejarah Banten lebih dikenal dengan nama Sultan Agung
Tirtayasa, setelah beliau mendirikan istananya yang baru di Tirtayasa. Pada
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Bahkan para nakhoda orang-orang Eropa itu
pulalah yang pada mulanya memimpin kapal-kapal Banten dalam pelayarannya ke
Philippina, Macao, Benggala dan Persia.
Tetapi sangat disayangkan, pewaris
utama Sultan Ageng yang dikenal sebagai Sultan Haji (Abdulkahar) terhasut
politik devide et impera (adu
domba) oleh VOC (Belanda). Sultan Haji termakan intrik VOC yang meniupkan
berita bohong bahwa adik kandungnya Pangeran Purbaya yang bakal menerima tahta.
Dibakar mabuk kekuasaan, akhirnya Sultan Haji yang menerima gratifikasi bantuan logistik dan bala tentera VOC. Tidak disangka malah menghancurkan ayahnya sendiri Sultan Ageng Tirtayasa. Konspirasi VOC bersama Sultan Haji melakukan perebutan kekuasaan menurunkan ayahnya dari tahta, digantikan dirinya (1681).
Setelah
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa runtuh, pengaruh VOC pun stidak dapat
dibendung. Masa kejayaan Banten pudar, tinggal kenangan. Cahaya kebesaran Banten
sirna sudah. Sultan Haji hanya berperan sebagai boneka yang tunduk kepada
kekuasaan asing VOC (Hansiswany Kamarga, UPI).
Di
masa pemerintahan Sultan Haji (Abdulkahar) kasus korupsi merajalela di
Banten. Sultan Haji diangkat
dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, demi memperkaya
diri. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah
yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan Suktan Haji
tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan
praktek korupsinya. Inilah salah satu sejarah Banten yang sungguh mengenaskan.
Rupanya lain dulu, lain pula cerita korupsi di zaman sekarang. Di era reformasi dengan demokrasi kebebasan ini kita diingatkan kembali dengan politik dinasti. Tidak ada satu pasal hokum pun yang mengatur atau pelimpahan mau pun gurita kekuasaan dalam hubungan keluarga. Contoh sukses itu ditampilkan Gubernur Ratu Atut Chosiyah melibatkan belasan keluarganya menjadi orang penting di propinsi Banten.
Namun Ratu Atut sekarang tersandung. Adiknya kandungnya, Tubagus Chaery Wardana (Wawan), dijadikan tersangka kasus korupsi. Bahkan belasan mobil mewah milik Wawan terpaksa kena police-line. Setidaknya kini Banten menjadi sorotan masyarakat, khususnya soal kasus korupsi yang melibatkan politik dinasti.
Sumber : TRIBUN JABAR, 13 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar