Kinerja DPR terutama di bidang
legislasi dinilai buruk. Pasalnya, sekitar 90,5 persen anggota DPR
periode 2019-2014 kembali mencalonkan dirinya pada Pemilu 2014.
Target yang mereka susun tidak mencapai target sesuai Prolegnas
(Program Legislasi Nasional). Selain itu, tingkat kehadiran DPR
rendah saat membahas RUU.
Artinya, wakil rakyat mulai diam-diam
sibuk menyosialisasikan dirinya di masyarakat menjelang Pemilu 2014
yang tinggal beberapa bulan lagi dan sering meninggalkan tugas
pentingnya di gedung parlemen.
Tampaknya
masyarakat tidak begitu kaget tatkala mendengar kabar wakil rakyat
menjadi topik hangat soal kemalasan kerja. Maklum saja, wakil rakyat
sering menimbulkan stigma buruk. Perilaku mereka suka menyimpang dari
norma tanggung jawab sebagai pejabat publik. Tingkah mereka selalu
menjadi sorotan, bahkan cenderung mengecewakan, baik di dalam maupun
di luar gedung parlemen.
Sebagai contoh, pembahasan RUU Pilpres
2014 berbulan-bulan tak kunjung tuntas akibat kepentingan politik,
sehingga kesan yang ditunjukkan lebih mementingkan diri dan golongan
mereka sendiri ketimbang kepentingan publik.
Bahkan bila ditelusuri, tak jarang
kebijakan yang mereka buat acap kali mencengangkan, bahkan ada yang
bertentangan dengan keinginan rakyat. Selain itu, DPR akrab dengan
kasus korupsi, sejumlah lainnya terlibat skandal seks, perceraian,
kunjungan kerja tak jelas, dan bolos kerja.
Sebenarnya, wakil rakyat suka bolos
bukan cerita baru. Masyarakat yang merasa dirinya “diwakilkan”
kecewa bila melihat wakil rakyatnya bolos kerja. Akibat banyak yang
bolos, kinerja akan amburadul maka dampaknya masyarakat luas juga
yang dirugikan.
Memang menjadi wakil rakyat adalah
impian banyak orang. Di samping gaji yang cukup menggiurkan, ia juga
mendapat duit tunjangan, dan fasilitas lainnya. Wakil rakyat
merupakan pejabat negara, suka diberi privilege yang tidak tersurat
mendapat kemudahan VIP (very important person).
Jangan heran para
birokrat juga sungkan berselisih paham dengan DPR. Jangan-jangan
kedekatan wakil rakyat dengan atasan bisa berimbas sang birokrat
dapat “ganjaran”. Bahkan, tak jarang Pak Polisi pun sungkan
menilang!
Namun sebaliknya, keistimewaan yang
diperoleh itu sungguh tidak sebanding dengan kinerja wakil rakyat.
Padahal UU No 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR,
DPD, dan DPRD menyebutkan, bertugas fungsi legislasi (membuat
peraturan/UU), anggaran, dan pengawasan.
Ketiga fungsi tersebut memiliki
implikasi serius. Di dalamnya terdapat kepentingan masyarakat luas,
misalnya tidak pantas tatkala membahas RUU hanya dihadiri sebagian
kecil wakil rakyat. Dikhawatirkan, individu atau kelompok tertentu
yang berinisiatif memainkan RUU tersebut sesuai kepentingannya.
Selayaknya pula RUU dibahas lintas
fraksi serta mengundang pakar dan pemangku kepentingan (stakeholder).
Jadi agak aneh bila penuhnya kehadiran wakil rakyat “Yang
Terhormat” semata-mata urusan kunjungan kerja, sehingga kesan
pelesir lebih mencuat dan ketika perdebatan pembahasan RUU banyak
yang bolos.
Perilaku yang sama juga ditunjukkan
waktu penyusunan anggaran (APBN). Uniknya, gedung dewan mendadak
ramai. Kontradiktif dengan kehadiran dewan seperti biasanya.
Selain
stakeholder, beberapa orang “tak dikenal” tiba-tiba muncul
memegang map dan beberapa wakil rakyat yang tidak terlibat dalam
urusan anggaran juga hadir di luar ruang. Entahlah, mungkin maksudnya
“mengawal aspirasi” atau iktikad lainnya. Yang jelas, bicara
anggaran berarti urusan duit!
Jika dicermati, ada beberapa penyebab
bolosnya wakil rakyat, di antaranya tidak siapnya seorang wakil
rakyat dengan iklim kerja yang terjadi di gedung dewan. Di samping
itu, mesti tanggap dengan perkembangan masyarakat yang terjadi, ia
juga harus mau belajar, tidak boleh malas membaca perubahan peraturan
dan/atau undang-undang.
Kepintaran dalam politik praktis tidak
selalu berbanding lurus dengan piawai menyalurkan aspirasi rakyat dan
meregulasi peraturan atau undang-undang. Rangkap jabatan sebagai
pengurus partai juga faktor perancu (confounding factor). Menjadi
pengurus partai juga repot, apalagi ditambah beban legislatif. Bila
keduanya sekaligus dijalankan, memang perlu pengaturan waktu ekstra
agar tidak bolos kerja.
Sayangnya, acap kali kita memergoki
wakil rakyat ongkang-ongkang kaki di kafe atau mal ketika jam kerja
sibuk dengan urusan pribadinya, sehingga keadaan yang sulit dimaafkan
adalah soal malas.
Kalau sudah begini, memang perlu diterapkan mesin
absen dan secara periodik Badan Kehormatan mengumumkan tingkat
kehadiran wakil rakyat ke publik. Tujuannya agar masyarakat tidak
lagi memilih wakilnya yang pemalas dalam Pemilu 2014 mendatang.
Sumber: SINAR HARAPAN, 17 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar